Krisis Sayap Kiri dan Populisme

Martin Silaban

4 min read

Politik Indonesia saat ini, seperti yang telah disinggung oleh banyak pengamat, berada pada titik yang memprihatinkan. Di satu sisi, kita menyaksikan berkembangnya narasi populisme otoriter, yang semakin menguatkan kekuasaan segelintir individu. Di sisi lain, kita juga melihat ketiadaan ideologi sayap kiri yang selama ini seharusnya menjadi penyeimbang di tengah ketimpangan sosial dan ekonomi yang semakin mencolok. Kehilangan sayap kiri ini semakin memperburuk kondisi demokrasi Indonesia, dimana kebijakan-kebijakan strategis berjalan tanpa adanya partisipasi publik yang berarti dan tanpa adanya suara kritis yang mengusung prinsip-prinsip keadilan sosial dan hak-hak masyarakat yang terpinggirkan.

Ketiadaan Sayap Kiri dan Marginalisasi Isu-Isu Kritis

Dalam banyak hal, ketiadaan sayap kiri yang memadai di Indonesia menjadikan politik Indonesia tidak memiliki kerangka ideologis yang jelas. Seperti yang ditekankan oleh Vedi Hadiz dalam artikelnya di Australian Outlook (2023), pemilu di Indonesia tidak memperlihatkan sebuah perdebatan ideologis yang berarti. Alih-alih membahas masalah substantif seperti distribusi kekayaan, atau keadilan sosial, debat politik di Indonesia lebih terfokus pada personalitas dan popularitas tokoh. Di sinilah letak masalahnya. Ketika narasi politik terpusat pada sosok individu, maka kebijakan-kebijakan yang diambil oleh partai politik cenderung lebih pragmatis dan tidak terikat pada visi ideologis yang jelas. Partai-partai politik di Indonesia telah berubah menjadi alat untuk berbagi kekuasaan, bukan sebagai instrumen untuk memperjuangkan suatu ideologi.

Fenomena ini menjadikan kebijakan seperti Revisi UU Minerba dan Revisi UU TNI menjadi sangat minim partisipasi publik. Keputusan-keputusan penting ini lebih banyak diambil oleh elite politik tanpa melibatkan masyarakat secara aktif. UU Minerba kini lebih cenderung untuk mengakomodasi kepentingan sektor tambang besar, yang merupakan bagian dari kekuatan ekonomi yang berhubungan erat dengan kekuasaan politik. Begitu juga dengan revisi UU TNI, yang berpotensi memperluas ruang militer dalam kehidupan sipil tanpa mempertimbangkan dampak negatif terhadap demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Ketika legislatif tidak lagi berfungsi sebagai penyeimbang, namun sebagai stempel bagi kebijakan pemerintah, maka demokrasi kita berada dalam bahaya besar.

Baca juga:

Ketiadaan gerakan sayap kiri juga mengarah pada marginalisasi isu-isu penting yang seharusnya menjadi agenda prioritas nasional. Isu-isu seperti perubahan iklim, keadilan iklim, perlindungan masyarakat adat, hak-hak pekerja informal, dan perampasan aset koruptor oleh negara seharusnya menjadi agenda utama dalam kebijakan nasional. Namun, kebijakan yang mengusung isu-isu tersebut hampir tidak pernah mendapatkan tempat yang layak dalam diskursus politik. Partai-partai yang memiliki kecenderungan ke arah kiri pun tidak mampu menjadikan isu-isu tersebut sebagai bagian dari perjuangan mereka. Hal ini membuat agenda-agenda yang seharusnya diusung oleh pihak yang memperjuangkan keadilan sosial menjadi terabaikan, dan yang lebih parah, pemerintah tidak lagi mendengarkan aspirasi masyarakat yang terdampak langsung oleh kebijakan-kebijakan tersebut.

Kondisi ini diperburuk dengan peran partai politik yang semakin pragmatis. Edward Aspinal dalam tulisannya, Mapping the Indonesian Political Spectrum, menunjukkan bahwa partai politik di Indonesia hampir tidak memiliki idealisme. Partai-partai ini bergerak berdasarkan popularitas tokoh yang mereka usung, tanpa mempertimbangkan bagaimana kebijakan yang dihasilkan akan berdampak pada keadilan sosial dan lingkungan. Di Indonesia, para politisi sering kali berubah haluan ideologi, bahkan berganti partai lebih dari tiga kali dalam karir politik mereka. Fenomena ini semakin memperburuk politik Indonesia yang penuh dengan pragmatisme dan oportunisme.

Bangkitnya Tiran Populis dan Anomali Demokrasi

Di sisi lain, ketiadaan sayap kiri di Indonesia tidak hanya membuat kebijakan-kebijakan politik semakin terarah pada ketidakadilan, namun juga memberi ruang bagi munculnya fenomena tiran populis. Populisme otoriter, sebagaimana yang dijelaskan oleh Arie Perlingers, adalah ekspresi dari kelompok nasionalis yang menekankan homogenisasi dan penekanan terhadap perbedaan dalam masyarakat. Tiran populis ini sering kali berbicara atas nama rakyat atau demos, tetapi di balik itu semua, mereka membangun kekuasaan dengan menyerang kelompok minoritas, merongrong hak asasi manusia, dan mengedepankan kebijakan yang melanggar hak-hak dasar masyarakat.

Pemimpin yang memanfaatkan populisme otoriter ini biasanya menggunakan demokrasi hanya sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Mereka menggunakan elektoral untuk mengumpulkan suara, tetapi pada saat yang sama merusak substansi demokrasi itu sendiri. Dalam kondisi ini, demokrasi tidak lebih dari sekadar topeng yang digunakan untuk mengesahkan kebijakan-kebijakan yang berpotensi merugikan sebagian besar rakyat, seperti pengabaian hak-hak masyarakat adat atau pekerja informal, serta pembangunan yang mengorbankan lingkungan hidup. Salah satu contoh nyata dari fenomena ini adalah munculnya ketidakpercayaan terhadap institusi-institusi demokrasi yang seharusnya menjadi penjaga keseimbangan negara.

Baca juga:

Tiran populis sering kali menggunakan retorika yang memecah belah masyarakat, menciptakan ketegangan antara kelompok mayoritas dan minoritas. Mereka membangun pengikut dengan mengutuk kelompok yang tidak populer, seperti masyarakat adat, dan menyerang prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia. Membangun identitas mayoritas yang homogen sering kali menjadi strategi utama mereka dalam meraih dukungan, namun ini juga berpotensi mengarah pada pembenaran pelanggaran terhadap hak-hak sipil, dan bahkan merusak integritas demokrasi itu sendiri. Dalam hal ini, kita harus bertanya kepada diri kita sendiri, apakah demokrasi Indonesia masih bisa bertahan dalam menghadapi gelombang populisme otoriter yang semakin menguat?

Konsolidasi Organisasi Masyarakat Sipil

Tantangan besar yang dihadapi oleh Indonesia saat ini adalah bagaimana membangun konsolidasi di kalangan organisasi masyarakat sipil (OMS) untuk melawan populisme otoriter dan memperjuangkan kebijakan yang lebih adil dan berkelanjutan. Seperti yang ditekankan oleh Yanuar Nugroho, konsolidasi OMS sangat penting untuk merumuskan apa yang sebenarnya ingin diperjuangkan, dan siapa “musuh bersama” yang harus dilawan. Sejak kejatuhan Orde Baru, meskipun jumlah LSM dan OMS semakin berkembang, fragmentasi agenda dan kepentingan di antara mereka sering kali menyebabkan kesulitan dalam berkoordinasi dan bekerja sama.

Namun, jika OMS gagal menyepakati musuh bersama, maka mereka akan terjebak dalam kepentingan pragmatisme jangka pendek, dan bukan dalam perjuangan untuk perubahan sosial yang lebih fundamental. Pada titik ini, tidak hanya perlu ada penguatan simpul-simpul jaringan antara OMS, tetapi juga perlu ada kesepakatan mengenai visi dan misi bersama yang mampu menjembatani perbedaan-perbedaan yang ada. Konsolidasi ini harus dimulai dengan membangun platform kerja yang lebih substansial, bukan hanya berfokus pada kepentingan individual atau organisasi.

Konsolidasi ini juga harus melibatkan berbagai lapisan masyarakat, baik di tingkat akar rumput maupun dalam kebijakan publik. OMS yang bekerja di tingkat akar rumput, yang terlibat dalam kegiatan advokasi dan mobilisasi massa, perlu lebih bersinergi dengan yang bekerja dalam lobi kebijakan dan penelitian. Hal ini dapat memperkuat suara rakyat dalam menghadapi kebijakan-kebijakan yang lebih menguntungkan segelintir elit politik dan ekonomi. Jika simpul-simpul jaringan ini dapat dibangun dengan kuat, maka OMS dapat menjadi kekuatan penyeimbang yang sangat diperlukan dalam menjaga masa depan demokrasi Indonesia. Hanya dengan cara ini, kita bisa memastikan bahwa suara rakyat dan hak-hak mereka tetap didengar dalam proses pengambilan kebijakan.

Ketiadaan sayap kiri di Indonesia yang mengusung narasi keadilan sosial dan pemerataan ekonomi, ditambah dengan maraknya populisme otoriter yang semakin menguatkan kekuasaan pemerintah, menjadi ancaman besar bagi masa depan demokrasi kita. Tanpa adanya kehadiran ideologi yang mengedepankan kesetaraan dan keadilan sosial, kebijakan-kebijakan yang ada akan semakin terfokus pada kepentingan kelompok tertentu. Dalam menghadapi tantangan ini, konsolidasi organisasi masyarakat sipil (OMS) menjadi kunci untuk memperjuangkan kebijakan yang berpihak pada rakyat dan menjaga agar demokrasi Indonesia tetap berjalan pada jalur yang benar. Hanya dengan kerja sama yang lebih solid dan fokus pada visi bersama, OMS dapat mengembalikan arah politik Indonesia menuju keadilan sosial dan pemerintahan yang lebih berkeadilan. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Martin Silaban

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email