Mantra Kesabaran dan Penindasan: Refleksi atas Para Perampang

Sekar Jatiningrum

3 min read

Di balik rasa takut, kecemasan, dan air mata yang terpendam, Ramla, Hindou, dan Safira adalah perempuan-perempuan yang terperangkap dalam takdir kelam. Sejak kecil, mereka dibesarkan dalam nilai-nilai yang mengajarkan ketundukan pada lelaki—baik ayah maupun suami. Mereka dibentuk untuk menerima nasib, mengabdi, dan menjaga kehormatan keluarga. Di dunia mereka, perempuan tidak memiliki banyak pilihan selain tunduk, menerima peran yang telah ditentukan untuk mereka.

Ramla, yang dipaksa menikah sebagai istri kedua, merasa masa depannya dihancurkan. Hindou, yang terjebak dengan suami pemabuk dan penjudi, merasa hidupnya hanya berputar pada penderitaan. Sementara Safira, yang harus dimadu, merasa dirinya terperangkap dalam rumah tangga yang dipenuhi pengkhianatan. Dalam pandangan keluarga dan masyarakat mereka, pernikahan bukan sekadar ikatan sakral—tetapi juga merupakan pengorbanan perempuan tanpa syarat, tak ada ruang untuk penolakan atau pertanyaan.

Munyal: Mantra Kesabaran yang Menindas

Munyal, putri-putriku, munyal,” adalah pesan utama dalam pernikahan, yang terus diulang oleh ayah Ramla. Kata-kata itu menjadi mantra yang tertanam dalam hati setiap perempuan, harus diterima tanpa pertanyaan, tanpa peduli betapa besar penderitaan yang harus mereka alami. Kata “munyal” berarti kesabaran, tetapi dalam tradisi yang patriarkal ini, ia lebih dari sekadar sabar. Munyal adalah pengendalian diri, menerima tanpa melawan, bahkan jika harus menikahi lelaki yang jauh lebih tua, bahkan jika harus mengorbankan masa depan untuk kepentingan keluarga.

Baca juga:

Ramla hanya bisa menunduk, berusaha menyembunyikan kecemasan yang menguasainya. Di rumahnya, setiap tindakan yang dilakukan perempuan dianggap sebagai pengorbanan yang tak boleh dikeluhkan. Pamannya, Hayatou, menambahkannya dengan ajaran tentang kewajiban perempuan dalam pernikahan: “Jaga sholat, baca Al-Qur’an, dan bersikap seperti budak terhadap suamimu, jangan sekali-kali mengeluh.” Perempuan dalam masyarakat ini diharapkan menerima takdir mereka tanpa pertanyaan. Mereka dibesarkan untuk menjadi pelayan, tidak lebih dari itu.

Di desa Ramla, hampir semua perempuan sudah dijodohkan sebelum tamat sekolah dasar. Masyarakat tidak melihat pernikahan sebagai pilihan, tetapi sebagai takdir. Ramla, meski bercita-cita untuk melanjutkan pendidikan dan menikah dengan Amidou, lelaki yang ia cintai, harus tunduk pada keputusan ayahnya. Dia dipaksa menikah dengan lelaki yang jauh lebih tua dan sudah berkeluarga. Mimpi dan harapan Ramla hancur dalam hitungan detik, tertelan oleh nilai tradisional yang menuntut ketundukan tanpa batas.

Hindou, adik Ramla, merasakan hal yang sama. Ia dijodohkan dengan sepupunya, Moubarak, seorang lelaki yang terkenal dengan kebiasaan buruknya yang suka mabuk, judi, dan main perempuan. Masyarakat tidak peduli jika suami perempuan tersebut memiliki kebiasaan buruk—yang penting adalah perempuan harus tunduk pada suaminya. Kata “munyal” kembali bergema dalam hidup Hindou, menekan, memaksa, dan menjeratnya dalam penderitaan yang tak berkesudahan.

Safira, yang kini berusia 35 tahun, juga tidak bisa menolak ketika suaminya ingin menikah lagi dengan Ramla. Dalam keputusasaannya, ia berusaha mengusir istri baru suaminya, bahkan melakukan hal-hal ekstrem. Namun, ia sadar, takdirnya tetap sama—meskipun ia tetap menjadi istri pertama, ia tidak bisa mengubah kenyataan bahwa ia bukanlah satu-satunya.

Tradisi, Patriarki, dan Kekerasan yang Dilanggengkan

Kisah ini terinspirasi oleh kenyataan di Kamerun, Afrika, khususnya dalam masyarakat suku Fulani yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan adat. Munyal, yang seharusnya mengajarkan kedamaian, justru menjadi senjata untuk membenarkan penindasan dan kekerasan terhadap perempuan. Di mata masyarakat, perempuan tidak berhak mengeluh, tidak berhak mempertanyakan peran yang diberikan kepada mereka, dan tidak berhak melawan ketidakadilan yang mereka terima.

Kekerasan simbolik beroperasi dalam masyarakat ini secara halus namun mendalam. Nilai-nilai agama dan tradisi digunakan untuk memperkuat patriarki, dan perempuan diajarkan untuk menerima penindasan tanpa perlawanan. Nasihat yang diterima Hindou saat dipaksa menikah dengan Moubarak menggambarkan realitas tersebut: “Kamu hadir di dunia yang tercipta dari kepedihan. Kau adalah anak perempuan. Maka, munyal-lah seumur hidupmu…”

Ketika Hindou mengalami pemerkosaan dalam rumah tangga, tindakan tersebut dianggap bukan kejahatan. Sebaliknya, seluruh kesalahan ditimpakan padanya. Tubuhnya bukan lagi miliknya, melainkan milik suaminya. Jika suami menginginkan tubuhnya, ia harus menuruti tanpa soal. Ketika ia mencari pertolongan, ia malah disalahkan. Lingkungan sekitar mengingatkan Hindou dengan hadits: “Celakalah wanita yang membuat suaminya marah, dan berbahagialah wanita yang membuat suaminya senang padanya!” Dalam budaya ini, perempuan yang sudah menikah diharapkan tetap diam meskipun mengalami penderitaan.

Baca juga:

Penderitaan Hindou semakin mendalam ketika suatu malam, tubuhnya dihajar habis-habisan dengan sebongkah kayu besar oleh suaminya. Rasa sakit yang luar biasa membuatnya terjatuh dan pingsan. Kekerasan ini merusak fisiknya dan menghancurkan martabatnya sebagai manusia, memperlihatkan betapa dalamnya penderitaan yang harus diterima perempuan dalam budaya yang menuntut mereka untuk “munyal” tanpa batas.

Terperangkap dalam Lingkaran Patriarki

Dalam kisah ini, Ramla, Hindou, dan Safira terperangkap dalam siklus kekerasan yang saling menguatkan—kekerasan langsung, struktural, dan kultural. Johan Galtung (1968) menjelaskan bahwa kekerasan langsung terlihat dalam penindasan fisik, kekerasan struktural terlihat pada pembatasan hak dan kesempatan, sementara kekerasan kultural yang lebih subtil, menanamkan nilai patriarki dalam agama dan budaya, memaksa perempuan menerima ketidaksetaraan sebagai takdir.

Simbol-simbol agama sering dimanipulasi untuk memperkuat patriarki, menanamkan keyakinan bahwa perempuan harus tunduk dan mengabdi. Klaim seperti “ini kehendak Tuhan” semakin memperparah penindasan, mengikat perempuan dalam lingkaran pasifitas yang tidak berujung. Mereka diajarkan untuk menerima ketidakadilan, menginternalisasi rasa rendah diri, dan merasa tidak berdaya menghadapi ketidakadilan.

Namun, berbeda dengan tokoh Firdaus dalam Perempuan Titik Nol karya Nawal el Saadawi, yang lantang menggugat ketidakadilan, tokoh seperti Safira justru terjebak dalam obsesi merebut kembali perhatian suaminya. Ia rela mengorbankan diri, bahkan menghukum saingannya demi pengakuan yang justru menambah kehampaan. Alih-alih membangun hubungan yang tulus, mereka terjebak dalam manipulasi yang mengaburkan kebutuhan sejati mereka: kebebasan dan martabat. Tekanan patriarki terus mengikat mereka, semakin menyempitkan ruang gerak mereka, dan meski berusaha melawan, roda patriarki terus berputar tanpa memberi celah untuk perbaikan. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

 

Sekar Jatiningrum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email