Topik “perselingkuhan” memang selalu menjadi pancingan yang laku bagi pemasaran produk kebudayaan seperti halnya karya sastra. Namun, novel Belenggu karya Armijn Pane ini tidak menyampaikan kisah romansa perselingkuhan semata, melainkan diisi pula oleh isu “daya perempuan” yang digambarkan melalui kedua tokoh perempuan utamanya, Sumartini dan Rohayah.
Tokoh Sumartini merupakan istri dari tokoh Sukartono. Dalam novel ini, diceritakan secara gamblang bahwa Sumartini memiliki kekuatan atas kehendaknya dalam memilih jalan dan cara hidupnya sendiri (dan hal ini dinilai positif oleh khalayak). Sebagaimana halnya Sumartini yang memilih hidup bebas, tidak seperti kehidupan istri pada umumnya di masa itu, yaitu patuh dan tunduk kepada perintah suami, selalu berdiam diri di dalam rumah jika tidak ada izin suami untuk keluar. Sumartini juga berani mengatakan bahwa ia memiliki hak yang sama seperti Sukartono, suaminya. Jika suaminya boleh keluar malam sendiri, maka ia pun tidak boleh dilarang untuk melakukan hal yang sama.
Selain itu, Sumartini juga aktif dalam perkumpulan dan organisasi, terutama pada Kongres Perempuan Indonesia. Kehendak untuk menentukan hidupnya sendiri juga tergambar ketika Sumartini memilih untuk meninggalkan Sukartono yang berselingkuh dengan Rohayah.
Lalu, yang kedua ada tokoh Rohayah yang diceritakan main serong dengan tokoh Sukartono. Berawal karena pernikahan paksa yang dialaminya, Rohayah kabur, lari dari satu kota ke kota yang lain dan memilih menjadi pelacur sebagai caranya untuk bertahan hidup.
Bukan sembarang pelacur, Rohayah memiliki kendali penuh akan perannya sebagai pelacur. Menjadi pelacur bagi Rohayah adalah mekanisme bertahan hidup yang secara sadar ia kehendaki dan siap menerima setiap risikonya. Hal ini tergambar dari keputusannya untuk mengubah namanya berkali-kali dengan alasan menggunakan nama yang baru akan membuat para hidung belang merasa mendapatkan “yang baru” pula.
Dalam hal ini, Rohayah sebetulnya telah menempatkan dirinya sebagai pekerja profesional, dan ia memilih pekerjaannya tanpa paksaan. Pada masa di mana perempuan yang bekerja dianggap hal yang kurang normal, kemerdekaan menentukan jenis pekerjaan seperti yang dilakukan Rohayah tentu merupakan sebuah tindakan revolusi. Rohayah membuktikan bahwa setiap individu, baik perempuan maupun laki-laki, sudah semestinya memiliki kesempatan yang sama dalam menentukan takdir hidup masing-masing.
Meski tidak sedikit pula yang mengatakan bahwa pilihan yang diambil oleh tokoh Rohayah tidak bisa disebut sebagai daya dari seorang perempuan, yakni karena menjadi pelacur dan perempuan selingkuhan merupakan tindakan yang tak pantas. Terlepas dari penilaian normatif tersebut, keputusan Rohayah di sisi lain dapat dilihat sebagai pelaksanaan keberanian, perlawanan terhadap konstruksi budaya yang mengungkung perempuan pada masa itu.
Tentu saja pembaca boleh memiliki tafsir yang berbeda-beda. Justru pembahasan yang berbeda-beda itu yang membuat sebuah karya tetap hidup dari masa ke masa. Harus diakui pula bahwa tak jarang karya sastra mampu membawa pembaca lebih dekat dengan realita. Lebih dekat mengenal manusia, yang sepenuhnya disukai seperti Sumartini, dan yang problematik seperti Rohayah. Bagaimanapun, keduanya tetaplah cermin dari realita di sekitar kita.
Editor: Ghufroni An’ars