Penikmat buku filsafat, sastra, dan agama

Laku Tirakat di Jalan Raya

Ach. Ghifari

2 min read

Kebanyakan aktivitas tirakat hanya kita pahami dalam bentuk ritual agama misalnya ibadah mahdah dan ibadah ghairu mahdah. Fokus pikiran kita berputar-putar di lingkaran itu dan sebenarnya masih banyak aktivitas tirakat yang bisa dieksplorasi. Supaya laku tirakat tidak menjadi jenuh dan membosankan, laku tirakat sebenarnya bisa dilakukan di jalan raya seperti berlalu lintas dengan baik dan benar.

Kita tahu, bahwa betapa sangat semrawutnya kondisi di jalan raya. Apalagi menghadapi orang yang tidak mengalah dan menangnya sendiri dengan dalih kepentingan individu. Kita menemukan banyak pengendara yang masih suka serong kanan, serong kiri dengan tanpa menggunkan lampu penanda. Hal ini menggambarkan bahwa jalan raya sangat problematik apabila dilihat dari sudut pandang bagaimana tata cara berkendara. Kasus di atas hanya seputar cara berkendara lain lagi dengan kelayakan orang itu boleh berkendara atau tidak.

Baca juga:

Dalam buku Tirakat Jalanan yang diterbitkan di Diva Press, M. Faizi menggunakan dalil ushul fiqh sebagai landasan untuk menguraikan berbagai macam problem terutama hubungannya dengan jalan raya. Misalnya, kaidah ushul fiqh tentang konsep al-wafa bil-ahdi yang secara garis besar menjelaskan kesetiaan warga negara untuk tidak melanggar aturan yang telah diatur dalam undang-undang. (hlm. 24)

Sayangnya, mempunyai sikap kepekaan dan kepedulian belakangan ini sangat minim. Pengandara roda dua dan roda empat butuh panduan terkait aturan-aturan berkendara di jalan raya. Ketika kesadaran mematuhi aturan berkendara sudah terbangun, bukan tidak mungkin akan menemukan kebahagiaan-kebahagiaan dalam mengakses jalan raya. Adanya kontrol dan bimbingan dari pihak intelektual yang perannya berpengaruh dalam sebuah instansi masyarakat akan berdampak pada sikap dan kepeduliaannya dalam berkendara.

M. Faizi menyebutkan di dalam bukunya bahwa apabila pelanggaran dilakukan secara berjamaah, maka yang pelanggaran itu seolah menjadi hal yang biasa. Kemudian apabila menemukan orang yang patuh dengan aturan tata tertib berlalu lintas yang hanya dia sendiri melakukannya sedangkan orang lain banyak melanggar orang tersebut justru terlihat bego. (hlm.81)

Saya pribadi pernah dibonceng seseorang. Ketika menyebrang ke kanan jalan, si pengemudi tidak menyalakan lampu sein. Saya menegurnya akibat kecerobahan si pengemudi. Namun, teguran saya tidak digubris. Si pengemudi berdalih bahwa jalanan sepi, jadi tidak perlu menyalakan lampu sein. Padahal dia sedang berada di jalan raya, di mana ketaatan berlalu lintas harus ditunaikan untuk menghindari kecelakaan.

Manusia, pada mulanya merupakan sosok yang mempunyai aspek kesadaran akan keberadaan dirinya. Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Jean Paul Sartre, seorang pemikir eksistensialisme Prancis meskipun ia seorang atheis. Karya populernya membahas tentang keberadaan manusia yang dimuat dalam buku Being and Nothingnes dan Existentialism is Humanism. Sartre menjelaskan di dalam buku Being and Nothingnes bahwa wujud manusia adalah bagian makhluk yang menyadari keberadaan dirinya. Sedangkan makhluk yang lain seperti tanah, batu, pohon, hewan dan lainnya, adalah eksistensi tanpa kesadaran. Ia ada tapi tidak tahu mengapa ia ada.

Baca juga:

Anugerah manusia atas diberikan kesadaran seharusnya meningkatkan kualitas kita dalam berkendaran di jalan raya. Kepatuhan terhadap aturan di jalan raya ini tumbuh apabila kita menyadari bahwa kita adalah wujud makhluk yang mempunyai kesadaran. Dengan demikian, manusia harus menginsyafi atas ketidaksadaran selama ini menjadi manusia terkait arogansinya di jalan raya.

Dalam bukunya, M. Faizi juga menyebutkan bahwa ketika pengendara motor sedang menemukan jalan yang bergelombang atau jalan yang berlubang, pengendar cenderung berpindah ke jalur kanan yang tidak berlubang. Hal itu berarti sudah mengambil hak pengendara lain dengan arah yang berlawanan. Kebiasaan dari perilaku inilah yang biasanya akan memperbesar resiko terjadinya kecelakaan.

M. Faizi sendiri adalah pribadi yang menyukai perjalanan dengan menggunakan angkotan umum. M. Faizi telah menjelajah ke berbagai tempat di Indonesia melalui Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan kawasan Nusa Tenggara Timur. Dengan kesukaannya menyapa Indonesia dengan angkotan umum, M. Faizi tidak ingin melepaskan momen perjalanan yang telah disinggahinhya itu tanpa dicatat dalam bentuk tulisan.

Penulis yang menyajikan buku Tirakat Jalanan ini telah menjabarkan dengan ciamik aturan berkendara di jalan raya. Bagi pembaca yang sering berkegiatan di jalan raya sangat penting untuk membaca buku Tirakat Jalanan supaya kita mendapatkan pencerahan dalam berlalu lintas dengan tertib, taat aturan (tirakat), dan menjaga keselamatan bersama. Dengan cara kita taat dan tertib di jalan raya barangkali merupakan langkah dari mengamalkan tirakat itu sendiri. (*)

Editor: Kukuh Basuki

Ach. Ghifari
Ach. Ghifari Penikmat buku filsafat, sastra, dan agama

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email