Tiga puluh menit selepas azan Isya, di pos ronda, Abang tukang bakso ikan mengetuk pinggiran mangkuk sebanyak tiga kali. Suaranya terbang bersama angin hingga tertangkap telinga Ibu yang sedang rebahan di teras rumah. Gegas Ibu bangun dan ikut berjalan bersama anak-anak yang baru saja pulang mengaji di belakang rumah. Bedanya, anak-anak berjalan menuju rumah masing-masing sementara Ibu berjalan menuju dapur. Mengambil mangkuk, dua buah sendok, dan beberapa lembar uang.
“Kak, mau bakso ikan enggak?”
Suara teriakan Ibu menggema persis ketika tubuhnya berada di ambang pintu masuk. “Tentu saja mau!” seruku membalas teriakan Ibu. Siapa juga yang ingin menolak tawaran bakso ikan gratis?
Sebelum Ibu selesai membeli bakso ikan, aku menutup buku di tangan. Meletakkannya di atas bantal dan meninggalkan kasur beserta seribu godaan lainnya. Aku beralih ke dapur. Menuangkan air minum ke dalam gelas dan membawanya ke teras rumah. Menunggu Ibu kembali. Kedua mataku segera menangkap siluet tubuh Ibu yang berjalan mendekat dengan dua mangkuk di kedua tangannya. Lalu, kedua mangkuk itu diletakkan di atas lantai. Aku mengambil satu, Ibu mengambil satu pula.
Tanganku mengaduk-aduk kuah bakso ikan, menyendoknya sedikit, meniup uap yang menyembul di atas sendok, lalu melahapnya. Rasanya selalu saja sama. Enak. Menggoyang lidah. Ketika kami sedang khusyuk menikmati bakso ikan, adik perempuan Ibu yang biasa kupanggil Bibi bergabung bersama kami. Bibi mengambil tempat di samping Ibu. Ia sempat bersorak sendiri, membicarakan kami yang beli bakso tanpa mengajak dirinya. Bibi mengaku kesal kepada kami meski cara penyampaiannya diselingi guyonan. Lalu tanpa aba-aba, ia meminjam sendokku, dan mencicipi bakso ikan milik Ibu. Ia bilang baksonya lumayan enak, tapi sepertinya kurang sedikit garam.
Ah, kurasa Bibi tak punya hak untuk mengomentari rasa bakso ikan punya Ibu. Daripada memberi masukan yang tak perlu itu, lebih baik ia mengucapkan terima kasih karena sudah diberi kesempatan untuk mencicipi bakso ikan yang dibeli oleh Ibu. Tentu saja Bibi tak meladeni omonganku. Dia selalu punya argumen untuk membantah argumen orang lain. Seperti halnya sekarang ini, dia bilang siapapun berhak untuk berkomentar pada siapapun. Tak terkecuali pejabat-pejabat negara. Kalau tidak mau mendapat komentar dari orang lain, berubah saja jadi ikan jangan jadi manusia.
“Yah, sekelas ikan pun tak akan lepas dari komentar manusia, Bi,” jawabku dengan santai. Bibi kembali menyuap mulutnya dengan bakso ikan milik Ibu, lalu ia membalas perkataanku, “kalau begitu pergi saja dari bumi.”
Mengapa tidak manusianya saja yang berhenti berkomentar pada segala hal. Kurasa tidak semua hal layak untuk dikomentari. Bibi tidak lagi tertarik untuk meneruskan pembahasan perihal komentar manusia. Topik pembicaraan dialihkan ke dunia perbaksoan. Bibi bilang, bakso yang paling enak dan kelihatan menggugah adalah bakso beranak yang dijual di kampung seberang.
“Pas bakso itu dibelah, di dalamnya ada banyak bakso-bakso kecil yang keluar bersama lelehan bumbu cabai,” ujarnya dengan mata berbinar. Bibi seperti sedang membayangkan bakso beranak itu ada di depannya.
Kemudian ia melanjutkan dengan merekomendasikan bakso prasmanan yang sekarang membuka cabang di kawasan Cikande. Menurut informasi yang Bibi dapatkan dari temannya yang pernah membeli, dengan membayar dua puluh ribu rupiah kita dibebaskan untuk mengambil bakso sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, apabila ada satu bakso yang jatuh dari mangkuk, kita tidak lagi diperbolehkan untuk mengambil bakso dari panci.
Sesekali Ibu menimpali perkataan Bibi. Sesekali pula Ibu membantah pendapat Bibi. Bakso yang paling enak di mata Ibu adalah bakso Pak Sabar di persimpangan pabrik cat. Mulut Ibu dengan lancar meluncurkan kata-kata pujian untuk cita rasa bakso Pak Sabar yang melegenda. Sayangnya, sudah nyaris satu tahun ini, lapak Pak Sabar tidak lagi menerima pelanggan. Entah apa alasan Pak Sabar menutup lapak baksonya yang banyak diminati oleh warga sini.
Aku ikut menimpali pembicaraan setelah Ibu selesai bernostalgia dengan bakso Pak Sabar. Menurutku bakso yang paling enak adalah bakso Marem yang ada di Lampung. “Walaupun seporsinya dibanderol sebesar dua puluh ribu, tapi itu setara dengan rasanya yang nendang, dan jumlah baksonya yang banyak.”
Kemudian aku melanjutkannya dengan menyebut nama bakso tumpeng yang kubeli di wilayah Tenjo. Ukuran baksonya tidak bisa dibilang kecil, tidak bisa dibilang besar juga. Di dalam bakso yang bentuknya menyerupai nasi tumpeng itu terdapat potongan tetelan. Satu buah bakso tumpeng ditemani dengan tiga buah bakso kecil, tiga buah gajih, mi, dan sayuran yang umumnya ada pada bakso. Satu mangkuknya dihargai sepuluh ribu rupiah. Nah, kalau bakso yang di dekat indekos yang kutinggali di Serang itu terbilang unik.
Ibu bertanya unik di bagian mananya? Kujawab itu karena si penjual sengaja menyatukan bakso ikan dengan bakso daging dalam satu mangkuk. Rasanya sama saja dengan bakso-bakso pada umumnya.
Gurih, nikmat, dan bikin nagih.
Di saat yang lain melabeli baksonya dengan harga tiga belas ribu ke atas, penjual bakso di dekat indekosku hanya menjualnya dengan harga enam ribu rupiah permangkuk. Kalau dibilang rugi atau tidak, aku tidak tahu, karena aku bukan penjualnya dan tidak pernah menanyakan persoalan itu secara langsung kepada si penjual.
“Abang bakso ikan yang di pos ronda itu juga masih setia menjualnya dengan harga empat ribu rupiah sampai dengan lima ribu rupiah,” ujar Ibu sembari memakan bakso ikan suapan terakhir.
“Tetangga sebelah selalu membelinya dengan harga tiga ribu rupiah.” Kini tangan Bibi mulai bermain-main dengan bakso ikan punyaku. “Kalau begitu, makanan di kampung kita jauh lebih murah daripada di kota,” lanjutnya.
Apa yang dibilang oleh Bibi itu benar. Bukan saja makanannya yang mahal, gaya hidup di kota juga tidak ada yang murah. Saking mahalnya biaya hidup di sana, tidak jarang aku menemukan anak-anak kisaran usia tujuh sampai sembilan tahun banyak yang berkeliaran di sekitar lampu merah. Sebagian besar mereka bekerja sebagai pembersih kaca mobil. Ada juga yang menjajakan makanan ringan, menggendong ukulele dan memanfaatkan suara mereka untuk menarik perhatian para pengguna jalan raya. Ada juga yang hanya menengadahkan tangan mungil mereka dan memasang mimik sendu. Tidak sedikit dari mereka yang memilih mewarnai tubuh kecilnya dengan cat berwarna silver.
Fenomena itu membuatku sakit di bulan pertama tinggal di kota, sebab di kampung tidak ada anak kecil yang berkeliaran di lampu merah sambil membawa kantong kresek. Anak-anak di kampung kami selalu diberi jadwal rutinan. Ketika pagi hari mereka pergi ke sekolah. Siang dan sore hari, waktunya anak-anak bermain. Anak-anak akan pergi mengaji apabila malam datang.
“Ah, pembahasan kamu sudah mulai menjauh. Aku rasa tadi mulutku hanya berbicara tentang makanan, mengapa jadi anak kecil?”
Bibi tidak menyukai topik pembicaraan yang mulai melenceng ini. Tentu ini ada alasannya. Apalagi jika bukan karena ia menyukai anak-anak dan paling tidak bisa mendengar cerita penderitaan anak kecil. Tapi, Bibi adalah perempuan yang kesekian di keluarga kami yang berani memukul pantat kedua anaknya jika mereka mulai tantrum. Ibu tidak termasuk.
“Yah, tapi setidaknya kamu termasuk orang yang beruntung, Kak.” Ibu menatapku bersamaan dengan lengkungan tipis di bibirnya yang merah karena kepedasan.
Perkataan Ibu melahirkan kerutan di dahiku. Takaran apa yang digunakan Ibu sehingga menyebutku orang yang beruntung? Kurasa, keberuntunganku hanya satu; untungnya aku ditakdirkan menjadi anak Ibu.
Ibu mengambil gelas yang terletak di sampingku. Meminumnya sampai setengah. Mata Ibu beradu dengan mataku yang mewarisi mata cokelatnya.
“Kamu beruntung karena sudah menjelajahi banyak kota di negeri ini. Kamu sudah merasakan makanan dari berbagai daerah. Sudah menghirup udara daerah di luar sana. Sementara Ibu hanya tahu satu kota, apalagi kalau bukan tempat tinggal Ayahmu. Itupun hanya satu tahun sekali perginya,” terang Ibu.
Kata-kata Ibu membungkam suaraku. Usia Ibu masih tergolong muda, tetapi pergerakannya sudah banyak dibatasi. Keseharian Ibu dihabiskan di sekitar kampung saja. Kalau tidak main ke rumah tetangga sebelah, atau berkumpul bersama ibu-ibu lainnya di pos ronda, atau ke kebun. Yang paling sering dilakukan oleh Ibu adalah duduk selonjoran di teras rumah sembari memerhatikan lalu lalang anak kecil.
Semakin bertambah usia, pergerakan kaki Ibu semakin menyempit. Hanya mampu berjalan-jalan sekitar rumah, padahal kaki Ibu masih mampu diajak berjalan hingga berpuluh-puluh mil.
Sandal Ibu lebih sering merebah di rak sepatu di depan pintu rumah. Sementara sandal dan sepatuku yang dibelikan oleh Ibu, lebih sering bertualang ke sana-ke mari.
“Nanti kita pergi bersama-sama ya, Bu, ke kota yang Ibu mau,” ucapku menghibur hati Ibu. Tapi Ibu menggelengkan kepalanya. Ia bilang, jangan ke kota. Ibu meminta untuk diajak ke desa lain saja. Katanya desa jauh lebih manusiawi untuk orang tua seperti Ibu dibandingkan kota.
*****
Editor: Moch Aldy MA