La Vida Loan: Swipe Kanan untuk Utang

Irza Khurun'in

2 min read

Suatu ketika, seorang saudara datang kepada saya dengan wajah cemas dan memohon untuk meminjam uang sebesar tiga puluh juta rupiah. Alasannya? Untuk membayar utang-utang pinjaman online (pinjol). Katanya, dia sudah dikejar-kejar tukang tagih dan harus segera membayar hari itu juga. Namun, saat saya tanya, kok bisa punya utang ke pinjol sebanyak itu, dia terlihat bingung dan tak dapat menjelaskan dengan pasti ke mana uangnya sebenarnya mengalir.

Apa yang dialami oleh saudara saya ini bukanlah kasus yang langka. Saya telah mendengar kisah serupa dari lima orang lainnya yang  terjerat pinjaman online. Utang yang didapat dengan mudah itu digunakan untuk belanja di e-commerce, membeli tiket pesawat untuk liburan, dan bersantap mewah di kafe atau restoran fancy.

Baca juga:

Di Twitter, kita juga bisa temukan banyak utas yang berisi keluhan dan curhatan tentang jeratan pinjol. Melalui platform ini, kisah-kisah tersebut menyebar luas, mendapat banyak tanggapan dan tambahan kisah-kisah lainnya sekaligus menjadi bukti nyata betapa banyak di antara kita yang terperangkap dalam lingkaran setan pinjol. Yang perlu dicatat adalah, dari saudara saya hingga mereka yang bercerita di media sosial, kebanyakan berasal dari kelompok usia produktif, usia milenial.

Kenapa banyak milenial terjerat pinjol? Ada beberapa faktor yang dapat menjelaskan fenomena ini. Survei dari Credit Karma menemukan hampir 40% milenial terjebak pinjol untuk memenuhi tekanan gaya hidup dan dorongan menjaga hubungan sosial.

Pertama, mari kita bicarakan tentang tekanan gaya hidup. Milenial hidup di zaman yang penuh dengan tuntutan untuk terlihat sukses dan memenuhi standar kehidupan yang serbacepat. Media sosial memainkan peran besar dalam memperkuat persepsi ini. Media sosial terus menerus membanjiri gambar-gambar yang memuja gaya hidup glamor, perjalanan mewah, dan barang-barang konsumsi yang mahal sebagai simbol keberhasilan.

Selamat datang di dunia yang memikat dan penuh dengan permainan yang menggiurkan! Di tengah gemerlapnya dunia media sosial, para milenial berlomba-lomba untuk tampil kaya dan menapaki tangga sosial dengan cepat, seolah-olah di ujung perjalanan tersembunyi hadiah besar yang menanti.

Dalam perburuan ini, banyak milenial tergoda menghamburkan uang pada barang-barang mewah dan melibatkan diri dalam kegiatan sosial yang melampaui kapasitas keuangan mereka. Seperti pemain serakah dalam permainan Monopoli, mereka rela mempertaruhkan lebih banyak uang untuk membeli properti dan mengejar peluang menggiurkan demi harapan meraih keuntungan yang lebih besar. Namun, mereka tak pikir panjang untuk menghabiskan uang tanpa memperhitungkan konsekuensi finansial. Ibaratnya, bersenang-senang dahulu, dikejar pinjol kemudian.

Kedua, dorongan untuk menjaga hubungan sosial juga memainkan peran krusial. Milenial hidup di era ketika konektivitas digital menjadi sangat penting dalam mempertahankan hubungan dengan teman-teman dan keluarga. Aktivitas sosial seperti nongkrong di kafe mahal, makan malam yang fancy, menghadiri acara-acara, atau berlibur bersama sering kali menuntut pengeluaran yang signifikan. Dalam dunia yang dipenuhi dengan gambar-gambar indah di media sosial, terkadang terlihat bahwa relasi sosial kita ditentukan oleh seberapa banyak uang yang kita keluarkan dan seberapa sering kita bisa memamerkan hidup glamor.

Ekspektasi hidup yang dipenuhi dengan kemewahan telah menjadi mangsa strategis pasar yang cerdik. Setiap e-commerce kini menyediakan fasilitas “bayar nanti” yang menggoda. Mereka menawarkan peluang untuk memenuhi segala keinginan tanpa perlu memikirkan akibat finansialnya. Begitu menggoda, bukan? Kini, kita dapat dengan mudah membeli barang-barang mewah atau mewujudkan liburan impian tanpa perlu mengeluarkan uang.

Di tengah kemajuan teknologi yang membawa godaan “bayar nanti”, kita dihadapkan pada paradoks yang menantang. Pertanyaan yang perlu kita ajukan pada diri sendiri adalah apakah seharusnya nilai uang dan kepemilikan benda menjadi penentu utama dalam menjalin hubungan yang otentik dan bermakna? Ini adalah pertarungan antara kebutuhan akan hubungan yang sejati dengan desakan untuk mengejar materi dan status sosial.

Baca juga:

Untuk menyelamatkan generasi mendatang dari jebakan pinjaman online, diperlukan pendekatan yang komprehensif. Pendidikan keuangan yang efektif di sekolah dan universitas, serta upaya pemerintah dan institusi keuangan untuk meningkatkan akses ke produk keuangan yang lebih terjangkau dan transparan dapat menjadi langkah awal yang penting. Selain itu, mengadopsi gaya hidup yang lebih bijak secara finansial seperti mengutamakan tabungan, mengelola anggaran dengan hati-hati, dan membatasi pengeluaran yang tidak perlu juga merupakan langkah penting yang dapat diambil oleh setiap individu.

Tak bisa kita abaikan bahwa gemerlapnya gaya hidup dan dorongan untuk menjaga hubungan sosial sering kali memaksa milenial untuk mengambil risiko terjerat pinjol. Ketika tekanan ini begitu kuat, penting bagi kita untuk kembali pada kebenaran pepatah lama; hemat pangkal kaya. Mari kita sama-sama menolak kutukan pinjol ini dengan berani tampil apa adanya di media sosial dan dengan kepala tegak mengatakan, “Wahai utang, kau tak lagi bisa menguasai hidupku!”

 

Editor: Emma Amelia

Irza Khurun'in

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email