“Kau pernah membaca buku-buku yang kau bakar?”
“Itu melanggar hukum!”
Bayangkan dunia sekitar tiga ratus tahun dari sekarang. Kira-kira, apa yang kita lihat? Mungkin beberapa mobil melayang, kota-kota menggantung di udara, dan orang-orang yang bepergian dengan jetpack? Ketika Ray Bradbury menulis novel berjudul Fahrenheit 451 pada tahun 1953, ia justru membayangkan masa depan yang lebih suram.
Mengambil latar di abad ke-24, Fahrenheit 451 berkisah tentang kehidupan masyarakat Amerika modern yang berubah drastis akibat dampak Perang Saudara. Jika saat ini kita dapat merayakan individualitas dan karakteristik manusia yang beragam, maka dalam dunia Bradbury, perbedaan pandangan individu adalah musuh. Alih-alih bertindak dan berpikir bebas, orang-orang justru menyerahkan jati diri mereka menjadi bagian kolektif yang didikte pemerintah.
Baca juga:
- Otonomi Daerah dalam Bayang-Bayang Otoritarianisme
- Mengapa Ada Masyarakat yang Merindukan Pemimpin Bertangan Besi?
Dalam ranah sosiologi hukum, kita mengenal istilah konformitas, yakni kecenderungan individu atau kelompok untuk menyesuaikan sikap, perilaku, atau keyakinan mereka dengan norma, nilai, atau harapan yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat. Konformitas terjadi ketika seseorang mengikuti aturan atau pola perilaku mayoritas, sering kali untuk diterima, menghindari konflik, atau memenuhi tekanan sosial, meskipun itu mungkin bertentangan dengan keyakinan pribadi mereka.
Konformitas dalam Fahrenheit 451, digambarkan melalui masyarakat yang patuh pada larangan membaca buku dan memilih hiburan dangkal demi kenyamanan. Buku, yang dianggap sebagai artefak kebebasan berpikir, seketika dilarang oleh pemerintah karena dianggap berpotensi memicu lahirnya ide-ide yang bertentangan dengan tatanan ideal pemerintahan. Demi menghilangkan ancaman buku, regu pemadam kebakaran pun diberi tugas untuk membakar buku-buku tersebut. Bukankah tak ada yang lebih ironis daripada petugas pemadam kebakaran yang diperintah untuk memulai kebakaran?
Novel ini dibuka dengan kalimat yang sangat provokatif: Membakar sungguh menyenangkan. Senada dengan judulnya, Fahrenheit 451 merujuk pada ukuran temperatur, di mana kertas seharusnya terbakar secara otomatis saat terkena suhu pada angka sekitar 451 derajat Fahrenheit (451°F). Secara filosofis, suhu ini melambangkan penindasan pengetahuan dan penghancuran literatur melalui penyensoran yang sangat radikal. Dalam cerita novel, angka “451” pun dijadikan logo simbol yang bertengger pada helm para regu pembakar buku.
Guy Montag, ialah protagonis yang ditunjuk menjadi agen negara sebagai petugas pembakar buku. Awalnya, ia menerima tugas ‘mulia’ tersebut tanpa ragu, tak ubahnya mengikuti norma masyarakat yang memandang buku sebagai ancaman. Namun, pertemuannya dengan Clarisse McClellan, seorang gadis muda yang penuh rasa ingin tahu, membuka matanya terhadap kemungkinan hidup di luar kungkungan konformitas. Clarisse, dengan keberaniannya untuk bertanya “mengapa” alih-alih “bagaimana”, menjadi simbol perlawanan terhadap homogenisasi pemikiran.
Di dunia Fahrenheit 451, pemerintah tak hanya melarang buku, tetapi juga mendorong hiburan instan melalui media massa untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari pemikiran kritis. Warga negara seperti Mildred, istrinya Guy Montag, bisa dikatakan mewakili konformitas yang ekstrem. Mildred tenggelam dalam kehidupan pasif—tak hentinya menatap pada dinding televisi interaktif yang menyediakan “keluarga” artifisial dengan obrolan monoton, menelan asupan rutin obat penenang, bahkan sampai menolak mempertanyakan realitas di sekitarnya. Program-program televisi telah dirancang untuk membuat pikiran penonton tetap kosong, menghibur tanpa menggugah pemikiran, dan menciptakan ilusi kebahagiaan.
Di sini, Bradbury seakan-akan menggambarkan perilaku penikmat hiburan televisi—melalui karakter Mildred—sebagai pesta pora kebodohan; di mana warga tidak hanya pasif menerima, tetapi juga dengan antusias memilih untuk tenggelam dalam dunia tanpa substansi. Hal ini semakin jelas, ketika muncul adegan Mildred dan teman-temannya yang terlibat dalam percakapan dangkal sekaligus menghindari topik berbobot. Pada titik ini, Bradbury tidak hanya menggambarkan konformitas sebagai alat penindasan, tetapi juga memaparkan bagaimana kebodohan dirayakan sebagai gaya hidup dalam masyarakat distopia yang ditampilkannya.
Alur cerita Fahrenheit 451 menunjukkan bahwa konformitas tidak hanya dipaksakan oleh otoritas, tetapi juga diperkuat oleh tekanan sosial. Masyarakat dalam novel ini secara sadar memilih untuk tidak membaca, bukan hanya karena larangan, tetapi karena mereka lebih menyukai kenyamanan atas ketidaktahuan. Hal ini terlihat dari dialog Montag dengan Kapten Beatty, yang menjelaskan bahwa pembakaran buku dimulai dari keinginan masyarakat untuk menghindari konflik intelektual dan perbedaan pendapat. Sampai-sampai ia berujar, “Ketika sekolah menghasilkan lebih banyak pelari, pelompat, pembalap, mekanik, perampas, penjambret, penerbang, dan perenang alih-alih peneliti, kritikus, ahli, dan pencipta, kata ‘intelektual’ tentu akan menjadi kata tabu. Orang selalu takut pada hal-hal yang tidak diketahui.”
Sebagai anggota regu pembakar senior, Kapten Beatty memang tahu lebih banyak tentang sejarah awal mula pembakaran buku. “Dulu, buku menarik bagi segelintir orang, di sana sini, di mana-mana,” ungkap Kapten Beatty. Namun, perkembangan dunia menuntut perubahan yang serba cepat. Segala sesuatunya dipangkas sampai tinggal intinya.
“Karya klasik dipangkas agar sesuai dengan acara radio berdurasi lima belas menit, lalu dipangkas lagi untuk mengisi kolom buku yang dibaca dua menit, dan akhirnya menjadi ringkasan sepuluh sampai dua belas baris di dalam kamus.” Sekitar tujuh puluh tahun sejak novel ini pertama kali terbit, kekhawatiran Bradbury mungkin masih tetap relevan, bercermin pada kecanduan kita atas sesuatu yang serba ringkas—seperti konten-konten video pendek—yang masih sulit untuk dihindarkan.
Kapten Beatty, dalam monolognya kepada Montag, menjelaskan bahwa “kebodohan” bukanlah kecelakaan, melainkan hasil dari keinginan kolektif masyarakat itu sendiri. Menurut Beatty, buku adalah sesuatu yang membingungkan dan dapat memicu konflik karena isinya memaksa orang untuk berpikir dan merasakan hal-hal yang kompleks. Dengan menghapus keberadaannya, masyarakat dapat terus berpesta dalam pengetahuan yang dangkal, sehingga tak akan pernah berontak meski hidup dalam kontrol kekuasaan.
Baca juga:
Lahirnya masyarakat distopia ala Bradbury yang digambarkan memuja kebodohan dengan membakar buku, rasa-sasanya sangat sejalan dengan temuan Fernando Báez dalam bukunya yang berjudul A Universal History of the Destruction of Books. Ia menyatakan bahwa penghancuran buku sering kali dilakukan oleh kaum terdidik dengan motif ideologis, bukan sebatas karena ketidaktahuan.
Báez mencatat bahwa sepanjang sejarah, dari pembakaran tablet di Babilonia, pembakaran papirus-papirus di Mesir, pembunuhan kaum terpelajar disertai pembakaran buku di Cina, hingga perusakan perpustakaan di Irak, buku-buku sengaja dihancurkan untuk menghapus gagasan yang dianggap mengancam kekuasaan atau nilai-nilai dominan. Dalam Fahrenheit 451, Kapten Beatty menjelaskan bahwa buku dibakar karena mampu memicu ketidakpuasan dan pertanyaan kritis, mirip dengan argumen Báez bahwa buku dihancurkan untuk “menghabisi memori penyimpannya” dan warisan budaya tertentu.
Untungnya, dan memang seharusnya demikian, Bradbury menawarkan harapan melalui perlawanan terhadap konformitas negatif tersebut. Sebagai tokoh sentral, Montag akhirnya memberontak, memilih untuk melarikan diri dari kota dan bergabung dengan sekelompok intelektual yang menghafal isi buku untuk melestarikan pengetahuan. Merekalah “orang-orang buku” yang menjelma dari Plato, Marcus Aurelius, Jonathan Swift, Charles Darwin, Albert Einstein, Mahatma Ghandi, Gautama Buddha, hingga Konfusius. “Tujuan kami adalah menyimpan pengetahuan yang kami anggap penting agar tetap utuh,” begitu pengakuan mereka.
Perjalanan Montag sendiri adalah cerminan dari perjuangan melawan kebodohan. Ketika ia mulai membaca buku dan merenungkan maknanya, ia menyadari betapa kosongnya kehidupan yang dulu ia jalani. Montag seolah-olah kembali melihat api, tapi kali ini api pengetahuanlah yang menyala.
Meskipun berupaya mengingatkan tentang pentingnya eksistensi buku bagi umat manusia, Bradbury tampaknya tak bermaksud melakukannya dengan glorifikasi berlebihan. Dalam salah satu adegan, seorang mantan profesor bernama Faber sempat menasihati Montag, “Bukan buku yang kau butuhkan, melainkan sesuatu yang dulunya tercantum dalam buku … Buku hanyalah salah satu jenis wadah tempat kita menampung banyak hal yang kita khawatirkan akan terlupakan. Sama sekali tidak ada yang ajaib di dalamnya. Keajaiban hanya ada pada hal-hal yang tercantum dalam buku tersebut, bagaimana buku menjahit potongan demi potongan alam semesta menjadi satu pakaian untuk kita.”
Pada akhirnya, secara subtil Bradbury mengajak kita merenungkan kembali sejauh mana kita rela menyerahkan kebebasan demi rasa aman. Jika dilihat dari lanskap yang lebih luas, pendekatan fiksi ilmiah dalam novel ini bukan sekadar bentuk hiburan futuristik semata, tetapi merupakan wahana kritik sosial yang akan selalu relevan, terutama dalam konteks masyarakat modern yang makin terjebak dalam ilusi kemajuan teknologi dan hegemoni narasi politik.
Dengan menjembatani fiksi dan realitas, Fahrenheit 451 menjadi peringatan abadi tentang bahaya konformitas yang tidak pernah dipertanyakan. Langgengnya novel klasik ini tentu tak hanya memperkaya studi sastra dunia sekian lama, tetapi juga menjadi resistansi untuk mengajak pembaca merefleksikan ulang relasi antara kebenaran, kekuasaan, dan kebebasan dalam dunia nyata yang kian kompleks dan terpolarisasi. (*)
Editor: Kukuh Basuki