Godzilla dalam Lensa Postmodern: Dualisme Perspektif dalam Sebuah Ikon Budaya Pop

Antonius Harya Febru Widodo

5 min read

Sejak pertama kali muncul pada tahun 1954, Godzilla telah melampaui batas-batas sebuah monster film untuk menjadi cermin budaya yang kompleks. Di balik sosok raksasa ini tersembunyi berbagai lapisan makna, mulai dari simbol trauma nuklir pasca-Perang Dunia II hingga representasi kekuatan alam dan bahkan figur pahlawan CGI dalam dunia blockbuster Hollywood.

Dalam narasi postmodern, Godzilla tidak hanya merefleksikan sejarah, tetapi juga mengungkapkan kontradiksi nilai dan identitas antara Timur dan Barat. Artikel ini akan mengupas bagaimana dua wajah utama Godzilla—versi Toho dan versi Legendary—mengungkapkan kritik terhadap modernitas, politik, dan budaya populer melalui lensa eksistensialisme, intertekstualitas, dan hiperrealitas.

Eksistensialisme dan Trauma: Wajah Godzilla Toho

Dalam film-film karya Toho, seperti Gojira (1954), Shin Godzilla (2016), dan Godzilla Minus One (2023), Godzilla muncul sebagai manifestasi kekuatan alam yang menghancurkan tanpa ampun. Di balik kerusakan yang ditimbulkannya tersimpan simbol trauma yang mendalam—baik trauma akibat bom atom maupun trauma kolektif pasca-perang. Pendekatan ini sejalan dengan pemikiran Albert Camus tentang absurditas: dunia ini tidak memiliki makna inheren, dan manusia harus mencari serta menciptakan maknanya sendiri di tengah kekacauan yang mengelilinginya.

Dalam Gojira (1954), sosok Godzilla adalah alegori dari kehancuran yang ditimbulkan oleh senjata nuklir. Film ini tidak sekadar menceritakan kisah monster, melainkan juga mengungkap luka mendalam yang dialami masyarakat Jepang akibat perang. Seiring berjalannya waktu, Shin Godzilla (2016) menambahkan lapisan kritik terhadap birokrasi, menggambarkan bagaimana struktur pemerintahan yang kaku dan lambat sering kali malah memperburuk krisis ketika bencana melanda.

Baca juga:

Sementara itu, Godzilla Minus One (2023) membawa unsur eksistensialisme lebih jauh melalui karakter protagonis yang harus bergulat dengan trauma pribadi dan kegagalan masa lalu. Di sini, Godzilla menjadi simbol dari kekuatan yang tidak mengenal belas kasihan, mengingatkan penonton bahwa dalam dunia yang absurd, pencarian makna adalah perjuangan yang tak pernah usai.

Dari Ancaman Menjadi Penjaga Ekologi: Wajah Godzilla Legendary

Berlawanan dengan versi Toho yang sarat dengan beban historis dan tragedi, MonsterVerse yang dipopulerkan oleh Legendary Pictures menghadirkan Godzilla dalam cahaya yang berbeda. Dalam film seperti Godzilla (2014), Godzilla: King of the Monsters (2019), dan Godzilla x Kong: The New Empire (2024), Godzilla bertransformasi dari simbol kehancuran menjadi penjaga keseimbangan ekologi global. Di sini, Godzilla bukan lagi representasi dari ketidakpedulian kosmik atau trauma, melainkan entitas yang memiliki tujuan jelas—melawan ancaman yang lebih besar demi menstabilkan tatanan alam semesta.

Pendekatan ini sejalan dengan pandangan eksistensialisme Kierkegaardian, di mana makna keberadaan individu (atau dalam hal ini, monster raksasa) ditemukan melalui peran dan fungsi yang lebih tinggi dalam skema alam. Dalam Godzilla (2014), misalnya, sang raksasa muncul sebagai “dewa” yang mengembalikan keseimbangan dengan menghadapi makhluk-makhluk yang mengancam sistem ekologi Bumi. Sementara itu, dalam Godzilla x Kong, konflik antara dua raksasa—Godzilla dan Kong—tak hanya menggambarkan pertarungan epik, melainkan juga pencarian identitas dan harmoni antara kekuatan alam yang berbeda.

Di dunia MonsterVerse, manusia berperan sebagai pengamat atau saksi atas pertarungan epik antara kekuatan-kekuatan alam yang memiliki peran vital dalam menjaga keseimbangan dunia. Narasi ini menciptakan sebuah optimisme bahwa, meskipun dunia terfragmentasi oleh teknologi dan modernitas, masih ada kekuatan alami yang mampu meluruskan ketidakseimbangan. Dengan CGI yang memukau, dunia MonsterVerse dibangun sebagai ruang hiperrealitas—di mana batas antara fiksi dan kenyataan mulai kabur, dan visual spektakuler menjadi daya tarik utama bagi penonton global.

Intertekstualitas dan Simulakra: Jejak Sejarah yang Direkonstruksi

Salah satu kekuatan naratif dalam film-film Godzilla versi Toho terletak pada kemampuan mereka untuk berintertekstualitas dengan karya-karya klasik sebelumnya. Baik Shin Godzilla maupun Godzilla Minus One secara eksplisit merujuk pada estetika dan makna dari film Godzilla 1954, menciptakan pengalaman yang memadukan nostalgia dengan kritik sosial. Pendekatan ini membawa penonton untuk merenungkan bagaimana trauma sejarah—seperti bom atom dan bencana nuklir—terus bergema dalam budaya populer.

Teori simulakra Jean Baudrillard juga relevan dalam konteks ini. Dalam dunia postmodern, tanda dan representasi sering kali telah kehilangan hubungan langsung dengan realitas yang sebenarnya. Versi-versi Godzilla yang muncul belakangan bukan lagi sekadar replikasi dari peristiwa historis, melainkan reinterpretasi yang membentuk “realitas” baru berdasarkan ingatan kolektif dan media. Dengan demikian, Godzilla modern menjadi sebuah simulakra: bayangan yang terbentuk dari tumpukan representasi masa lalu yang telah dirombak untuk memenuhi kebutuhan naratif zaman kini.

Kritik Sosial dan Politik: Dari Birokrasi Hingga Kekuasaan Global

Tak hanya soal estetika, film-film Godzilla versi Toho juga sarat dengan kritik tajam terhadap struktur sosial dan politik. Shin Godzilla misalnya, merupakan cerminan dari kegagalan sistem birokrasi Jepang dalam menghadapi krisis. Dalam film ini, para pejabat terjebak dalam mekanisme administratif yang berbelit, sehingga respons terhadap ancaman menjadi lambat dan tidak efektif. Kritik ini mengingatkan pada tulisan-tulisan Franz Kafka, yang menggambarkan betapa sistem yang seharusnya melindungi masyarakat justru bisa menjadi sumber bencana itu sendiri.

Baca juga:

Di sisi lain, Godzilla Minus One menggali tema trauma dan rasa bersalah yang mendalam, terutama melalui tokoh protagonis yang merupakan mantan pilot kamikaze. Di sini, Godzilla bukan hanya monster eksternal, melainkan juga cerminan kegagalan manusia dalam menghadapi konsekuensi pilihan masa lalu. Pemikiran Friedrich Nietzsche tentang nihilisme juga tampak dalam narasi ini, di mana ketiadaan makna yang inheren dalam kehidupan dipaksa untuk diisi melalui tindakan heroik sebagai bentuk pemberontakan terhadap kekosongan eksistensial.

Sementara itu, di dunia MonsterVerse, politik kekuasaan mengambil bentuk yang berbeda. Dalam narasi Hollywood, Godzilla dan Kong tampil sebagai simbol kekuatan yang memelihara tatanan global. Dalam film seperti Godzilla: King of the Monsters, kehadiran militer—khususnya militer Amerika—diintegrasikan ke dalam alur cerita sebagai sekutu bagi Godzilla, menciptakan narasi yang mendekati konsep hegemoni global. Pendekatan ini tidak hanya menyederhanakan konflik, tetapi juga menghapuskan kritik mendalam terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang pernah melekat pada karakter Godzilla versi Toho.

Hiperrealitas Hollywood: CGI dan Mitos Pahlawan

Di era digital ini, teknologi CGI telah merevolusi cara kita menyaksikan film. MonsterVerse dari Legendary Pictures memanfaatkan teknologi ini untuk menciptakan dunia hiperrealitas, di mana setiap detail visual terasa begitu nyata hingga mengaburkan batas antara fiksi dan kenyataan. Hollow Earth—konsep yang dulu hanya berupa mitos—dirancang dengan sangat rinci, sehingga penonton dapat tenggelam dalam dunia alternatif yang sama-sama spektakuler dan penuh misteri.

Pendekatan ini sejalan dengan teori hiperrealitas Jean Baudrillard, di mana realitas buatan yang dibangun oleh media memiliki daya tarik yang lebih kuat daripada kenyataan itu sendiri. Dalam konteks ini, Godzilla tidak lagi dilihat sebagai simbol tragedi atau trauma, melainkan sebagai figur pahlawan modern yang menghadirkan pengalaman visual yang menakjubkan. Film seperti Godzilla x Kong: The New Empire tidak lagi mengaitkan keberadaan Godzilla dengan konteks historis atau politik, tetapi lebih menekankan pada aksi dan keseruan yang bisa menghibur audiens secara universal.

Jepang dan Amerika dalam Memaknai Godzilla

Dua wajah Godzilla ini pada dasarnya mencerminkan perbedaan budaya antara Jepang dan Amerika. Di Jepang, Godzilla merupakan cermin retak yang menggambarkan luka sejarah—dari kehancuran bom atom hingga kegagalan sistem birokrasi. Pendekatan postmodern reflektif ini mendorong penonton untuk merenungkan kembali masa lalu yang pahit dan mencari makna di balik trauma kolektif. Film-film seperti Gojira, Shin Godzilla, dan Godzilla Minus One mengajak penonton untuk melihat lebih jauh dari sekadar aksi monster, melainkan sebagai refleksi dari perjuangan identitas dan pencarian makna dalam dunia yang absurd.

Sebaliknya, narasi Hollywood yang dibangun dalam MonsterVerse lebih menekankan pada hiburan dan spektakel visual. Godzilla dan Kong di sini diubah menjadi figur pahlawan yang mengusung nilai-nilai universal tentang keseimbangan dan keadilan global, tanpa harus disertai dengan beban sejarah dan kritik sosial yang mendalam. Pendekatan ini, yang bisa disebut sebagai postmodern komersial, menyederhanakan kompleksitas makna sehingga lebih mudah diterima oleh pasar global. Dalam dunia ini, konflik yang terjadi lebih difokuskan pada pertarungan epik antara kebaikan dan kejahatan, di mana sejarah dan trauma tidak lagi menjadi fokus utama.

Retakan Cermin atau Kilauan Ilusi?

Pada akhirnya, Godzilla sebagai ikon budaya postmodern menawarkan dua pilihan narasi: satu yang menggali retakan cermin masa lalu, dan satu lagi yang membungkusnya dalam kilauan ilusi modern. Versi Toho mengingatkan kita akan keberadaan trauma, kegagalan sistem, dan pencarian makna dalam kekacauan—sebuah cermin yang retak namun jujur terhadap sejarah manusia. Sedangkan versi Legendary mengajak kita untuk terbuai oleh keindahan visual dan narasi pahlawan yang menyederhanakan kompleksitas dunia, sebuah realitas alternatif yang diciptakan melalui teknologi CGI.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: akankah kita memilih untuk menghadapi realitas yang pahit namun otentik, atau terlarut dalam bayangan indah yang diciptakan oleh hegemoni budaya global? Pilihan ini bukan hanya soal preferensi film, melainkan juga refleksi tentang bagaimana kita memahami sejarah, trauma, dan peran kita dalam mengatasi kekacauan yang ada di sekitar kita.

Melalui kedua perspektif ini, Godzilla tetap menjadi simbol ambivalen—sebuah entitas yang terus berevolusi seiring dengan perubahan zaman. Di satu sisi, ia menjadi saksi bisu dari luka-luka masa lalu dan kritik terhadap modernitas yang menimbulkan kehancuran. Di sisi lain, ia muncul sebagai figur heroik yang mengusung nilai keseimbangan dan keadilan dalam dunia yang semakin bergantung pada teknologi dan hiburan visual.

Dengan demikian, Godzilla tidak hanya sekadar monster raksasa dalam layar lebar, melainkan juga representasi dari pergolakan budaya, politik, dan filsafat di era postmodern. Dalam setiap film, ia mengajak penonton untuk merenungkan: apakah keberadaan kita hanya sebuah fragmen dari sejarah yang retak, ataukah kita mampu membentuk makna baru di tengah gemerlap ilusi modern? (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Antonius Harya Febru Widodo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email