Suka bingung kalau disuruh milih, "Radiohead apa Pink Floyd?"

Menggadaikan Orisinalitas dan Kreativitas kepada AI

Muhammad Ridwan Tri Wibowo

3 min read

Di sebuah kedai kopi, saya mengobrol tentang Artificial Intelligence (AI) dengan salah satu pengunjung. Ia bercerita sedang internship sebagai copywriter di sebuah komunitas kesehatan mental. Dengan percaya diri, ia mengakui selalu memakai chatbot seperti Chat GPT dalam membuat konten. Entah dari membuat ide, konsep, outline, hingga parafrase kalimat.

Eits, tapi jangan ditelan mentah-mentah dulu. Ia tidak menggunakan Chat GPT seutuhnya untuk menyelesaikan pekerjaan. Ia hanya menggunakan Chat GPT untuk memasak kontennya saja. Maksudnya, Chat GPT tidak digunakan sebagai sumber referensi atau daftar pustaka. Ia tetap berpatok pada jurnal internasional dan website internasional yang terpercaya seperti Verywell Mind, Psychology Today, dan Psych Central. Setelah mendapatkan data-data yang dibutuhkan, barulah ia mengolah di Chat GPT.

Baca juga:

Misalnya, ingin menulis konten IG Story, ia akan melakukan seperti ini: 1) Menyalin bagian yang menjadi pokok pembahasan dari jurnal dan website yang ia baca. 2) Menyuruh Chat GPT untuk membuat konten IG Story dengan perintah: “Tolong buatkan saya konten IG Story tiga slide (karena jika terlalu banyak malah menjadi tidak efektif). Kontennya harus menarik dan interaktif. Gunakan kalimat yang efektif dan orang awam mudah mengerti!”

Setelah konten tersebut muncul di hadapannya, ia membaca kembali kalimat-kalimat tersebut. Kalau misalnya kurang sreg, entah kalimat belum efektif atau masih sulit dipahami, ia kembali memerintah: “Ini kalimat masih jelek, terlalu panjang, orang malas membacanya. Selain itu, tulisan ini masih sulit dimengerti orang awam. Tolong parafrase ulang menjadi kalimat yang lebih efektif dan mudah dimengerti orang awam!”

Kalau hasilnya belum memuaskan? Ya ia perintahkan lagi sampai ia benar-benar puas. Setelah puas, ia mengirim artikel tersebut ke link Google Workspace yang sudah disiapkan atasannya. Kelar. Kerjaan beres hanya dalam waktu kurang dari satu jam. “Hebat bukan?” tanyanya sambil tersenyum. Saya hanya bisa tersenyum dan geleng-geleng kepala saja.

Kemudian saya berkata, “Hebat, ya, kemajuan teknologi sekarang. Kita jadi tidak perlu menghabiskan waktu banyak menyelesaikan pekerjaan. Habis itu bisa mengerjakan pekerjaan lain.”

“Iya, benar. Sehabis itu saya bisa mengerjakan tugas kuliah, tugas organisasi, dan menulis opini di media massa,” jawabnya datar.

“Dengan menggunakan Chat GPT?” tanyaku penasaran. Kemudian ia mengangguk.

Gila! Ia menulis opini memakai Chat GPT. Jangan-jangan, selama ini saya tertipu dengan beberapa teman saya yang hampir setiap minggu bisa menulis opini. Sebetulnya saya iri. Teman-teman saya bisa sangat produktif . Saya jadi berspekulasi (lebih tepatnya suudzon) teman-teman saya juga melakukan hal yang sama.

Setelah mengangguk setuju. Hening beberapa saat. Kulihat mukanya menjadi murung. Kemudian ia berkata, “Tapi saya tidak bahagia. Saya merasa membohongi kemampuan saya ke diri saya sendiri, dan ke banyak orang. Jadi beban moral.”

“Apakah sampeyan masih melakukan hal tersebut?” Lalu ia kembali mengangguk. “Kalau tidak bahagia, kenapa sampeyan masih melakukannya?” tanya saya dengan jidat mengerut. Kemudian ia mengakui kalau dirinya sudah mengalami ketergantungan dengan Chat GPT. Kalau tidak menggunakannya, ia tidak bisa menyelesaikan pekerjaannya, dan tidak bisa membuat opini. Mampus! Makan tuh hidup tidak bahagia! Bukankah bentuk ini penipuan baru?

Lalu sampeyan melakukan ini semua untuk apa?”

“Demi eksistensi. Agar saya diakui hebat oleh teman-teman saya, bahkan oleh orang banyak.” 

Karena saya, menghargainya dan tidak ingin membuatnya marah, saya hanya mengangguk-angguk saja. Sebenarnya saya ingin mengatakan bahwa ia salah kaprah tentang eksistensi dirinya. Ia malah menjauhi dirinya sendiri. Ia tidak bisa menjadi manusia se-pure-pure-nya (seutuhnya).

Saya mengakui, keinginan untuk diakui oleh orang lain adalah hal yang manusiawi. Namun sayangnya, ia memperoleh pencapaian itu dengan cara yang instan. Wajar saja, ia merasa tidak bahagia. Seharusnya pengakuan tersebut didapatkannya dari usaha dan kemampuan yang nyata, bukan hasil manipulasi Chat GPT.

Menulis opini yang seharusnya menjadi laku aktualisasi diri. Atau gampangnya, menjadi proses untuk mengekspresi dan memuaskan diri. Tetapi hal tersebut juga harus dilakukan dengan jujur. Ketergantungannya dengan Chat GPT telah menghilangkan rasa kepuasan, rasa yang seharusnya menjadi bagian dari aktualisasi diri.

Sebenarnya, tanpa sadar ia telah melakukan bunuh diri. Yaitu menjauhi kepuasan dirinya sendiri. Ia melenyapkan sentuhan personal dan emosi yang seharusnya hadir ketika menulis opini. Ia lupa bahwa setiap kata, kalimat, dan paragraf yang dibuat adalah hasil proses kreatif. Ini seharusnya merupakan ekspresi dan orisinalitas dari dalam diri kita sebagai manusia. 

Sebuah Solusi

Satu tahun yang lalu, University of Montana menerbitkan hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa AI mampu melampaui 1% tingkat kreativitas manusia. Analisis itu berdasarkan alat ukur Torrance Test of Creative Thinking (TTCT). 

Dalam penelitian tersebut, AI–khususnya Chat GPT–dinilai mampu menghasilkan cerita yang tidak hanya menarik, tapi juga interaktif. Secara kasat mata, hal ini sangat bermanfaat bagi penulis amatiran, terutama bagi mereka yang belum memiliki kemampuan teknis menyusun kalimat yang enak dibaca.

Dengan hadirnya AI, mereka bisa melakukan perintah untuk melakukan parafrase. Hasilnya, kalimat yang efektif dan mudah dimengerti orang awam pun dengan mudah mereka dapatkan. Ini serius! Asalkan mereka bisa membuat perintah dengan baik dan benar kepada AI.

Namun, terlepas dari manfaat yang ditawarkan, timbul pertanyaan dalam benak saya, “Di era digital ini, di manakah letak nilai dan kedudukan manusia itu sesungguhnya? Bukankah sudah sejak dulu manusia dikarunia sebagai makhluk yang suci karena memiliki  kemampuan akal budi?”

Nah, ketika kecerdasan buatan mampu meniru segala aspek-aspek kreativitas manusia, saya memiliki ketakutan bahwa kemampuan kreativitas manusia yang sesungguhnya akan terpinggirkan. Apalagi, ditambah masyarakat kini yang lebih mendambakan hasil akhir daripada prosesnya.

Untuk mengatasi hal tersebut, izinkan saya memberikan sebuah motto hidup untuk menutup tulisan ini, ”Selama masih berurusan dengan aktualisasi diri, jangan gadaikan jiwa dan raga kita kepada AI. Karena di situlah letak kepuasan hidup berada. Di mana kita bisa melakukan sesuatu hal dengan sejujur-jujurnya, semurni-murninya, dan tanpa mengkhianati kemampuan diri kita sendiri!”

Annalee Newitz, seorang penulis fiksi ilmiah dan jurnalis, berpendapat bahwa penulisan kreatif adalah bentuk komunikasi antara manusia. Bahkan jika hasil tulisan itu tidak bagus-bagus amat. Seperti tulis saya ini. Hehe.

Yaps! Selama sudah mengoptimalkan seluruh kemampuan kita dalam menulis, tujuan komunikasi tersebut sudah tercapai. (*)

Editor: Kukuh Basuki

Muhammad Ridwan Tri Wibowo
Muhammad Ridwan Tri Wibowo Suka bingung kalau disuruh milih, "Radiohead apa Pink Floyd?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email