Alan Weisman dalam bukunya yang berjudul The World Without Us (2007) memberikan visualisasi masa depan, bagaimana manusia tidak lebih berdaya di hadapan spesies flora dan fauna yang akan hidup lebih lama dari mereka, sekalipun jika umat manusia punah dari muka bumi. Dalam buku tersebut, keangkuhan manusia dipaksa tunduk oleh tumbuhan merambat dan menjalar, yang meskipun kerap diremehkan keberadaannya, akan tetapi sejatinya daya mereka terlampau luar biasa untuk melumat habis segala sesuatu yang disebut mahakarya oleh manusia.
Kendati demikian, langkah kaki manusia hari ini masih dilumpuhkan oleh gairah untuk berkuasa demi ambisi hidup dalam gelimang harta serta kemilau tahta. Mereka dibutakan dari fakta bahwa manusia tiada lain hanya akan menjadi hidangan para bakteri yang akan mengurai sisa-sisa keangkuhan dalam setiap jengkal sel tubuhnya. Manusia tidak sedikit pun memiliki wewenang untuk berjalan di muka bumi ini dengan tingginya rasa angkuh di hadapan keberagaman para penduduk bumi lainnya, yaitu hewan dan tumbuhan, air, tanah, dan juga udara.
Bukankah bukti bahwa keangkuhan manusia terhadap keberadaan penghuni muka bumi lainnya ini telah tampak jelas dalam tahun-tahun kekosongan akibat pandemi virus korona? Gedung pemerintahan, pusat perbelanjaan, tempat hiburan, sekolah, hingga rumah ibadah hanya menjadi tempat bagi mencekamnya kesunyian yang dirasakan oleh para manusia yang tidak lagi berdaya di dalam rumahnya. Sementara dengung pengumuman tanda berduka silih berganti bersamaan dengan sirine ambulan yang bersaut-sautan di jalan, mengalahkan segala bising yang pernah tercipta di tempat-tempat tersebut.
Rumah sakit menjadi tempat transit sebelum kepulangan bagi mereka yang telah akut terjangkit. Pakaian yang melindungi para relawan tenaga kesehatan tidak lebih putih dari kafan yang membungkus korban ataupun putihnya peti yang menjadi tempat istirahat menuju kehidupan abadi. Barangkali dalam tahun-tahun itu tidak ada satupun yang dirayakan selain bumi yang terbebas dari jeratan polusi karbon udara yang setiap harinya disumbangkan oleh makhluk angkuh bernama manusia. Tiadalah berdaya kesombongan manusia dihadapan virus yang bahkan keberadaannya tidak kasat mata.
Tragedi tersebut bermula dari satwa kelelawar yang nestapa mencari suaka setelah habitat tempat mereka mencari makanan di babat oleh manusia lantas mengguncang keseimbangan rantai makanan. Dalam hal ini, mereka meninggalkan bibit-bibit parasit dalam rantai makanan manusia yang berpotensi menjadi penyakit mematikan. Penyaluran parasit dari hewan menuju manusia atau yang disebut dengan zoonosis merupakan konsekuensi dari ulah manusia yang mencoba mengacaukan keseimbangan serta keberagaman yang terdapat dalam pola rantai makanan, bahwa terguncangnya suatu variabel penting dalam mata rantai tersebut akan menjadi bencana besar.
Satwa kelelawar sebagai variabel rantai makanan di habitatnya yang seimbang terusir dan harus berbagi ruang dengan manusia, Hal itu mengakibatkan terjadinya percampuran rantai makanan yang di dalamnya telah terkontaminasi parasit-parasit penginfeksi manusia. Sebagaimana telah diketahui, hal tersebut mengakibatkan jutaan manusia berakhir menjadi mangsa bagi virus yang tumbuh di dalam tubuh mereka sendiri. Pandemi virus korona menjadi pelajaran penting bahwa kekacauan dalam rantai makanan dapat berakibat fatal. Hal itu juga memberikan gambaran betapa pentingnya keseimbangan ekosistem yang di dalamnya penuh dengan keberagaman.
Kendati demikian, pelajaran akan pentingnya keseimbangan dan keberagaman ekosistem hari ini masih terancam oleh serat-serat angkuh manusia yang terwujud nyata dalam produk ciptaannya. Salah satunya yaitu plastik sekali pakai. Sayangnya, plastik sekali pakai hingga hari ini masih ditolak oleh bumi untuk mengkremasi dirinya bahkan jika harus menunggu ratusan tahun lamanya. Berbeda dengan jenis sampah lainnya, plastik sekali pakai ini tidak akan dapat diuraikan kembali kecuali dengan cara-cara khusus mereka dapat dipergunakan kembali.
Baca juga:
- Sampah Plastik, Masa Depan Laut dan Kesehatan Manusia
- Fakta Penelitian: Ada Plastik di Ikan yang Kamu Makan
Publikasi Timothy Creswell menyebutkan bahwa plastik-plastik yang tidak selesai dikremasi tersebut akan menjadi fosil modern yang akan membebani anak cucu manusia di masa depan kelak. Beban tersebut bahkan sudah terakumulasi dengan ditemukannya partikel-partikel tak kasat mata dari sampah tersebut yang kerap disebut mikroplastik yang dapat memberikan efek serius bagi penghuni bumi, tidak terkecuali manusia. Penelitian menyebutkan bahwa mikroplastik dapat ditemukan baik di laut maupun di udara sehingga dapat dikatakan bahwa nyaris tidak ada jalan keluar untuk menyelamatkan para penghuni bumi dari mara bahaya yang diciptakan oleh tangannya sendiri.
Temuan belakangan di pesisir Surabaya justru dapat dikatakan jauh lebih memilukan. Penelitian yang dilakukan oleh Ecoton serta Mupalas pada tahun 2021 menyebutkan bahwa rantai makanan organisme di laut Selat Madura terganggu stabilitasnya akibat terdeteksinya kandungan mikroplastik pada air laut selat tersebut. Hal ini dapat terjadi karena organisme di laut tidak lagi hanya mengkonsumsi plankton, tetapi juga mikroplastik.
Setidaknya telah ditemukan bahwa 75% tubuh teripang telah terkontaminasi oleh mikroplastik yang disebabkan oleh jumlah volume sampah plastik yang mencemari laut. Jumlahnya yang ditemukan berton-ton di sepanjang dasar laut Selat Madura telah memungkinkan bagi organisme yang hidup di dalamnya terkontaminasi mikroplastik. Lebih buruknya, hasil tangkapan laut masih menjadi konsumsi utama bagi keluarga nelayan di laut Selat Madura. Tidak luput juga bagi mereka yang mengkonsumsi produk olahan laut yang terjual dalam skala luas. Maka tidak mengherankan apabila dalam waktu dekat penyakit-penyakit yang disebabkan oleh mikroplastik seperti penyakit pernafasan, kulit, jantung, bahkan alat reproduksi akan menjangkiti manusia.
Kendati keduanya tidak kasat mata, parasit-parasit zoonosis dan partikel-partikel mikroplastik telah membukakan mata manusia bahwa mereka bukanlah satu-satunya entitas yang memiliki hak untuk hidup di bumi. Hewan, dan tumbuhan, juga tanah, udara, air, dan unsur-unsur beragam lainnya yang ada di sekeliling manusia juga sangat penting untuk kelangsungan kehidupan. Di tengah-tengah keberagaman tersebut, manusia perlu memposisikan dirinya setara dengan komponen hidup lainnya, yaitu dengan memahami hak serta kewajiban yang diemban olehnya.
Apa yang terjadi hari ini adalah manusia ingkar terhadap keharusan untuk hidup dalam kesetaraan dan lebih memilih untuk menjadi penguasa di muka bumi hanya karena mereka dengan lalainya mengira bahwa mereka merupakan puncak dari segala puncak sebuah rantai makanan. Perilaku-perilaku eksploitatif yang merusak keragaman ekosistem dilakukannya secara membabi buta tanpa meyakini adanya konsekuensi besar yang akan menimpa mereka dikemudian hari. Hingga pada akhirnya nanti, mereka akan terbangun dengan menyadari bahwa mereka hanyalah organisme kecil yang menggantungkan nasibnya pada alam semesta ini.
Di balik keangkuhannya, umat manusia perlahan berjalan menuju kepunahan. Krisis identitas manusia dalam menafsirkan peranannya di muka bumi ini berbuntut pada sebuah beban konsekuensi yang terlampau besar untuk mereka sadari, yaitu berakhirnya peradaban umat manusia.
Kendati demikian, di hadapan krisis yang melanda ini, manusia perlu dengan segera menemukan jawaban atas siapa diri mereka. Menurut Maria Boletsi, krisis merupakan sebuah momentum titik balik yang di dalamnya akan didapati upaya-upaya mobilisasi ide-ide kritis untuk mendasari terciptanya suatu perubahan. Krisis ini akan menjadi tempat inkubasi bagi manusia untuk menyadari bahwa mereka hanyalah salah satu dari ragam komponen kehidupan seperti hewan, tumbuhan, air, udara, dan tanah.
Setiap komponen kehidupan memiliki peranannya masing-masing. Poin paling sentral dalam relasi antar komponen ini adalah fungsi tiap-tiap komponen dalam rantai makanan. Sebagai simbol keseimbangan dan keberagaman, rusaknya rantai makanan hanya akan menimbulkan masalah besar lainnya. Setiap komponen yang kehilangan sumber makanan akan beraksi untuk mencari mangsa barunya. Abainya manusia dari mekanisme tersebut hanya akan menenggelamkannya dalam kebisuan penyesalan. (*)
Editor: Kukuh Basuki