Pernah belajar ilmu Pendidikan Sejarah di Universitas Siliwangi. Meminati kajian seputar Humaniora: Sejarah Sastra, Kolonialisme, Filsafat, dan Antropologi. Mengelola @kuskarah

Saya Memohon kepada ChatGPT, Maka Saya Ada

Indra Kresna Wicaksana

5 min read

Teknologi kini mengalami kemajuan yang begitu pesat, keadaan serba cepat ini akan terus berlangsung selama manusia bisa bertahan dari kondisi yang disebut Thomas Kuhn “anomali” atau seperti yang direnungkan Heidegger, penyingkapan realitas baru lewat teknologi. Kita mengalami keterlemparan (Geworfenheit) ke-dalam-dunia-digital. Kita tidak bisa dengan tiba-tiba menghentikan teknologi ke sedia kala—ketika teknologi dan manusia belum ada gap yang begitu timpang. Situasi anomali ini membawa kita masuk ke dalam sebuah paradoks antara “menerima” yakni berupaya beradaptasi atau yang paling radikal adalah “menolaknya”—hal ini berisiko tinggi. Siapa pun yang berani menolaknya, niscaya ia akan dilindas zaman, diterjang serangkaian penderitaan bertubi-tubi. Bagaimanapun kita telah masuk ke ‘era digital’ dan tidak bisa keluar darinya.

Manusia post-modern bersuka cita sekaligus terpaku tak berdaya—melihat mesin-mesin itu berjalan di atas karpet merah. Tampaknya sambutan penuh harapan itu hanya riuh di bagian depan. Di bagian belakang, mereka (manusia) diam membisu dengan tatapan sinis. Seolah-olah ia telah mendeteksi sebuah malapetaka ‘akan datang’ dari kedatangan mesin-mesin yang ia buat sendiri. Mereka menyadari tubuhnya tidak lagi perkasa di hadapan besi-besi berjalan. Manusia seakan menjadi tidak lebih hanya sekedar kalkulasi data.

Hari ini, umat manusia kehilangan keperkasaannya. Apakah manusia sedang takluk di hadapan kekejaman zaman yang ia buat sendiri? Kalau begitu, bagaimana dengan ‘api’ yang direbut oleh Prometheus dari Zeus? Bukankah dengan kehadiran api itu manusia tidak lagi telanjang kedinginan sepanjang musim dingin? Sedikit demi sedikit, manusia menyadari kepongahannya. Dengan kemajuan teknologi AI (artificial intelligence) atau “kecerdasan buatan”, kita hanya sebiji data yang bermukim dalam algoritma semesta digital.

Prometheus adalah makhluk setengah dewa yang dalam dongeng Yunani mencuri api dari kungkungan para dewa untuk diberikan kepada manusia. Akibatnya, ia dihukum oleh Zeus di gunung karang dan dipasung di sebuah batu besar: agar burung ganas mencabik-cabik jantungnya, yang tiap kali akan tumbuh lagi, selama-lamanya. Manusia kini seperti layaknya Prometheus, tubuhnya dicabik-cabik oleh suatu jenis lain subjek—jenis lain “liyan” atau yang kita sebut teknologi. Manusia sedang diggerogoti dari dalam oleh entitas yang disebut Hobbes Deus mortalis—kita seperti diperangi habis-habisan. Anehnya, tidak ada darah yang tumpah, tak ada bau mesiu yang bertebaran, tapi kita mengalami kekacauan luar dan dalam. Jika Prometheus ada hari ini, apakah ia akan bernasib sama seperti manusia?

Pada tanggal 20 Juli 2024, di sebuah beranda Twitter (kini X) saya melihat tweet dari seseorang yang memberi respon tajam pada tweet yang membagikan semacam ‘tips instan’ untuk khalayak mahasiswa: “Web yang dibutuhin mahasiwa: ChatGPT “buat nanya-nanya”, Jasper AI “nulis kilat”, Tome AI “presentasi kilat”, Writefull “koreksi tulisan”, Conch AI “Parafrase tulisan”, Socratic.org “ngerjain PR”, Midjourney “ngegambar kilat”, spill apa AI andalanmu?”

Ia merespon: “Nulis gabisa, baca gabisa, gambar gabisa. Bisanya apa sih? Lama-lama mikir juga ga bisa. Pensiun aja jadi manusia udah. Cogito Ergo Sum.” Dalam kritikan ini terdengar seruan Promethean, sekaligus menggemakan diktum dari Descartes, “Aku berpikir, maka aku ada.” Saya tidak tahu kenapa orang itu terlihat jengah melihat perilaku “instan” para homo digitalis sekarang ini. Tapi memang setelah kita diterjang teknologi ‘artificial intelligence’ seolah-olah dengan sendirinya kita men-degradasi kemampuan kita sendiri. Seperti yang dikatakan Harari dalam “Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia”: Manusia akan kehilangan nilai mereka sepenuhnya. Manusia masih akan berharga secara kolektif, tetapi akan kehilangan otoritas individual mereka, dan akan diatur oleh algoritma-algoritma eksternal.

Kita terperangkap dalam jejaring komunikasi dan bukan lagi “subjek modern yang otonom”, teknologi mengubah kita menjadi “komponen mesin digital gigantis” yang dikendalikan oleh “kecerdasan buatan” yang menguntungkan perusahan-perusahaan media. Kondisi manusia qua homo digitalis yang terperangkap ke dalam entitas-entitas digital ini akan disebut oleh Heidegger Gestell atau—seperti Capurro menyebutnya Informationsgestell. Di era ini, perbatasan antara alam, teknologi, dan eksistensi manusia masih ada, tetapi makin subtil, sehingga batas antara originalitas dan artisialitas makin kabur. Apa yang dianalisis pasca-strukturalis berlangsung dalam keseharian: Orang mengira telah berpikir orisinal, tetapi ternyata hanyalah user dari template ide atau pikiran yang telah tersedia dan terus berkembang di dunia digital.

Pandangan ini mengingatkan saya kepada uraian Descartes mengenai “genius malignus” yang artinya setan yang sangat cerdas. Sebagai ganti Tuhan, setan ini telah menjadi sumber segala kebenaran. Prof. F. Budi Hardiman meneruskan pengandaian Descartes ini dalam “Aku Klik Maka Aku Ada”: Setan ini diandaikannya telah menyajikan ilusi total tentang dunia luar. Kecohan genius malignum atau “kecerdasan buatan” membuat kita tidak lagi ‘Aku berpikir, maka aku ada’ melainkan menjadi ‘Aku klik, maka aku ada’, premo ergo sum. Dugaan tentang peralihan digital-evolusioner dari homo sapiens ke homo digitalis ini beralasan.

Kita menyaksikan sekarang ini, bagaimana internet telah menjadi eksistensi kapasitas pikiran kita. Di situ tersimpan bukan hanya data tubuh kita, melainkan juga data pikiran, rencana kerja, isi perasaan, opini, kecenderungan, hingga percakapan intim sekalipun. Semua data pikiran itu sering mengganti memori dan penalaran. Berpikir menjadi tidak lebih daripada kolase ide-ide yang berdiri gamang di antara fiksi dan fakta.

Manusia menjadi homo digitalis bukan lagi suatu ‘I think’ sebagaimana ada sejak Descartes, melainkan suatu ‘I browse’. Berpikir tidak penting lagi; yang terpenting adalah ‘klik’. Manusia berpikir lewat internet. Pikiran kita mengerucut di jari. Istilah homo digitalis bisa terdengar sarkastis karena berarti ‘manusia jari’, bukan lagi manusia perkasa dan bijak atau sapiens. Tubuh kita dikolonisasi dengan suatu dunia keseolahan yang bertempat di mana pun, sekaligus tidak di mana pun. Dampak AI mungkin tidak mengakhiri dunia, tetapi ia mengakhiri realitas.

Kecerdasan buatan atau ‘artificial intelligence’ telah mengacaukan perbedaan mendasar yang menjadi dasar realitas. Seperti yang diungkapkan Jean Baudrillard, “Hiperrealitas” yaitu fenomena lahirnya realitas-realitas baru, realitas modifikasi atau buatan yang “melampaui” realitas nyata. Kata “melampaui” kadang-kadang diterjemahkan dengan berlebihan sebagai “lebih nyata” daripada realitas nyata itu sendiri. Realitas- realitas baru ini mengaburkan batas antara yang asli dan yang palsu, antara yang nyata dan imajiner, antara acuan dan yang tiruan, sehingga kita sulit membedakan keduanya. Dalam The Vital Illusion, Baudrillard menulis: “Kita memasuki keadaan paradoks—keadaan realitas yang terlalu banyak, terlalu banyak positivitas, terlampau banyak informasi. Dalam keadaan paradoks ini, dihadapkan pada fenomena ekstrem, kita tidak tahu persis apa yang sedang terjadi.”

Modernitas yang dirintis dengan rasionalisme Descartes dan empirisme Locke telah berhasil menstabilkan dasar pengetahuan pada rasio dan panca indra. Dari situ tumbuh berbagai bentuk pengetahuan dan praksis modern, seperti sains, pendidikan, bisnis, hukum, dan demokrasi. Descartes seperti layaknya Prometheus, memberi api ‘pencerahan’ (renaissance) kepada umat manusia.

Namun, setelah abad ke-21 ini hal sebaliknya sedang terjadi. Api itu telah dirampas oleh teknologi yang dibuat oleh manusia sendiri. Tetapi, dewasa ini gugatan Promethean sekaligus Cartesian tampaknya masih bergema di era digital saat ini. Seperti seseorang dalam akunnya bernama “Tsar” yang melayangkan kritikannya kepada mereka ‘pengguna’ yang intens menggunakan AI—modal pintar melalui ‘kecerdasan buatan’ yang dikalkulasi dan dimodifikasi adalah dekaden.

Di tahun 1947, Albert Camus dalam esainya, “Prometheus di dalam Neraka” sebenarnya telah mewakili suara Prometheus terhadap pertanyaan yang dimunculkan abad kita ini. Ia memberi jawaban begini: “Aku menjanjikan kepada kalian, wahai makhluk fana, perbaikan dan pengembangan, kalau kau terampil, kearifan dan tenaga yang cukup untuk meraihnya dengan kedua tangan kita sendiri.”

Seandainya Prometheus muncul kembali ke dunia saat ini, bagaimana ia menghadapinya? Ia barangkali akan merebut kembali ‘api’ itu dari genggaman teknologi. Seperti dulu, ia mencuri api itu dari tirani para dewa-dewa. Lalu membagikannya kembali kepada umat manusia. Meski ia akan dihukum kembali, setidaknya ia telah menyerukan perlawanan. Prometheus adalah simbol pemberontakan. Nasibnya mungkin lebih tragis dibandingkan dengan Sisifus—meski ia menderita penderitaan yang bertubi-tubi, ia menggaungkan semangat heroisnya dengan menebarkan api dan membuktikan kecintaannya kepada umat manusia. Camus mengiaskannya dengan indah “meraihnya dengan kedua tangan kita sendiri”. Api itu energi, dan manusia pun jadi penakluk.

Bila manusia memakai teknologi “kecerdasan buatan” hanya sekedar untuk ‘alat bantu’—manusia barangkali tidak akan kehilangan sisi manusiawinya. Dan jika ia mengerahkan segala kapasitasnya untuk hanya berbaring lemas kepada dunia yang “serba cepat”, niscaya ia telah masuk ke dalam jurang fanatisme. Seperti yang dikatakan Denis Diderot, “Dari fanatisme ke kebiadaban hanyalah satu langkah.” Batas-batas manusiawi dan yang tak manusiawi sedang dalam proses pengikisan—di era saat ini sudah tidak ada lagi manusia unggul, seperti yang diimpikan Nietzsche. Sebuah fakta yang membuktikan bahwa Nietzsche memang benar saat dia berkata bahwa ras manusia, jika dibiarkan sendiri, hanya mampu melipatgandakan ikhtiarnya, menggandakan dirinya sendiri—atau menghancurkan dirinya sendiri.

Di abad ke-21, manusia sebagai subyek ternyata juga mencederai hidupnya sendiri. Sains dan teknologi yang awalnya membawa perbaikan dan mempermudah hidup manusia, kini semacam membawa malapetaka yang halus dan sunyi; selain dipakai untuk membuat senjata pemusnah massal dan mekanisasi yang merusak lingkungan, tetapi juga merusak manusia dari dalam. Manusia mengalami dekadensi akibat memaku dirinya sendiri pada teknologi. Dalam pandangan humanisme, manusia adalah kesadaran yang melampui jasadnya sendiri. Karena kesadaran atau rasionalitasnya, manusia merupakan subyek yang meng-ada-kan obyek, yakni dunia. Sains dan teknologi memungkinkan itu.

Saut Situmorang dalam tulisannya “Penyair sebagai Mesin: Sebuah Pembacaan Dekat” yang berisi ulasan buku Martin Suryajaya, “Penyair Sebagai Mesin: Sebuah Eksperimen Dalam Penulisan Jauh Dan Sejarah Lain Puisi Indonesia” menunjukkan bahwa eksperimen ini membingkai suatu “keinstanan”: Buku Martin bagi saya cuma usaha seseorang yang tidak berbakat menulis puisi tapi berkhayal ingin jadi penyair dan menganggap menulis puisi itu sama saja dengan memasak nasi goreng bagi seseorang yang tidak pernah memasak, yaitu dengan bantuan instan resep makanan yang didapat dengan berkonsultasi dengan robot AI semacam ChatGPT. Tidak peduli bagaimana nanti hasilnya, apa enak di mulut dan nyaman di perut, yang penting nasi gorengnya jadi! Tidak dianggapnya penting fakta bahwa sebuah keahlian itu bisa dikuasai sebagai keahlian karena dilatih terus menerus bertahun-tahun ketika keahlian itu sendiri akhirnya akan menjadi sebuah gaya (style) yang membedakannya dari beragam gaya yang ada. Latihan terus-menerus bertahun-tahun itu membutuhkan pengorbanan dan kesabaran yang dalam bahasa preman sastra disebut “berdarah-darah”.

Kehadiran teknologi yang saat ini sudah digdaya—tampaknya membuat manusia tidak bisa lagi menghargai kemerdekaan, kreativitas, cinta, humor, jerih payah sesamanya. Pada akhirnya manusia pun melihat diri dan sesamanya sebagai data.

 

Tasikmalaya, 2024

Indra Kresna Wicaksana

Indra Kresna Wicaksana
Indra Kresna Wicaksana Pernah belajar ilmu Pendidikan Sejarah di Universitas Siliwangi. Meminati kajian seputar Humaniora: Sejarah Sastra, Kolonialisme, Filsafat, dan Antropologi. Mengelola @kuskarah

4 Replies to “Saya Memohon kepada ChatGPT, Maka Saya Ada”

  1. apa yang sudah aku baca 🗿
    pikiran itu mengandung banyak ketakutan dan
    sebaliknya keberanian untuk melangkah. Namun pikiran itu lebih sering terjebak dalam pikirannya sendiri 🤯

  2. Mantap memberikan permasalahan dan solusi dengan baik, apa lagi di kemas dengan unsur filosofi dan novel 🔥

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email