BAGAIMANA MENGEJA KABAR DUKA
Kabar duka menyelinap tanpa selamat datang. Bila itu lagu Peradaban, “rampas galon dispenser pula,” rampas jiwa, rampas nama, rampas bansos korona punya dana, rampas hak yang dirampas—hingga rampas keinginan berucap “aku nggak apa-apa” pada buku Tematik SD Kelas 5.
Hari ini kehilangan kemarin, besok kehillangan hari ini, lusa kehilangan besok, tahun-tahun ke depan pemilu hilang suara di tahun-tahun lalu. Orde Baru menghilangkan 65’, Reformasi menghilangkan 98’—dan nama lain tidak dapat ditemukan bisa dieja sebagai kabar duka.
Tanpa disadari ia menyelinap pada sajak ini; di awal dan di akhir ada kabar duka.
(2021)
–
PUTRANTO SETYO UTOMO (13)
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, Al-Fatihah
Kudengar semua orang panik
tidak ada teriakan di pasar kecuali bisik
Tuhan sedang memberi pelajaran
dikapitalisasi oleh koran murahan juga pemerintahan.
Orang-orang suci, sistem, kurikulum, dan perubahan
Indonesia emas 2045 dengan wangi pemakaman.
Celurit yang menembus dada juga luka fisik
mengemas jasadku ke instalasi pelayanan forensik.
Kau bicara tanpa ilmu.
Kau bicara tanpa ilmu.
Tinggal di rumah yang aman.
Tinggal di rumah yang aman.
Dan aku tidak tahu mengapa,
rasanya beberapa tahun dari sekarang Puri Beta
punya dua halte bus Transjakarta
juga Dhyo Haw akan menulis lagu soal agama.
(2024)
–
KAMU MENYAMBUT 2020 JILID 3
“Setelah tiga tahun lebih kita berjuang bersama menghadapi pandemi Covid-19, sejak hari ini, Rabu, 21 Juni 2023, pemerintah memutuskan untuk mencabut status pandemi dan kita mulai memasuki masa endemi,” ujar Presiden Joko Widodo.
langit malam ini
runtuh,
bintang-bintang berserakan di kepala teman-teman
yang rubuh
bila mereka pemabuk, maka huruf-huruf ini:
akan terlihat seperti kunang-kunang.
tidak ada kembang api yang meledak
kecuali ingatan.
seribu seratus delapan puluh delapan hari
161.870 orang diterjemahkan menjadi kematian
seribu seratus delapan puluh delapan hari
161.870 orang diterjemahkan menjadi kematian
suaramu tidak dapat terjangkau lagi.
tidak ada kembang api yang meledak
kecuali
bulan
di atas kuburan.
(2020-2023)
–
BUKU, PESTA, DAN SAKIT
Hidup lebih sedikit dari 2 dekade hanya untuk belajar bagaimana rasanya kekalahan. Kalau aku Chairil atau Gie atau Cobain, 5 tahun dari sekarang aku usai sudah. Lalu syairku, lalu tulisanku, lalu laguku tak kedengaran lagi punya tanda. Sekarang aku yakin kalau kiamat terjadi setiap hari. Tapi untuk sejenak, biarkan aku menulis puisi.
Puisi ini membayangkan dirinya tidak terikat dengan bait dan baris. Kemudian menjelma paragraf, kemudian menjelma esai, kemudian menjelma ekspresi, lahir dan dibesarkan sebagai simbol yang melebihi kebebasan. Hanya orang yang tidak pernah merasakan bebas, yang membicarakan kebebasan. Dan aku tidak bebas.
“Can you tell a green field from a cold steel rail?” baru sadar kenapa Om Gilmour menulis itu dalam Wish You Were Here. Manusia adalah pohon dan kata-kata adalah hutan. Tiap pohon bersembunyi di balik hutan. Dan harapan akan kebenaran di baliknya tidak lebih panjang dibandingkan idealisme mahasiswa Ibukota. Atau penis pasien Mak Erot.
Sebentar lagi hitungan mundur menuju 1984 mendekati nol. Negara ini menghancurkan kita tiap hari, tiap jam, tiap detik. Di mana-mana kata-kata, buku-buku, berita-berita diwarna merah. “Kebodohan adalah kekuatan”, kata Orwell. Di hari kiamat, tweet war dengan Bjorka lebih nyata dibandingkan teriakan lapar dari rumah tetangga.
Kabar terakhir, pisaunya lebih dekat dengan urat nadi dibandingkan dengan wortel, kentang, tomat, ataupun cabai. Harga terlampau mahal untuk bisa lagi disebut harga. Sesaat kemudian ledakkan terdengar bersamaan dengan Jimi Hendrix berdendang “Jakarta kebanjiran, di Bogor angin ngamuk, Rumah ane kebakaran gare-gare kompor mleduk!”
(2022)
–
BUKU, PESTA, DAN SHINGEKI NO KYOJIN
Andai aku
persembahkan semua sasageyo dalam diriku
untuk mencari apa yang
ada di balik tembok wisuda
dan mengencangkan bokong
melawan titan penemu
atau UKT raksasa
if I lose it all…
dan harus berkata
dunia ini memang kejam,
tapi
aku sarjana.
(2023)
*****
Editor: Moch Aldy MA