permen embun
di daun-daun gugur
aku menemukan embun-embun
yang ramai sekali warnanya.
ada yang hijau, biru, merah, atau kuning.
aku mencicipinya sebutir
ternyata manis.
kucampur dengan teh
yang kauseduh
dari dalam mimpi.
seketika saja
waktu menjelma masa lalu
yang tak kuingat lagi.
–
permen gerimis
anak-anak daun yang kecil-kecil itu
sangat suka mengudap gerimis
yang jatuh dari mata gadis kecil
cinta pertamaku dulu.
–
waktu
waktu adalah kesunyian
dan dua bait sajak
yang tak berarti apa-apa.
di antara dua ada sepatah nama yang terus mencari pasangannya tapi tak menemukan apa pun selain kekosongan yang lebih dalam.
–
asap
aku meniup asap yang tumbuh di ruas-ruas jari dan berharap hujan turun menghapus luka bakar di tubuhmu. entah sejak kapan aku menjelma api yang berusaha memadamkan diri sendiri.
–
ranggas
aku tak mengenal apa pun
yang meranggas
di jalan ini,
matahari yang sama
tak berkata sepatah pun.
seribu burung beterbangan
dengan sayapnya
yang kelabu, menggugurkan
sepi yang itu-itu juga.
aku ingin pulang
ke pelukmu,
yang menawarkan
lelap dan membuatku
enggan bernapas.
–
semestinya
tak ada jembatan kayu
di seberang rumahmu.
hanya ada jalan beraspal
dan debu, juga segala sesuatu
yang mungkin sia-sia.
dulu ada sungai di situ,
tempat janji bertemu.
kau senantiasa tiba lebih dulu
membuatku merasa
terlambat meski datang
tepat waktu.
aku membayangkan
sebuah pulang
yang menawarkan suara hujan,
semestinya tak sejauh itu,
semestinya.
–
kembang api
aku ingin melihat kembang api,
meluncur dan mekar
di jendela—singkat tapi gaungnya
berulang di kenang.
aku ingin memandang matamu
dan bertukar selamat tahun baru
lalu menyanyikan bait pertama
auld lang syne dengan nada
sumbang yang membuatmu tertawa.
aku ingin menghadiahimu
ciuman panjang yang tak perlu ditulis.
*****
Editor: Moch Aldy MA