Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Menghentikan Kekerasan Anak di Sekolah

Waliyadin Waliyadin

2 min read

Akhir-akhir ini marak terjadi kasus kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah. Mulai dari kasus kekerasan terhadap murid Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Kalimantan yang diduga dilakukan oleh salah satu gurunya, hingga kekerasan anak di PAUD di Kota Depok, dan kasus kekerasan seksual terhadap 24 siswa SD di Buton Tengah oleh guru olahraganya.

Sebagai orang tua dengan anak usia dini yang baru memasuki PAUD, saya merasa khawatir jika suatu saat kasus kekerasan terjadi pada anak saya sendiri. Kekhawatiran ini mungkin juga dirasakan oleh banyak orang tua lain. Kasus kekerasan anak di sekolah harus menjadi perhatian publik dan pemerintah. Pemerintah dan masyarakat perlu bersama-sama mengambil langkah nyata untuk mengatasi dan mengantisipasi kejadian kekerasan terhadap anak, terutama yang dilakukan oleh guru—yang seharusnya menjadi pelindung dan pemberi rasa aman bagi anak-anak.

Upaya hukum perlu ditempuh untuk memberikan efek jera kepada guru yang melakukan tindak kekerasan, baik fisik maupun psikologis. Namun, yang lebih penting adalah pencegahan agar kasus kekerasan oleh guru tidak berulang. Menurut saya, ada beberapa langkah preventif yang perlu dilakukan untuk mencegah kekerasan pada anak usia dini.

Pertama, langkah pencegahan bisa dilakukan sejak awal perekrutan calon guru PAUD dengan menilai kondisi kejiwaan melalui tes psikologi. Tes kejiwaan biasanya dilakukan setelah lulus seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) karena menjadi syarat pemberkasan. Beberapa sekolah swasta juga melakukan tes kejiwaan. Namun, apakah tes ini sudah dilakukan secara menyeluruh pada sekolah-sekolah yang tidak melalui jalur CPNS, seperti PAUD yang mayoritas dikelola oleh yayasan? Jika belum, pengelola yayasan harus memastikan kondisi kejiwaan calon guru. Penting memastikan tidak ada guru dengan gangguan kejiwaan yang lulus menjadi guru PAUD.

Kedua, dinas pendidikan dan yayasan harus memastikan bahwa calon guru PAUD memiliki kualifikasi dan kompetensi yang sesuai, meliputi kompetensi kepribadian, profesional, pedagogik, dan sosial. Kompetensi kepribadian dapat dilihat dari karakter seperti menyayangi anak secara tulus, sabar, tenang, ceria, responsif, dan humoris. Kompetensi profesional meliputi pemahaman perkembangan anak usia 0-6 tahun dan standar pencapaian perkembangan. Kompetensi pedagogik mencakup kemampuan merencanakan dan melaksanakan pembelajaran serta penilaian. Kompetensi sosial terlihat dari kemampuan beradaptasi dan berkomunikasi efektif (Latif et al., 2013).

Saya berpendapat bahwa kompetensi kepribadian sangat penting bagi guru PAUD, mengingat anak-anak usia dini sangat aktif dengan rentang perhatian yang singkat. Jika guru tidak sabar, kegaduhan di kelas bisa memicu kemarahan dan kekerasan. Oleh karena itu, calon guru PAUD harus memiliki karakter kepribadian yang tepat.

Ketiga, orang tua harus terlibat dalam mengawasi pembelajaran di kelas dan waspada terhadap gejala yang tidak biasa pada anak. Karena relasi kuasa yang tidak seimbang, anak sering takut pada guru. Guru yang tidak berkompeten mungkin mengendalikan siswa dengan ancaman, membuat anak tidak bersuara. Oleh sebab itu, penting bagi orang tua untuk berdialog dengan anak, misalnya saat makan bersama, untuk mengantisipasi kekerasan yang sering baru terungkap setelah beberapa waktu.

Untuk mencegah kekerasan seksual di sekolah, pemerintah dan yayasan harus menerapkan program anti kekerasan seksual yang efektif. Kendalanya, anak-anak sering takut melapor karena relasi kuasa yang tidak seimbang dan ketiadaan pusat layanan pelaporan yang mudah diakses.

Belajar dari program pencegahan luar negeri, layanan pelaporan masif di berbagai tempat seperti kamar kecil dan ruang kelas sangat diperlukan. Sekolah-sekolah di Indonesia sebaiknya memberikan sosialisasi mengenai kekerasan seksual pada awal tahun ajaran baru melalui Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Siswa dikenalkan pada tindakan-tindakan yang mengarah pada kekerasan seksual dan bagaimana menindaklanjutinya.

Selain informasi, sekolah bisa mengadakan simulasi tindakan kekerasan seksual, seperti godaan dengan bersiul. Jika siswa tidak melaporkan kejadian saat simulasi, berarti diperlukan pemahaman lebih lanjut mengenai kekerasan seksual.

Singkatnya, maraknya kasus kekerasan terhadap anak di sekolah memerlukan perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat. Insiden kekerasan oleh guru menunjukkan adanya kekurangan dalam sistem perekrutan dan pengawasan pendidik. Upaya pencegahan harus dimulai dengan seleksi calon guru yang ketat, termasuk tes kejiwaan dan penilaian kompetensi. Keterlibatan aktif orang tua juga sangat penting. Pemerintah dan institusi pendidikan harus bekerja sama menciptakan lingkungan aman bagi anak-anak, termasuk menerapkan program anti kekerasan seksual yang efektif dan menyediakan layanan pelaporan yang mudah diakses. Dengan langkah-langkah nyata dan terintegrasi, kita bisa memastikan sekolah menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak-anak untuk belajar dan berkembang.

Waliyadin Waliyadin
Waliyadin Waliyadin Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email