“Bu, aku pernah digodain cowok random di OME TV” adu siswa saya ketika kami membahas tentang bahaya internet. Seketika pembahasan kami beralih pada KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online). Kemajuan teknologi digital telah membawa banyak kemudahan, tetapi juga memunculkan tantangan baru. Sebagai guru, saya sering ketar-ketir ketika mendapati siswa saya bermain OME TV dan aplikasi sejenisnya.
KBGO menjadi fenomena yang semakin sering terjadi seiring meningkatnya aktivitas masyarakat di dunia digital. Ironisnya, baik korban maupun pelaku sering kali tidak menyadari bahwa tindakan tertentu termasuk dalam kategori kekerasan berbasis gender. Apalagi mereka masih anak-anak. Kondisi ini menimbulkan dampak buruk, terutama bagi perempuan yang rentan menjadi korban akibat norma sosial patriarki.
Baca juga:
- Membuka Topeng-Topeng Patriarki
- Kekerasan dalam Pacaran: Pengulangan Sistem Patriarki dari Masa Lalu
Norma sosial patriarki sering kali menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rentan terhadap KBGO. Selain kerugian psikologis, perempuan korban KBGO sering mengalami stigma sosial yang memperparah dampaknya (Hinson, Leslie, et al., UN Women, 2020). Dalam konteks ini, peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKtP) tahun 2024 menjadi momentum penting untuk membangun kesadaran terhadap KBGO.
Apa Itu Kekerasan Berbasis Gender Online?
Kekerasan dapat didefinisikan sebagai tindakan yang menyebabkan kerugian, melemahkan, atau menyakiti seseorang, baik secara fisik, emosional, maupun material. Dalam ranah digital, kekerasan ini mencakup berbagai tindakan yang melanggar batas privasi, merusak citra, atau menciptakan situasi tidak nyaman bagi korban. Tubuh digital adalah representasi individu dalam dunia maya, termasuk data pribadi, jejak digital, dan interaksi daring. Pelanggaran privasi terhadap tubuh digital mencerminkan bentuk kekerasan baru yang memanfaatkan teknologi (van der Velden, Maja, 2021).
Menurut data Komnas Perempuan, KBGO mencakup berbagai bentuk seperti distribusi materi berbahaya (malicious distribution), pelecehan seksual siber (cyber sexual harassment), eksploitasi seksual digital (sexploitation), ancaman daring (online threats), penguntitan siber (online stalking), hingga pencurian identitas (impersonation). Semua tindakan ini memiliki dampak serius, baik bagi kesehatan mental maupun fisik korban.
Salah satu contoh KBGO yang sering terjadi adalah penyebaran konten intim tanpa izin (Non-Consensual Intimate Images, NCII). Misalnya, foto pribadi yang disebarkan tanpa izin, bahkan jika itu bukan foto eksplisit, tetap dianggap sebagai pelanggaran. Tindakan ini sering kali dilakukan untuk merusak reputasi korban, yang mayoritas adalah perempuan.
Tubuh Digital dan Pentingnya Privasi
Saya menjelaskan dengan sejelas-jelasnya kepada murid-murid, bahwa di era digital, seseorang memiliki dua tubuh: tubuh fisik dan tubuh digital. Tubuh fisik mengacu pada keberadaan seseorang di dunia nyata, sementara tubuh digital mencakup akun-akun media sosial, data pribadi, dan jejak digital lainnya. Banyak dari pengguna internet yang belum menyadari pentingnya menjaga privasi tubuh digital, sehingga sering kali menjadi korban KBGO tanpa disadari.
Pelanggaran terhadap tubuh digital ini bisa terjadi melalui berbagai cara, termasuk doxing (penyebaran informasi pribadi tanpa izin), online stalking (memantau atau menguntit aktivitas daring seseorang), dan trolling (mengganggu atau menciptakan konflik di ruang digital). Dalam banyak kasus, pelaku menggunakan teknologi seperti spyware untuk melacak aktivitas korban tanpa persetujuan.
Mengatasi KBGO: Edukasi dan Dukungan bagi Korban
Salah satu cara efektif untuk mengurangi KBGO adalah melalui edukasi yang komprehensif, terutama bagi perempuan. Pendidikan mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi dapat membantu perempuan mengenali hak-haknya, termasuk hak atas privasi dan keamanan di dunia digital. Sayangnya, pembahasan tentang seksualitas sering dianggap tabu, sehingga perempuan cenderung kurang mendapatkan pengetahuan yang memadai.
Saya berusaha membuat ruang diskusi terbuka untuk persoalan seksualitas dan kesehatan reproduksi di kelas. Saya berharap pendidikan seksual dan inklusif tidak hanya sebatas media pembelajaran yang mangkrak atau hanya menjadi modul Kurikulum Merdeka, tapi juga benar-benar dilakukan, disosialisasikan, dan dibahas hingga tuntas. Sehingga anak-anak tidak lagi jauh dari dirinya sendiri.
Baca juga:
- Law School: Sekolah Hukum dan Sekolah Pendidikan Seksual
- Yang Tabu Semakin Tabu: Ketika KUHP Membatasi Pendidikan Seksual
Selain edukasi, dukungan bagi korban KBGO juga menjadi aspek penting. Banyak korban yang enggan melaporkan kekerasan karena takut mendapatkan stigma dari masyarakat. Mereka sering kali dikucilkan atau dianggap mempermalukan keluarga, alih-alih mendapat dukungan. Oleh karena itu, validasi perasaan korban dan menciptakan lingkungan yang mendukung menjadi langkah penting dalam proses pemulihan.
Data menunjukkan bahwa kasus kekerasan di ranah publik dan daring terus meningkat. Misalnya, Komnas Perempuan menerima lebih dari 1.200 aduan kasus kekerasan daring pada tahun 2023, dengan sebagian besar pelaku adalah teman di media sosial korban. Selain itu, korban KBGO sering kali adalah anak perempuan berusia 13–17 tahun, yang menjadi kelompok paling rentan.
Mengatasi KBGO tidak hanya tugas guru dan orang tua, tapi semua elemen masyarakat. Berikut beberapa langkah yang dapat kita lakukan bersama:
- Meningkatkan Literasi Digital
Literasi digital yang baik membantu masyarakat memahami risiko di dunia daring. Edukasi tentang keamanan digital, seperti cara menjaga privasi akun media sosial dan mengenali ancaman online, sangat penting untuk mencegah KBGO.
- Mendukung Konten Edukasi Seksualitas
Pembuatan dan penyebaran konten edukatif tentang seksualitas yang komprehensif dapat membantu menghilangkan stigma dan tabu. Perempuan perlu diberdayakan untuk memahami tubuh mereka sendiri dan mengetahui hak-hak mereka.
- Melaporkan dan Mengadvokasi
Jika menyaksikan tindakan KBGO, masyarakat harus berani melaporkan kasus tersebut kepada pihak berwenang. Selain itu, perlu diketahui ke mana korban dapat mencari bantuan, seperti lembaga layanan pengaduan atau organisasi advokasi.
- Mengubah Budaya
Salah satu akar masalah KBGO adalah normalisasi kekerasan di masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada perubahan budaya untuk menciptakan lingkungan yang menghargai kesetaraan gender dan menolak segala bentuk kekerasan.
KBGO bukan lagi isu sederhana, melainkan ancaman serius yang dapat berdampak luas pada korban, terutama perempuan. Dengan meningkatnya kesadaran tentang bentuk-bentuk KBGO dan cara mengatasinya, masyarakat dapat berkontribusi dalam menciptakan ruang digital yang aman dan inklusif. (*)
Editor: Kukuh Basuki

 
                                 
					 
                     
                    