Ilmu pengetahuan itu adalah samudera yang begitu luas—untuk melintasinya kita (manusia) memilih banyak perahu untuk melintasinya.
Artikel ini lahir sebagai tanggapan terhadap tulisan Dito Yudhistira berjudul “Membongkar Elitisme Akademisi” yang terbit di Omong-Omong belum lama ini. Dito mengkritik karya-karya akademisi (artikel ilmiah) yang dianggap terlalu rumit dan sulit dipahami oleh masyarakat umum. Dia menulis, “karya ilmiah cenderung dikemas dengan bahasa yang sulit, seolah-olah hanya diperuntukkan bagi pembaca yang memang sudah ahli dalam bidangnya. Akibatnya, masyarakat sering kali kesulitan memahami apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh akademisi.”
Namun, bukankah akademisi adalah ahli di bidangnya dan tulisannya memang ditujukan untuk ahli lainnya? Karya ilmiah tersebut memang ditulis berdasarkan wawasan keilmuan mereka.
Karya ilmiah memiliki kaidah ilmiah yang mencakup komponen seperti masalah penelitian, tujuan, signifikansi, penggunaan teori relevan, metode penelitian yang rinci, dan penguraian hasil sesuai teori yang digunakan. Bahasa dalam karya ilmiah memang harus formal dan objektif, sesuai kaidah tata bahasa, serta didasarkan pada fakta, data, atau bukti empiris lainnya. Dalam tulisan Dito, ia tidak mengutip referensi yang jelas untuk memperkuat argumennya, bagaimana mungkin hendak mencerdaskan pembaca populer?
Ilmu pengetahuan adalah produk saintifik yang harus dijabarkan dalam kaidah logis—karena itu, bahasa yang digunakan dalam karya ilmiah adalah bahasa ilmiah dengan metodologi yang jelas, seperti yang saya uraikan di awal. Dalam konteks menulis artikel ilmiah, saya selalu menggunakan tiga variabel: Epistemologi, Aksiologi, dan Ontologi. Ketiga aspek ini selalu ditekankan oleh dosen saya saat studi magister di Filsafat Ilmu sebagai substansi dalam ilmu pengetahuan
Kaidah Ilmiah
Epistemologi dalam karya ilmiah berkaitan dengan cara pengetahuan diperoleh, dihasilkan, dan divalidasi. Epistemologi berfokus pada metode dan sumber pengetahuan yang digunakan peneliti untuk mengembangkan teori. Aspek ini menuntut peneliti untuk menjelaskan metode pengumpulan data dan cara memvalidasi serta memastikan reliabilitas pengetahuan. Pertanyaan kunci di sini adalah: Bagaimana kita tahu apa yang kita ketahui?
Misalnya dalam penelitian ilmiah, apakah pengetahuan diperoleh melalui metode kuantitatif, kualitatif, atau kombinasi keduanya? Apakah data diperoleh melalui eksperimen, survei, observasi, atau wawancara? Ini semua berkaitan erat dengan Epistemologi. Sementara itu, Aksiologi berkaitan dengan nilai atau etika dalam proses penelitian, termasuk tujuan penelitian dan dampaknya terhadap masyarakat. Aspek ini mengeksplorasi tujuan ilmiah dan peran nilai-nilai moral dalam penelitian. Pertanyaan sentral di sini adalah: Apa nilai atau manfaat penelitian ini? Ini mencakup pertimbangan etis selama penelitian, seperti perlakuan terhadap subjek penelitian dan kontribusi penelitian terhadap pengetahuan atau praktik sosial.
Selanjutnya, Ontologi berkaitan dengan apa yang dianggap ada atau nyata, yaitu hakikat objek studi. Ontologi merujuk pada asumsi tentang realitas yang sedang diteliti. Pertanyaan kunci dalam ontologi adalah: Apa yang kita pelajari atau teliti? Asumsi ontologis akan menentukan apakah realitas dianggap objektif dan dapat diukur secara langsung, atau bersifat subjektif dan dipengaruhi oleh pengalaman manusia. Dalam ilmu alam, realitas mungkin dipahami sebagai sesuatu yang objektif, sementara dalam ilmu sosial, realitas bisa dianggap bersifat subjektif dan konstruktif (tergantung pada persepsi manusia).
Tiga Aspek Filosofis dalam Riset Transformasi Pendidikan Inklusif di Sulawesi Selatan
Sebagai contoh konkret, saya sedang menulis riset tentang pendidikan inklusif di Sulawesi Selatan dengan judul “Transformasi Pendidikan Inklusif: Mengatasi Kesenjangan untuk Mewujudkan Pendidikan Berkualitas di Sulawesi Selatan.” Mari kita bedah aspek epistemologi, aksiologi, dan ontologi dari riset tersebut. Aspek epistemologi riset ini mencakup bagaimana saya melakukan penelitian ini. Aspek ontologi berkaitan dengan asumsi tentang hakikat realitas yang sedang dipelajari, yaitu sistem pendidikan inklusif dan kesenjangan yang ada di Sulawesi Selatan. Dalam penelitian ini, ontologi melibatkan pemahaman bahwa kesenjangan dalam pendidikan inklusif benar-benar ada dan dapat diukur, baik secara objektif (misalnya, melalui data statistik tentang akses dan hasil pendidikan) maupun secara subjektif (melalui pengalaman dan persepsi para siswa, guru, dan orang tua). menjelaskan secara ontologis bagaimana kesenjangan tersebut dipahami, apakah sebagai masalah struktural atau sebagai masalah persepsi di tingkat komunitas dan individu.
Aspek Aksiologi mencakup pertimbangan nilai transformasi pendidikan inklusif bagi masyarakat, dengan fokus pada pengurangan kesenjangan dan akses setara untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus. Nilai pendidikan inklusif sebagai hak asasi manusia menjadi landasan aksiologis penelitian ini.
Bahasa bersifat Kontekstual
Banyak akademisi yang menulis opini atau hasil risetnya di medium surat kabar menggunakan bahasa yang sederhana sebab memang sasarannya adalah semua kalangan pembaca bukan hanya untuk cendikiawan atau akademisi. Pemakaian bahasa yang sederhana dan komunikatif ini dimaksudkan agar semua kalangan dapat membaca (memahaminya).
Dalam buku Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analisis (Wijana & Rohmadi, 2006),diterangkan bahwa bahasa sebenarnya bersifat kontekstual—bahasa digunakan sesuai dengan konteks dan ruang mana kita berada. Artinya, jika bahasa akademisi dalam karya ilmiahnya bersifat berat, hal itu karena memang peruntukannya bukan untuk semua lapisan masyarakat. Tulisan tersebut diperuntukkan bagi kalangan terbatas dan untuk pengembangan ilmu pengetahuan masing-masing. Tidak mungkin dalam karya ilmiah akademisi menggunakan bahasa sehari-hari atau bahasa yang mudah dipahami. Sama halnya tidak mungkin seorang akademisi ketika nongkrong di coffee shop menggunakan bahasa yang baku atau ilmiah untuk memesan segelas Vietnam Drip.