“Satu bab selesai malam ini,” begitu kataku tetiba malam kepada Nisa, kawan akrabku sekelas Ilmu Sejarah. Selama ini, ia jua paling sering menemaniku menghamba skripsi. Kataku tempo lama, “demi merengkuh gelar sarjana.” Maka demikian ketika satu bab yang berjumlah ratusan halaman dengan ratusan catatan kaki pula itu rampung, hormon dopamin meninggi, merangsangku pamer kepadanya.
“Gokil! Serius? Kamu jadi ke Ignatius gak, brok?” Melesat kekaguman beriring pertanyaan menghantamku majal. Ah! Aku lantas teringat janji kemarin tulat pada Nisa, sebuah rencana matang-matang mengunjungi Kolsani Kolese St. Ignatius, perpustakaan kepunyaan salah satu gereja beken di Kotabaru. Rencana yang kusebut-sebut ajang apresiasi setelah menuntaskan satu bab skripsi.
Senanglah diriku ketika lagi-lagi pertanyaannya menyiratkan penanda juga perkenaan membersamai. Maka pada Senin, tiga puluh September kami berdua melancong menuju Ignatius. Betul, Anda tidak salah dengar, tiga puluh September. Tentulah berkaitan dengan tragedi berdarah-darah terhitam Indonesia, Gerakan 30 September. Efeknya bukan main. Tragedi itu mampu membidani segudang kajian prestisius, hingga hari ini senantiasa tak pernah lekang dari rahim-rahim peneliti. Pun objek besar skripsiku, yang keterusan menghantui sisa-sisa semesterku.
Sebuah cerpen terbitan Horison karangan Kipandjikusmin, “Dia Tidak Tidur” adalah salah satu “hantunya”. Hampir dua tahun mengembara aku mencari-cari naskah cerpen itu. Saban hari, bagai ketiban pulung, dosenku Eka Ningtyas mengarahkan pengembaraanku menyingkap jalan terang, Ignatius. Ia mengklaim sekilas melihat kliping Horison lengkap dengan periodisasinya di sana. Kupasang kuda-kuda siap menangkis eksepsi, “barangkali cerpen itu telah raib sebagaimana hantu”.
Sampailah aku di Ignatius diantar Nisa. Membuka lembar-lembar Horison, lagi dan lagi.
Sejujurnya, ia tak amat memberi pengaruh signifikan bagi skripsiku. Tetapi apa hendak dikata, semua cerpen yang ditulis Kipandjikusmin kuulas! “Bintang Maut”, “Domba Kain”, “Langit Makin Mendung” dan bahkan dua cerpennya yang tak pernah terbit, “Hujan Mulai Rintik” dan “Petasan dalam Sampah”. Tentunya, selain cerpen itu! Bahkan perangkat secanggih Google pun tak menyediakan jejak-jejak jelas cerpen itu sehingga dapat kutapaki.
Konon, Muhidin M. Dahlan menyebut “Dia Tidak Tidur” dalam Pleidoi Sastra (2004) sebagai fenomena karya “misterius”. Pasalnya, semenjak Kipandjikusmin memicu berang umat Islam akibat cerpen “Langit Makin Mendung”, kabarnya turut lenyap seiring tumbuhnya Orde Soeharto. Intrik terakhir acap kali dikenal sebagai “Heboh Sastra 1968”.
Baca juga:
- Soe Hok Gie dan Refleksi tentang Indonesia Masa Kini
- Merawat Memori para Eksil
- Jakarta: Benang Merah Riwayat Chili dan Indonesia
Sekonyong-konyong pada 20 Oktober 1971, sebuah naskah dari penulis yang sama mendarat di meja redaksi Horison. Kipandjikusmin menulis lagi! Seru rentak para awak redaksi terperanjat. Sebongkah ingatan tentang Kipandjikusmin kembali menyeruak. Sepatutnyalah, namanya sempat santer dikaitkan sebagai penulis kondang topik Gerakan 30 September dalam literatur sastra. Namun ia mengaku trauma menulis lagi, terlampau membikin “Paus Sastra Indonesia” dikutuk menjadi tahanan rumah.
***
Topik Gerakan 30 September—laksana melting pot—agaknya memang gaya khas Kipandjikusmin. Hampir semua cerpennya menyiratkan segudang simbolisasi peristiwa tersebut. Barang mungkin demikian, sebab ia menulis sebagai saksi hidup kebengisan militer membantai orang-orang tak bersalah yang dicap merah.
Sementara itu, “Dia Tidak Tidur” berlatar waktu beberapa tahun setelah Gerakan 30 September meletus. Tepatnya saat masa Pemilu 1971. Dugaanku, Kipandjikusmin menyelesaikan tulisan hanya berjarak beberapa jam usai pemilu berlangsung. Semestinya keterangan waktu yang tertera di akhir cerita, 5 Juli 1971.
Kipandjikusmin sama sekali tak menyebut masa damai. Lebih-lebih rekonsiliasi. Sudilah masa seperti itu, memang belum atau tak pernah ada. Mungkin istilah “pesakitan Orde Soeharto” cenderung benar. Pas! Kegentingan mereda, pembantaian kurang menyolok lagi, tetapi tidak putus-putusnya bermomok histeria. Terutama bagi setiap insan penghirup napas revolusi. Napas yang kian rendah menyisa desis.
Syahdan, Iskandar sang “tokoh-kita” disebut pasien penyakitan. Ia berpenyakit kelainan otak stadium satu. Aku pun percaya penyakit ini muskil nyata dalam taksonomi medis. Tokoh-kita dikisahkan mengidap derita psikologis. Itu simbiolis. Dipicu sebuah sentimentalisme dominan, dan militer selaku penyalak. Tak lazimnya orang sakit, tokoh-kita justru ditempatkan di koramil dan bukan rumah sakit. Di sana, ia justru dituntut menghamba, babu pembersih kotoran tentara.
Tenang, biar aku jelaskan merunut dan pelan.
Kala Orde Soeharto menggulir, militer hampir-hampir tak tersentuh hukum sesekalipun. Mulut menodong serupa bedil. Paktanya setara nabi. Lalu seragam hijau kebesarannya mirip tameng pelindung dan bisa menyerang balik kalau-kalau mendengar bantahan.
Di muka mereka, laki-laki mungil macam Iskandar pasti tak ada harganya. Maka ketika ia dan empat sekawan dituduh mendalangi lenyapnya Babinsa Koramil, mereka tak kuasa mengelak. Apalagi tuduhannya sarat politis. Kelima sekawan ini tergabung sebagai anggota Partai X, musuh politik Partai Y yang berafiliasi dengan rezim tentara.
Alur Cerita
Di dalam barak, mereka disiksa lewat hukuman—menjijikkan—membersihkan water closet para tentara. Sesekali juga mencabut seberkas rimbun ilalang. Dan selama itu, mereka tak pernah diberi makan. Hanya air kran water closet yang mengisi lambung kian mengecil. Kondisi demikian dipiara tentara agar usus-usus yang mengkerut mampu mengambil alih akal sehat. Sebabnya, sebuah proses interogasi telah disodorkan memaksa supaya meneken pengakuan. Pengakuan yang tak pernah ada, sekalipun dalam bayang-bayang imajinasi mereka sebelumnya.
Bumbu konflik makin menarik ketika rombongan Gerwani mendatangi koramil. Kedatangan melakoni rutinitas wajib lapor, sebagaimana eks-tapol “pesakitan Orde Soeharto”. Teringat sebuah insiden sewaktu Gerakan 30 September meledak-ledak, tokoh-kita merupakan algojo suami para Gerwani itu. Salah satu dari mereka sangat dikenalnya, bernama Ratni, gadis CGMI yang ditolongnya kabur dari kamp pembantaian lantaran hendak diperistrinya.
Alangkah kagetnya ia, dan mungkin juga kawan-kawannya. Bukan wujud balas dendam sewajar perlakuan tokoh-kita kepada para Gerwani juga suaminya. Mereka justru beroleh belas kasih bekal makan beraneka hidangan. Sekelebat pujian mengereknya ke haribaan Tuhan, diseling sedu sedan tangis.
Begitu kiranya takrif keagungan menyembul dari hati Iskandar. Sebuah anomali yang sukar dinalar logika. Dalam masa-masa penyakitan, ia peroleh sebuah penawar moralis. Padahal mestinya ia tak pantas memperolehnya.
Belum lagi beslit pembebasannya tiba-tiba keluar. Babinsa yang dikabarkan lenyap tiba-tiba muncul di koramil. Kepada danramil babinsa melapor: diserang kolera waktu tugas keliling ke K.
Ketakjuban menjadi ekspresi cerlang. Mendadak sumringah muka kelima tahanan. Mendentang palu godam di hati tokoh-kita: Tuhan tidak tidur!
***
Masih dalam keyakinan penuh keheranan, Kipandjikusmin, nama yang kucap dalam skripsiku sebagai agensi kebudayaan anti-komunis menulis cerpen ini. Ia begitu berbeda—sedikit banyaknya—dari perwujudan karakter-karakter yang ia ciptakan di lain cerpen.
Sependek penalaranku, “Bintang Maut”, “Domba Kain”, dan “Langit Makin Mendung” yang terbit di majalah Sastra tak berjauhan dengan Gerakan 30 September, justru menampilkan kemuakannya pada komunis dan partai-partai pembawa ideologinya. Dalam ketiga cerpen itu, komunis ialah kotoran, racun, dan penyakit berbahaya. Komunis patut bertanggung jawab atas huru-hara yang memuara pembantaian. Karena itu, berita saling bunuh di tengah masyarakat menjadi santapan sehari-hari.
Lalu, “Dia Tidak Tidur”? Tidak! Justru Kipandjikusmin menulis seolah-olah ia memohon perdamaian dengan oposisi biner idealismenya. Ia tidak segan mengakui kesalahannya. Tak malu menyebut ia seorang algojo, jagoan mimbar rela menangis berkat tabah hati Gerwani. Pandangan komunisme dalam cerpen ini berangsur-angsur diubah menjadi melankolis. Sujud di hadapan Tuhannya memohon ampunan atas kelalaiannya sebagai hamba.
“Tuhan jang maha Besar! Alangkah tipisnja iman hamba: disaat azab menimpa, malahan hamba membelakangi-Mu. Betapa sesat hamba, karena merasa mampu mengatasi pertjobaan ini sendiri! Hantjurlah ketjongkakan hamba dihadirat-Mu, ja Tuhan. Achirnya, hanja pada-Mu djua hamba serahkan diri!”
Kipandjikusmin tak lagi mau memposisikan diri sebagai “pesakitan Orde Soeharto”. Dengan begitu, ia memohon sebuah rekonsiliasi dengan para korban komunis yang dizaliminya di masa lalu. Rekonsiliasi layaknya obat penawar, memandang subjek lain sebagai pihak yang sebaik-baiknya.
Tak bisa kupungkiri “Dia Tidak Tidur” merefleksikan pandangan yang sungguh berlainan. Sempat kucurigai Kipandjikusmin terjangkit bipolar. Kemudian selanjutnya, ia wajib dibaca dari dua kutub. Namun kecurigaanku kosong melompong. Kubaca-baca ulang. Dari halaman muka Horison edisi Desember 1972 itu. Berturut menuju cerpen “Dia Tidak Tidur” lagi. Kecurigaanku sia-sia.
Tibalah aku pada kecurigaan kedua. Penulisnya pastilah Kipandjikusmin yang kali ini telah jadi hantu! Tentu, semenjak “Langit Makin Mendung” ia serasa mati dari kesusastraan. Ingatan akan dirinya redup dan hanya berbekas setitik noda saja. Tetapi tiada angin pula hujan, ia berani menampakkan popor penanya lagi. Masih menggunakan nama pena sama. Masih konsisten menulis Peristiwa 1965!
***
Nisa meneleponku sekali. Sedari tadi, ia membiarkanku mengorek lembar perlembar Horison sendirian, lagi dan lagi. Kutolak. Aku tak ingin mengganggu senyap perpustakaan dan pengunjung yang dingin.
Nisa meneleponku kedua kali. Bokongnya sudah panas menungguku di lobi depan. Masih kutolak. Jempolku masih kontan memencet tombol kamera. Halaman demi halaman terpotret rapi di dalam galeri.
Bel Kolsani Kolese St. Ignatius berdenting nyaring. Jam menunjuk pukul satu. Pustakawan memohon pengunjung segera meninggalkan lokasi. Aku buru-buru merapikan majalah-majalah yang berserakan. (*)
Editor: Kukuh Basuki