Ketika saya di pondok dulu, ada seorang kakak kelas yang sangat cerdas. Dia menguasai matematika, pintar berbahasa asing, menjadi ketua organisasi, dan mahir menulis puisi.
Akan tetapi, ada satu kelemahan di balik berbagai pencapaian akademiknya tersebut, yakni tulisannya yang selain puisi sangat absurd. Sewaktu menjabat menjadi kepala organisasi bahasa dan sastra di pondok, dia memutuskan untuk mengeluarkan buletin mingguan. Kami tentunya bangga akan hal ini—suatu pencapaian yang luar biasa kala itu. Kakak kelas itu bilang bahwa buletin ini akan berisi cerita-cerita pendek yang disisipi hikmah-hikmah agama dengan gaya tulisan yang kontemporer.
Lima hari berlalu, edisi pertama dicetak. Kami rebutan untuk membaca karena belum ada alat cetak yang canggih sehingga satu asrama hanya diberi dua eksemplar saja. Ketika membaca, raut wajah kami berubah seketika. Kami tidak mengerti apa yang sedang dijelaskan dalam tulisan kakak kelas itu.
Sejauh yang saya ingat, cerita tersebut mengisahkan anak perempuan dan seorang kucing yang mengingatkan orang-orang yang bermain gawai terlalu lama. Dalam cerita itu, disisipkan hadis tentang imbauan untuk tidak menyia-nyiakan waktu. Saking uniknya, saya sampai perlu dua kali mendatangi sang penulis untuk menanyakan maksud cerita yang ditulisnya.
Raut wajah kakak kelas itu tidak berubah melihat kami kebingungan setengah jiwa. Menurutnya, dia berhasil menjadi “Picasso sastra” yang membuat pembacanya menafsirkan tulisannya secara beragam. Setelah kejadian itu, tulisannya dalam edisi kedua dan ketiga tetap sama absurd, mengalahkan ajaran absurdismenya Camus dan gaya tulisan rumit Schopenhauer. Mengapa itu bisa terjadi?
Bayangkan kita memainkan lagu Selamat Ulang Tahun di dalam kepala. Selagi lagu itu bersuara di kepala kita, kita bertepuk sesuai dengan ritmenya. Lakukan hal ini di hadapan banyak orang, lalu coba cari tahu berapa orang yang bisa menebak dengan benar lagu apa yang kita tepuk. Mungkin semuanya, mungkin sedikit, atau fifty-fifty.
Elizabeth Newton dari Stanford University pernah melakukan percobaan serupa dengan menggunakan seratus dua puluh lagu yang dikonversi menjadi tepukan kepada jumlah pendengar yang sama. Kebanyakan pendengar bisa mengidentifikasi lagu yang mereka tepukkan dengan mudah, kira-kira hingga 50% dari lagu-lagu tersebut. Namun, pada uji lapangan, mereka hanya bisa menebak 2,5% atau sekitar satu per empat puluh lagu yang ditepukkan orang lain.
Ketika kita bertepuk tangan sesuai dengan ritme lagu yang ada di kepala kita, hanya kita yang sadar dan bisa mendengarkan dengan jelas irama dan ritme lagu tersebut—para pendengar tidak. Dengan kata lain, jika kita telah mempelajari sesuatu, maka kita akan kehilangan memori tentang ketidaktahuan akan sesuatu tersebut.
Baca juga:
Pengetahuan yang sudah masuk ke otak terkadang ibarat “kutukan” bagi diri kita. Pengetahuan itu membuat komunikasi kita dengan orang yang belum memilikinya menjadi absurd. Alhasil, pesan kita tidak sampai pada orang tersebut.
Cara mengatasinya ialah dengan bercerita menggunakan bahasa yang jelas. Cerita ini pun mesti memuat rangkaian pengetahuan baru dalam struktur yang sederhana. Misalnya, mulailah cerita dengan pengantar atau pembuka, lalu beranjak ke komplikasi yang memuat gagasan konkret suatu pengetahuan, dan akhiri dengan resolusi berupa kesimpulan informasi yang sudah kita jelaskan kepada lawan bicara sampai ia mengerti.
Editor: Emma Amelia
Setuju, saya juga pernah punya dosen. Yang mana dia terkenal cerdas, lulusan luar negeri. Dan dosen2 yg lain menghormati nya.
Tapi entah kenapa, kalau beliau menjelaskan itu saya sulit paham. 😅😅