Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang.

Membantah Stereotip Rambut Gondrong

Hillbra Naufal Demelzha Gunawan

2 min read

Masyarakat seakan-akan memiliki kesamaan impresi dan persepsi terhadap individu yang berambut gondrong. Mereka yang berambut gondrong sering kali disebut sebagai individu berjiwa pembangkang, susah diatur, dan bahkan dianggap kriminal. Di sisi lain, Hanum dan Urada (2019) menganggap fenomena rambut gondrong sebagai rekonstruksi identitas diri yang mengekspresikan nilai-nilai tertentu. Lalu, bagaimana stereotip sedemikian rupa bisa muncul?

Labelisasi ini pada awalnya muncul pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno yang sangat anti terhadap budaya Barat. Propaganda anti-Barat yang turut mencakup pelarangan rambut gondrong ini berlangsung sampai masa rezim Orde Baru Presiden Soeharto. Pada 1 Oktober 1973, saat Jenderal Soemitro diundang ke acara bincang-bincang oleh TVRI, beliau mengatakan rambut gondrong menyebabkan para pemuda menjadi acuh tak acuh, dan ini merupakan sesuatu yang harus ditindak selain paham komunisme (Rufaidah, 2020). Pemikiran seperti ini bisa dikatakan sebagai pemikiran yang dangkal. Mengapa? Panjang rambut bukanlah parameter empati atau simpati seseorang. Pernyataan tersebut juga bersifat ambigu karena tidak ada korelasi antara rambut gondrong dan sikap acuh tak acuh.

Rambut Gondrong dan Pendidikan

Stereotip rambut gondrong tersebut akhirnya diimplementasikan di lembaga pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga universitas. Pemerintah secara tidak langsung mengontrol lembaga pendidikan karena melihat potensi besar nalar kritis di dunia akademik yang dapat mengancam kekuasaan. Oleh karena itu, muncul peraturan-peraturan yang membatasi panjang rambut para siswa ataupun mahasiswa. Objektivitas dalam penilaian akademik seharusnya turut diragukan, sebab bukan tidak mungkin siswa ataupun mahasiswa yang berambut panjang akan mendapat penilaian buruk di mata para guru atau dosennya.

Baca juga:

Pengamat pendidikan Satria Dharma menyebut gondrong atau tidaknya rambut siswa hanyalah persoalan estetika, bukan persoalan kapabilitas siswa. Hal ini semakin menunjukkan betapa tingginya tingkat subjektivitas dan diskriminasi terhadap gaya rambut di dunia pendidikan di Indonesia.

Rambut gondrong di Indonesia juga dianggap sebagai simbol perlawanan dan keberanian para pemuda pada era milenial. Berbeda halnya dengan gerakan pemuda pada masa Orde Lama ataupun Orde Baru yang bergerak secara politis, para pemuda masa kini bergerilya dengan rambut gondrongnya sebagai simbol perlawanan terhadap segala bentuk penindasan, intimidasi, diskriminasi, dan aturan tradisional. Selain menjadi simbol perlawanan, para pemuda juga menjadikan rambut gondrong sebagai sarana rekonstruksi identitas.

Dengan adanya komunitas pemuda gondrong, pandangan para gondrongers ini akan diwadahi secara kolektif. Filsuf dan juga ahli psikologi James Mark Baldwin mengatakan bahwa identitas diri merupakan konsep sistematis yang berkembang pada diri individu akibat interaksi dengan individu yang lain. Kolektivitas yang terbentuk dalam komunitas rambut gondrong akan merekonstruksi paham individu mengenai identitas dan idealismenya sebagai pemuda.

Identitas gondrong dari para pemuda tersebut jelas menimbulkan pertanyaan yang sama sekali tidak ada korelasi dengan rambutnya, yaitu tentang prestasi, baik akademik ataupun nonakademik. Selain kedisiplinan, intelektualitas juga menjadi satu hal yang selalu dipertanyakan kepada para pemuda gondrong. Hal ini erat hubungannya dengan ungkapan Wahyu, mahasiswa Universitas Andalas yang sempat viral pada tahun 2019 karena menyuarakan “gondrong tak selalu kriminal dan klimis tak selalu intelektual”. Ungkapan ini tentu menuai pro dan kontra baik dari pihak internal maupun eksternal kampus.

Baca juga:

Irelevansi regulasi ini disebabkan oleh propaganda dan kebijakan represif pada masa Orde Baru.  Akibatnya masyarakat menganggap bahwa gaya rambut yang benar adalah gaya rambut pendek. Akan tetapi, apabila ditelusuri lebih jauh sampai zaman para anbiya’, tidak ada nabi atau sahabat nabi yang bergaya rambut “cepak ABRI”. Mirisnya, beberapa individu yang bergaya rambut pendek nan klimis justru berasal dari kalangan koruptor. Hal ini menunjukkan sebuah kontradiksi mengenai keterkaitan antara gaya rambut, kualitas moral, dan intelektualitas seseorang.

Perlu digarisbawahi bahwa stereotip terhadap rambut gondrong ini muncul pada saat rezim Orde Lama dan mencapai puncak pada masa Orde Baru. Stereotip ini menciptakan berbagai propaganda di hampir semua aspek kehidupan. Fenomena ini menjadi bukti bahwa propaganda Orde Baru telah berjalan sesuai rencana melalui kebijakan sehingga berbuntut pada tindakan represi aparat. Pada akhirnya, negara kita terus mewarisi ornamen-ornamen berupa regulasi–yang sebenarnya tidak penting–mengenai panjang rambut di lembaga pendidikan.

 

Editor: Prihandini N

Hillbra Naufal Demelzha Gunawan
Hillbra Naufal Demelzha Gunawan Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email