Sejak lima bulan masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, masyarakat seakan tak diberi jeda untuk sekadar menarik napas lega. Setiap bulan, kabar tak sedap bergulir, menggugah kegelisahan, menyulut amarah, dan mengantarkan gelombang demonstrasi ke jalan-jalan. Entah untuk yang ke berapa kalinya, mahasiswa kembali turun ke jalan, memperjuangkan perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap menyengsarakan. Bulan lalu, gelombang demonstrasi dipicu oleh efisiensi anggaran yang tak jelas peruntukannya. Tak sampai satu bulan berselang, isu baru kembali mencuat—kali ini tentang pengesahan revisi Undang-Undang TNI yang dilakukan secara tertutup dan terburu-buru.
Entah kepentingan siapa yang dilayani dalam pengesahan ini. Ketika rakyat dengan lantang menolak kembalinya dwifungsi ABRI, sadar betul akan jejak kelam yang pernah tercipta. Pemerintah justru seolah menganggap sejarah sebagai bayang-bayang lalu yang tak cukup menjadi cermin untuk menyadarkan, kepentingan pribadi menjadikan mereka tuli terhadap suara yang menggema di jalanan, sebab satu-satunya yang mereka dengar hanyalah gema ego sendiri.
Beriringan dengan amarah, kondisi saat ini juga mengarahkan masyarakat pada desperation yang ditunjukan dari berkembangnya tagline dan tagar seperti “Indonesia Gelap” dan “Kabur Aja Dulu”. Bukan tanpa alasan, ketidakpastian politik dan kebijakan yang tak berpihak pada rakyat membuat banyak orang kehilangan harapan. Harga pangan meroket, daya beli melemah, IHSG bergejolak, dan ancaman kenaikan BBM serta tarif listrik kian membayangi, sementara pengangguran tetap tinggi. Narasi dalam buku “A Country in Despair” seakan dihidupkan kembali dan terasa relevan dalam situasi saat ini, masyarakat dihadapkan pada dilema untuk bertahan, melawan, atau meninggalkan.
Baca juga:
Fenomena ini dijelaskan oleh Albert. Hirschman dalam bukunya yang berjudul Exit, Voice, and Loyalty. Hirschman menggambarkan tiga respons utama individu dalam menghadapi ketidakpuasan. Exit terjadi ketika individu atau kelompok memilih untuk meninggalkan situasi yang dianggap tidak lagi dapat diperbaiki, dalam konteks ini salah satunya adalah memilih untuk bermigrasi ke luar negeri. Sementara itu, Voice merupakan upaya untuk menyuarakan ketidakpuasan dan melakukan perlawanan demi perubahan tanpa meninggalkan. Terakhir, Loyalty, yakni komitmen untuk setia meskipun dihadapkan pada kondisi yang semakin sulit. Hirschman mengungkapkan bahwa tingkat Loyalty menentukan respon yang diberikan oleh individu. Loyalitas dapat menunda keputusan exit dan mendorong individu untuk menggunakan voice ketika menghadapi masalah. Namun loyalitas yang terlalu tinggi dapat menimbulkan resistensi terhadap perubahan dan cenderung nyaman dalam status quo.
Dalam kondisi saat ini, masyarakat Indonesia menunjukkan respons yang beragam. Golongan loyalty dapat dikatakan terdiri dari dua kelompok utama: pemangku kepentingan yang diuntungkan oleh sistem, serta silent majority yang memilih bertahan meskipun situasi kian tidak menentu. Menurut saya, silent majority merupakan gabungan dari dua lapisan masyarakat. Pertama, golongan menengah ke atas, yang cukup mapan secara ekonomi sehingga tidak terlalu terdampak oleh kebijakan pemerintah. Mereka memilih diam, entah karena merasa aman dalam kenyamanan atau skeptis terhadap perpolitikan. Bagi mereka, menjaga stabilitas hidup lebih penting daripada mengambil risiko menghadapi represi atau ketidakpastian. Kedua, kelompok grassroot—rakyat kecil yang diam bukan karena tak peduli, tetapi karena tak tahu harus berbuat apa. Buruh, petani, dan pekerja informal yang hidup dalam tekanan ekonomi sehari-hari. Mereka merasakan dampak dari ketidakadilan, tetapi bagi mereka, bertahan hidup saja sudah sulit, apalagi melawan.
Sementara itu, voice (bersuara) terdiri dari kelompok yang masih memiliki kehendak menetap namun menginginkan kondisi yang lebih baik. Namun, saat ini voice masih didominasi oleh kelompok mahasiswa dan aktivis, sementara keterlibatan dari lapisan masyarakat lainnya masih terbatas. Adapun golongan yang memilih jalur exit (keluar), adalah mereka yang sudah terlampau putus asa dalam melihat prospek perbaikan di negeri ini sehingga berniat untuk bermigrasi ke luar negeri, entah untuk menetap atau sementara. Namun demikian, hanya segelintir orang yang dapat memilih jalur ini, yakni mereka yang memiliki privilege, baik melalui jalur pendidikan, pekerjaan, maupun migrasi permanen.
Baca juga:
Kondisi saat ini memang mengkhawatirkan—demokrasi terus mengalami kemunduran, kebijakan represif semakin sering muncul, dan ketidakadilan terasa kian nyata. Namun, situasi ini belum mencapai titik di mana migrasi menjadi satu-satunya pilihan. Pemerintahan yang baru masih berada di awal masa jabatannya, masih ada ruang untuk perubahan atau bahkan revolusi. Oleh karena itu, seluruh lapisan masyarakat harus memanfaatkan momentum saat ini untuk menanggalkan perbedaan sejenak dan mengarahkan langkah pada satu tujuan yang lebih besar. Sebab, perjuangan yang tercerai hanya melemahkan, sementara perubahan lahir dari kebersamaan yang tak tergoyahkan.
Jika gerakan perlawanan tetap terfragmentasi dan hanya terbatas pada mahasiswa serta aktivis, maka upaya untuk mendorong perubahan akan semakin sulit. Apalagi jika kalangan intelektual dan masyarakat ber-privilege lebih memilih untuk pergi (exit), yang tertinggal adalah mereka yang sebenarnya paling membutuhkan perubahan tetapi tidak memiliki kekuatan untuk memperjuangkannya. Bagaimana nasib kelompok silent majority dari kalangan bawah jika yang memiliki kapasitas bersuara dan menyadarkan justru memilih meninggalkan mereka? Tidakkah rezim yang represif akan semakin mudah untuk mengukuhkan kekuasaanya?
Kita perlu belajar dari aksi perlawanan masyarakat Cile, di mana berbagai lapisan masyarakat bersatu melawan kediktatoran dan berhasil mendorong perubahan signifikan. Di Cile, gelombang demonstrasi besar-besaran pada 2019 yang dipicu oleh kenaikan tarif transportasi berkembang menjadi tuntutan reformasi sosial yang lebih luas. Keunikan gerakan ini adalah keterlibatan kelas menengah yang biasanya apatis, tetapi kali ini turun ke jalan karena merasa bahwa kebijakan pemerintah semakin menekan mereka. Tekanan rakyat yang terus berlanjut akhirnya memaksa pemerintah melakukan reformasi kabinet dan menginisiasi amandemen konstitusi sebagai respons atas ketidakpuasan publik. Ini menunjukkan bahwa ketika protes melibatkan berbagai kelas sosial (bukan hanya mahasiswa atau aktivis), tekanan terhadap pemerintah menjadi lebih kuat dan sulit diabaikan.
Masyarakat Indonesia perlu sadar bahwa perjuangan harus melampaui aksi simbolik dan diperjuangkan secara berkelanjutan dengan strategi matang serta keterlibatan luas. Agar lebih inklusif, narasi perjuangan perlu dikaitkan dengan persoalan sehari-hari, seperti kenaikan harga pangan, rendahnya upah, atau sulitnya akses pendidikan. Jaringan komunitas pun harus diperkuat dengan merangkul serikat buruh, kelompok tani, dan pekerja informal agar gerakan ini tidak hanya berpusat di lingkungan akademik. Media sosial dapat dimanfaatkan secara lebih efektif melalui kampanye yang ringkas, emosional, dan mudah dipahami. Selain itu, partisipasi harus lebih fleksibel, memungkinkan kontribusi dalam bentuk donasi, kampanye daring, atau edukasi di komunitas.
Jika hanya mahasiswa yang bergerak, perlawanan akan mudah dipadamkan. Namun, jika gerakan ini mampu merangkul berbagai lapisan masyarakat, ia bisa menjadi kekuatan yang lebih besar dan sulit diabaikan. (*)
Editor: Kukuh Basuki