sejarawan, penyair picisan

Jangan-Jangan Kitalah AI-nya

Muhammad Alif Ichsan

3 min read

Artificial intelligence tidak sememesona dan semengancam yang dipersepsikan orang-orang.

Percobaan Okky Madasari menggunakan ChatGPT dalam Normatif, Tidak Otentik, dan Puisi Gagal: Percobaan Menulis dengan AI menuntun kita pada kesimpulan bahwa AI masih terlalu jauh untuk dapat menyaingi manusia. Sebab, AI hanyalah mesin yang sekadar bisa mendedahkan segudang informasi tanpa kemampuan nalar kritis. Hasil “pemikiran”-nya tidak lebih dari susunan kalimat yang rapi, tapi sangat mungkin gersang makna.

Tulisan Mbak Okky dan testimoni orang-orang yang pernah menggunakan ChatGPT pada gilirannya memaksa saya untuk ikut mencoba. Setelah mengajukan beberapa pertanyaan kepada ChatGPT, fokus saya malah beralih dari ingin pembuktian “omong kosong” AI menjadi penemuan bahwa kadang-kadang manusia juga masih seperti AI yang memaksakan informasi dan menormalisasi permintaan maaf.

Baca juga:

Memaksakan Informasi

Barangkali yang membuat kehadiran AI mengancam adalah karena manusia melihat refleksi diri mereka pada AI. Ketika saya “menguji” AI dengan memintanya memberi referensi judul penelitian yang tengah saya kerjakan, AI mulanya bekerja dengan baik. Namun, ketika saya berkali-kali meminta lebih dengan mengetik, “masih adakah selain itu?”, ia akan terus menjawab dengan ”tentu sajadan mulai meracau. AI tetap mampu membalas dalam hitungan sepersekian detik, tapi rujukan-rujukan yang diinformasikannya ketika dicecar akan jauh menyimpang.

Saya bahkan mencoba lagi dengan pertanyaan berbeda. Pertanyaan yang agaknya tidak penting-penting amat, yakni soal nama salah seorang dosen saya. Ketika saya menanyakan siapakah dosen saya itu, AI malah menjawab bahwa beliau adalah seorang pahlawan nasional. Saya tidak mampu untuk tidak tertawa. Untuk menuntaskan rasa penasaran—karena sangat mungkin satu nama berlaku untuk beberapa orang dan boleh jadi ada pahlawan nasional yang tidak saya ketahui—saya mencari sendiri nama itu di Google, tapi hasilnya nihil.

Kurang puas dengan jawaban AI, saya uji lagi dengan mengetik, “tidak ditemukan informasi mengenai (nama dosen saya) yang sesuai dengan paparan Anda, adakah kemungkinan bahwa Anda keliru?Mendapat pertanyaan seperti itu, AI minta maaf dan berupaya merevisi jawabannya. Akan tetapi, jawaban yang baru tidak kalah kacaunya. Mesin AI menyatakan bahwa dosen saya itu merupakan tenaga pengajar di universitas yang berbeda dari universitas tempat saya belajar.

Setelah saya beri tahu jawaban yang benar, AI buru-buru meralat dengan jawaban yang semakin ngawur. Dia mengaku keliru dan mengiakan bahwa dosen saya bertugas di universitas seperti yang saya bantu ralat, tapi AI menambahkan bahwa dia bekerja di fakultas tertentu, yang lagi-lagi galat. Saat saya “pojokkan” kembali, ia malah berkesimpulan bahwa dosen dengan nama yang saya tanyakan tidak pernah ada di universitas yang saya maksud. Entah sudah berapa kali saya tertawa, AI memang penuh komedi.

Fenomena AI ngeyel memberi jawaban yang keliru menunjukkan bahwa ia senang memaksakan informasi dan bertindak sok tahu. Fenomena ini sudah lebih dulu menjangkiti manusia—yang bukan mesin dan sebenarnya tidak harus tahu segalanya, apalagi hanya untuk memuaskan pertanyaan-pertanyaan dari orang lain. Kalau AI, memang sudah tugasnya menjawab sebisa mungkin karena itulah layanan yang dijual oleh pembuatnya.

Saya tidak ingin banyak berspekulasi mengenai faktor yang mendorong manusia melakukan pemaksaan informasi. Akan tetapi, saya percaya bahwa memaksakan informasi bukan tindakan yang patut dalam etika bersosial. Merasa tahu segalanya dan mengharuskan diri untuk selalu punya jawaban atas permasalahan orang lain, sekalipun niatnya baik, akan jadi perilaku yang menghancurkan. Jawaban yang keliru, misalnya, tentang obat, penanganan kondisi darurat, atau arah jalan bukannya membantu, malah bisa berujung membunuh, menyesatkan, dan hal buruk lainnya.

Oleh karena itu, ungkapan “tidak tahu adalah setengah ilmu” itu perlu kita amalkan benar-benar. Jika memang tidak begitu mengerti terhadap suatu permasalahan, tidak mengapa untuk kembali bertanya dan memastikan. Etos ini yang tidak dipunyai oleh AI. AI tidak pernah memiliki sense of hearing atau art of questioning; dua hal yang menurut saya membedakan manusia dengan mesin.

Apabila manusia tidak mau mendengar dan bertanya dengan baik, dia tiada ubahnya adalah mesin karena tidak bisa memahami dan menunjukkan respect terhadap orang lain. Kemudian, kalau sudah memverifikasi pertanyaan dari orang lain dan masih tidak mengerti atau memang tidak mengetahui jawabannya, cobalah untuk memberanikan diri untuk mengaku tidak tahu dan coba mencari jawabannya bersama-sama. Ini tentu merupakan jalan yang lebih selamat.

Normalisasi Maaf

AI murah mengatakan maaf. AI akan langsung meminta maaf setelah kita berhasil melakukan verifikasi dan mengklarifikasi jawaban-jawaban keliru bin ngaco yang diberikan oleh AI. Bayangkan jika ada orang yang melahap bulat-bulat jawaban gado-gado ala AI itu!

Meminta maaf memang perilaku yang terpuji, tapi masih di bawah memberi maaf. Oleh karena itu, yang dikedepankan adalah perintah akan kewajiban memaafkan, alih-alih mengulang-ulang permohonan maaf. Walaupun banyak orang yang sulit meminta maaf—-karena menganggap minta maaf sama dengan mengaku kalah, tidak sedikit pula di antara kita yang melazimkan mengucap maaf sesering mungkin.

Ada yang beranggapan bahwa hanya dengan permohonan maaf, masalah akan selesai. Padahal, boleh jadi syarat suatu kesalahan dapat diputihkan lebih berat dari sekadar permintaan maaf; apalagi jika permintaan maaf itu hanya berhenti di lisan dan tidak tulus. 

Menariknya, AI yang tidak memiliki emosi merasa perlu menunjukkan gelagat “menyesal” dengan meminta maaf. Padahal, apa perlunya AI meminta maaf? Bukankah AI mesin yang tak punya emosi? Ditanya begitu, AI menjawab:

“Sebagai AI, saya dirancang untuk memberikan respons yang sesuai dengan tugas yang diberikan, termasuk memberikan permintaan maaf jika diminta. Meskipun saya tidak merasakan emosi secara langsung, saya dapat memberikan respons yang sopan, tulus, dan bermanfaat bagi pengguna. Oleh karena itu, tidak ada paradoks yang sebenarnya terjadi di sini, melainkan lebih pada fungsi atau tugas yang telah diprogramkan dalam sistem AI.”

AI cukup berani untuk menyatakan bahwa permintaan maafnya tulus. Namun, setelahnya, ia masih saja memberikan jawaban yang keliru, bahkan sama sekali halu. Ini mengingatkan saya pada manusia-manusia yang menjadikan kesalahan sebagai “kalimat utama” dalam hidup dan mengandalkan permohonan maaf sebagai “penjelas”-nya.

Inilah yang lebih mengkhawatirkan: generasi-generasi yang telah diberi akal, tapi masih saja berkarakter robot; yang ngaku-nya meminta maaf dengan tulus, tapi mengulangi kesalahan terus-menerus. Orang-orang seperti ini berbahaya bagi lingkungannya, apalagi jika dipercaya memimpin orang banyak. Sadar atau tidak, mudahnya meminta maaf dan selalu menerima permintaan maaf dengan cuma-cuma adalah jalan pintas yang mengarah pada mudahnya kesalahan itu diulang, bahkan lebih parah.

Baca juga:

AI telah mencontohkan bahwa memaksakan informasi dan menormalisasi maaf tidak akan membawa kita ke mana-mana, kecuali pada repetisi kesalahan. Repetisi kesalahan ini menjadi tidak wajar jika dilakukan oleh manusia dengan teknologi akal yang kecanggihannya tidak dapat digantikan oleh berapa pun kecepatan AI dalam mengelola dan menyajikan informasi. Oleh karena itu, sudah semestinya kita manfaatkan karunia tak ternilai itu agar jangan sampai kehadiran kita hanya menambah kehancuran di muka bumi.

 

Editor: Emma Amelia

Muhammad Alif Ichsan
Muhammad Alif Ichsan sejarawan, penyair picisan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email