Seorang penulis lepas, penikmat karya sastra dan film pendek. Tulisannya berfokus pada isu kemanusiaan, kesetaraan gender, dan lingkungan.

Matinya Seorang Penyair Digital

Eka Nawa Dwi Sapta

6 min read

Pengakuan Tetangga di Seberang Rumah Farhan

Tolong jangan bertanya banyak-banyak, saya mungkin tidak bisa membantu menjawab semuanya. Apakah perkataan saya akan dicatat? Kalau benar, saya harap Anda sekalian tidak mengubah sama sekali ucapan saya. Bukan apa-apa, saya hanya takut, nanti ucapan saya yang palsu dikutip di mana-mana.

Kalian ini dari perwakilan media mana sih? (Mengangguk-anggukan kepala setelah mendengar jawaban). Saya kira jurnalis betulan, ternyata lepas, tapi tetap saja omongan saya bakalan kalian tulis jadi berita, kan? Pesan saya masih sama, tulis saja apa adanya, jangan ditambah-tambahi atau dikurang-kurangi.

Saya baru tahu kalau Farhan ini rupanya orang terkenal di internet. Saya pikir, dia cuma pengangguran. Maklumlah, saya gaptek.

Kemarin, sekitar pukul lima sore, benar saya melihat dia berjalan ke arah kebun itu (menunjuk perkebunan karet di ujung jalan setapak). Anak itu jarang sekali keluar rumah. Kalau dia keluar rumah dalam sehari bisa dihitung dengan jari. Pertama, saat dia berjalan pagi-pagi ke warung depan sana.

Kedua, saat petang hari dia berjalan ke arah kebun itu. Betul, dia tidak pindah-pindah tujuan. Itu-itu saja yang dia kunjungi. Saya juga melihatnya keluar hanya di hari-hari tertentu. Seingat saya, kalau tidak salah ia ke sana dari Kamis sampai Minggu. Sementara Senin sampai Rabu, saya jarang sekali melihat dia menampakkan batang hidung. Mungkin di hari-hari itu dia malas keluar rumah. Mungkinlah, saya tak bisa memastikan karena pekerjaan saya di rumah sudah banyak, kalau ditambah harus jadi mata-mata, jelas saya tak akan bisa.

Pendapat saya tentang dia? Hmm, anak itu jarang bicara, pendiam sekali. Tapi kalau ditegur di jalan, dia mau menanggapi walau kelihatan sekali buru-buru ingin pergi.

Hari Minggu itu saya melihatnya keluar dari rumah. Dia menggunakan kaus hitam dengan celana pendek bergaris-garis hitam putih. Ia sempat menggerutu sebelum keluar dari pagar. Kalau tak salah dengar, dia bilang, “dasar keparat!” Setelah itu dia berjalan cepat-cepat.

Kalau saja ia tak sadar sandal jepit di kakinya putus, ia mungkin akan segera tersandung. Tetapi dia mengetahui kondisi sandal di kaki kirinya itu. Jadi, dia berhenti sejenak dan melepas benda itu, kemudian melemparkannya ke parit di depan pagar rumahnya. Menoleh ke arah saya sekian detik. Setelah itu, saya masuk ke dalam rumah. Sebelumnya saya kurang memperhatikan apakah lelaki itu ketika keluar pertama kali sudah membawa pisau?

Sepengingat saya, dia tidak membawa benda tajam apa pun. Namun, kalau menurut pengakuan orang desa, Farhan menggorok lehernya sendiri dengan senjata tajam di pondok di tengah kebun.

Barangkali memang saya yang tidak sadar. Saya pikir-pikir, wajar kalau dia sampai bunuh diri, pemuda itu memang tampak nian banyak beban pikiran. Tahu sendiri zaman sekarang semua serba susah. Dia mungkin frustrasi ditambah lagi kurang beribadah. Jadi, pikirannya sempit dan mengambil jalan pintas. Malang sekali!

Pengakuan Pemancing yang Berpapasan dengan Farhan  

Soal pemuda itu, ya? Aku tidak pula lama-lama bertemu dengannya, bahkan kami tidak bertegur sapa sama sekali. Sepulang dari sungai, aku memang melewati jalan yang biasanya aku lintasi.

Dengar, aku rabun jauh. Agak susah buatku melihatnya dengan jelas tanpa mendekat. Dan, saat posisi kami tengah berpapasan, yang aku ingat dia mengenakan baju kaus berwarna hitam dengan tulisan “I Wanna Die” besar di depan dada. Itu saja.

Satu lagi, dia membawa senjata tajam di tangannya. Sajam itu cuma pisau dapur tumpul dan bukan kali pertama aku melihat anak itu suka membawanya saat berangkat ke kebun.

Dia sempat tersenyum seperti dipaksakan ke arahku sembari menaikkan alisnya sekejap sebelum berlalu cepat-cepat menuju ke arah lahan yang belum lama dibuka. Itu beberapa puluh meter dari tempat kami bersinggungan.

Anak itu memang terlihat mengkhawatirkan. Badannya kurus seperti nyamuk dan jalannya letoi seolah tidak punya tenaga. Bahunya membungkuk ke depan dan kepalanya selalu tertekuk ketika sedang berjalan. Aku bisa merasakan bahwa dia punya beban hidup. Tapi membayangkan dia sampai bunuh diri hari itu, aku agak sangsi.

Maksudku, bukan sekali dua kali lagi aku melihatnya bertingkah demikian, membawa pisau, parang, kapak, senapan angin, cangkul, dan segala macamnya, tapi belum pernah sekali pun kedapatan olehku dia bertingkah aneh menggunakan benda-benda itu. Semua benda itu sepenglihatanku benar digunakannya sesuai fungsi. Makanya aku tidak curiga sama sekali.

Baiklah, aku harus pergi. Istriku sudah memanggil di dalam (buru-buru masuk rumah dan menutupkan pintu. Tapi tiba-tiba ia keluar lagi dan menyembulkan kepala dari balik pintu).

Tapi, kalau boleh jujur, aku tidak percaya dengan kesimpulan polisi itu. Pasalnya, pada hari pertemuan aku dengan Farhan, aku sempat menoleh ke belakang dan melihat dia menemui seseorang. Tapi di mataku kelihatan buram. Jika saja aku tahu orangnya, aku pasti mencurigainya. Jangan-jangan orang itulah pembunuhnya. Masalahnya, aku pun tidak tahu siapa yang disusulnya di sana pada hari itu.

Pengakuan Warga yang Tidak Mau Disebutkan Namanya

Gerak-gerik ganjil? (Menghela napas). Kuakui pernah sekali aku mendapatinya berbuat kurang masuk akal (memasang wajah miris). Ini kalau aku belum pikun, sekitar bulan November lalu, di tengah hujan deras, petir meledak-ledak, dan angin dahsyat bertiup menakutkan, aku melihatnya berdiri tenang menenteng ember menyirami tanamannya di depan rumah.

Aku sampai geleng-geleng kepala melihat tingkah aneh pemuda itu. Coba kalian pikir? Dia menyiram tanaman di tengah hujan! Iya hujan, sungguh perbuatan kurang masuk akal, dan dia melakukannya seperti hujan itu tidak pernah terjadi. Itu kusaksikan bersama anak bungsuku saat kami baru saja pulang dari mengambil bambu untuk tiang UHF. Jadi, memang tidak heran kalau dia bunuh diri. Dia sepertinya sudah gila.

Kesaksian Anita, Sahabat Dekat Farhan

Dia orang baik. Aku berani bersumpah dia manusia terbaik yang pernah aku kenal. Kemarin, ketika membaca pesan dari sepupu Farhan kalau Farhan bunuh diri rasanya aku hampir mau mati. Kupikir ini berita bohong. Aku masih tidak percaya (menangis terisak-isak).

Kami masih sempat mengobrol sehari sebelum kejadian itu. Nah, kalian lihatlah, ini obrolan kami terakhir:

Anita    : Far, kado dariku kemarin sudah sampai?

Farhan : Sudah, Nit. Terima kasih banyak. Aku suka kaus ini. Kayaknya bakal jadi favoritku. Kok kamu kepikiran beli ini?

Anita    : Kamu bilang suka kaus hitam. Modelnya juga bagus makanya aku pilihkan kaus itu. Aku minta maaf gara-gara tukang sablon menyebalkan itu, tulisannya tidak sesuai. Seharusnya aku order tulisan I DON’T WANNA DIE (sesuai judul puisi yang kamu buat). Eh, malah ditulisnya hanya “I Wanna Die”. Kalau kuminta sablon ulang, bakal memakan waktu lagi, padahal besok kamu ulang tahun. Maaf ya. Aku janji, minggu depan bakal kukirim ulang versi yang benar.

Farhan : Maaf merepotkanmu, Nit. Aku yang jadi tidak enak padamu. Kamu itu selalu memperlakukanku dengan baik.

Anita    : Apanya yang tidak enak? Kapan lagi aku bisa kasih kamu kejutan kalau bukan sekarang? Kamu selama ini selalu jadi pendengarku yang paling sabar. Aku tidak mungkin bisa membalas semua kebaikanmu

Farhan : Nit, aku mau pamit dulu sebentar. Kita sambung jam 7 nanti ya. Sampai jumpa!

Cerita Penyadap yang Mendengar Teriakan dari Arah Kebun dan Menemukan Mayat Farhan Pertama Kali

Saya belum sebulan datang ke kampung ini. Bisa dikatakan saya belum familier dengan penduduk sekitar sini. Termasuk pemuda yang saya temukan sekarat di kebun kemarin. Ceritanya cepat sekali terjadi, saya pun masih syok kalau mengulang peristiwa hari itu.

Pada hari itu, ketika saya hendak menyembunyikan bak getah ke semak-semak, tiba-tiba terdengar teriakan keras meminta tolong dari arah sebelah utara kebun. Sekonyong-konyongnya saya spontan menuju sumber suara dan terkejut menemukan lelaki itu menggelepar-gelepar di dalam pondoknya. Pondok itu setinggi kira-kira satu meter. Darah kental mengalir dan menyembur dari bagian leher yang tertancap pisau, lalu sebelah tangannya masih memegangi pisau yang menembus daging itu.

Pendek cerita, saya berteriak meminta bantuan lantaran saya bingung mau berbuat apa dan bagaimana. Ditambah lagi, dari yang saya dengar, menyentuh tubuh orang yang terluka dan hampir mati bisa menjadi bumerang buat saya. Bukan tidak mungkin keluarga lelaki ini kelak menyalahkan saya dan menuntut saya dengan tuduhan pembunuhan berencana.

Jadi, akhirnya saya putuskan berlari ke arah permukiman warga dan memanggil siapa pun yang sekiranya dapat menolong. Lalu beberapa warga yang saya temui menyuruh saya mendatangi rumah bercat putih tak jauh dari jalan setapak, sementara mereka saya minta menyusul ke sana.

Sewaktu saya berteriak ke dalam rumah yang dimaksud dan hendak mengabarkan peristiwa yang baru saya saksikan itu, wanita tua yang ada di rumah itu keluar dari pintu dan kelihatan terkejut, tetapi yang mengherankan dia masih memedulikan kompornya di dapur. Alih-alih langsung mengikuti saya, dia menyuruh saya menunggu beberapa waktu di teras, selagi ia mematikan kompornya. Ia kemudian mengunci pintu rumahnya dengan perlahan seperti tidak ada yang membuatnya perlu tergesa-gesa, sementara saya berpikir bahwa lelaki itu sudah mati sia-sia karena ibunya tidak tampak gelisah atas kematiannya.

Anda-Anda ini datang bukan hendak menjebak saya sebagai kambing hitam atas kematian orang itu, kan? (Gugup). Beberapa orang desa ini menyebar desas-desus kalau bisa saja saya otak dari pembunuhan ini, padahal tuduhan mereka itu tak berdasar.

Demi Tuhan! Saya akui, memang betul kata mereka kalau saya merantau ke desa ini karena pernah masuk penjara. Dahulu saya berkelahi dengan teman saya yang anak orang kaya. Saya memukul mukanya sampai biru lebam sehingga dia mengadukan saya ke polisi. Tapi kejadian itu murni karena kami salah paham.

Lagi pula, saya murni tidak mengenal pemuda itu. Bagaimana bisa saya bertindak sekeji itu kepada orang yang saya tidak kenal?

Tanggapan Ibu Tiri Farhan

Farhan itu anak madunya suami saya. Ibunya meninggal saat melahirkannya tepat di hari saya mendatangi perempuan itu untuk meminta penjelasan. Anda bisa bayangkan, bagaimana hancurnya perasaan saya selepas tahu suami saya diam-diam berselingkuh selama empat tahun dengan seorang gadis berumur 18 tahun? Ratna Juwita, saya masih ingat betul nama wanita laknat itu. Dia dengan memasang wajah tanpa rasa bersalah mengatakan bahwa suami saya berselingkuh lantaran saya mandul.

Dengan semua kejadian itu, tidak berarti saya tega menelantarkan Farhan. Apa pun yang anak itu makan adalah yang saya makan. Semua kebutuhannya berusaha saya penuhi. Akan tetapi, saya ini janda. Mungkin saya belum bisa jadi ibu yang baik baginya; mungkin saya belum bisa mengabulkan semua keinginan Farhan sehingga dia merasa putus asa. Mengenai sejarah ibunya, tentu saja saya sudah menjelaskannya. Saya tidak ingin dia kehilangan jejak orang tuanya, sekalipun saya benci wanita itu.

Farhan adalah anak saya. Sayalah yang merawat dia dari bayi hingga hari ini. Bukan wanita sialan itu. Jadi, sebenci-bencinya dengan Ratna Juwita, saya tak pernah menyamakan putra saya dengan ibu kandungnya.

Anda bertanya kenapa saya tidak tergesa-gesa di hari kejadian itu? Saya putus asa (menangis). Setelah berjuang membesarkannya sendirian, setelah saya … membunuh segenap kebencian saya demi membesarkannya dengan baik, ia sampai hati meninggalkan saya di sini seolah dia lebih puas menyusul ibu kandungnya. Saya merasa gagal menjadi ibu yang baik, saya gagal jadi manusia (menangis tak bisa bicara lagi).

Tulisan Farhan di Media Sosialnya Terakhir Kali

Kau yang paling kesepian di muka bumi,
teronggok dibiarkan, disayang pun tidak
sunyi adalah lagumu
dan malam adalah pakaianmu
kau berkelana dalam pikiran membuang-buang waktu
mencari yang raib (mencari yang bukan milikmu)
malah beroleh sendu,

Engkau yang paling kesepian di muka bumi!
Terima kesendirian. Rayakan kesenyapan.
Kitalah yang paling tidak beruntung di jagat raya.

F.A.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Eka Nawa Dwi Sapta
Eka Nawa Dwi Sapta Seorang penulis lepas, penikmat karya sastra dan film pendek. Tulisannya berfokus pada isu kemanusiaan, kesetaraan gender, dan lingkungan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email