Tulisan Okky Madasari membuat saya bertanya-tanya, mengapa ada orang bisa begitu “beringas” di media sosial? Mengapa ada orang yang mudah sekali mencaci orang yang tidak dikenal? Mudah sekali menemukan komentar seperti ini “Goblok, gitu aja ga tau!” bahkan, sebutan-sebutan lonte, pelacur, bertebaran di media sosial.
Apa sebenarnya yang diinginkan orang-orang ini? Si A ditertawakan fisiknya, Si B dirundung preferensi seksualnya, si C dijelek-jelekkan temannya, dan yang paling tidak masuk akal adalah karakter jahat di sebuah film dibenci sejadi-jadinya. Pokoknya tidak ada yang benar sama sekali. Greta Thunberg yang nyata-nyata hanya menyuarakan pendapat dan keprihatinan terhadap dampak pemanasan global bagi masa depan generasinya juga tak lolos dari kecaman.
Apakah kemudahan mengetik kata-kata dan kuota internet yang melimpah penyebabnya?
Tidak juga. Di kehidupan nyata, komentar-komentar menyakitkan juga tak sedikit. Saya teringat kata-kata tetangga saya di kampung ketika bertemu anak teman saya yang jalannya pincang, “Cantik-cantik kok cacat,” atau pada kesempatan lain muncul komentar ,“Buat apa sekolah tinggi-tinggi, mending sekolahin anak aja,” saat ada seorang teman saya ingin melanjutkan pendidikannya.
Level Internasional
Saya tercekat saat GothamChess merisaukan kicauan netizen Indonesia. Ada satu judul berita yang muncul di salah satu media daring Indonesia, 17 Maret 2021 lalu, “GothamChess Kritik Beringasnya Netizen RI, Tempel Bukti Dewa Kipas Curang”. Berita itu menyikapi kejadian yang dialami Dadang Subur, seorang ayah berusia 60 tahun yang iseng bermain catur sebelum tidur. Dadang bukan pecatur profesional, tetapi ia mampu mengalahkan Levy Rozman, pecatur bergelar Master Internasional (MI). Dalam suatu pertandingan, seorang yang biasa-biasa saja melawan seorang yang jago barangkali adalah hal yang wajar. Namun, ketika permainan itu melibatkan algoritma komputer, akan lain ceritanya.
Algoritma itu pula yang mengalkulasi bahwa dengan peringkat permainan catur Dadang, ia dianggap bermain secara tidak wajar. Gerak-gerik permainannya dianggap mencurigakan. Akhirnya akun Dadang (Dewa Kipas) di Chess.com diblok. Hal itulah mengundang reaksi (meledak-ledak) dari netizen yang mendukung Sang Dewa Kipas, menyerang Levy dan istrinya dengan kata-kata kasar. Inilah yang memicu mengapa netizen Indonesia sampai digelari “beringas”.
Satu hal yang saya tahu, kata-kata yang dilayangkan ke akun Twitter dan Youtube Levy Rozman seperti mother fucker, your mother are shit, your mother are animal, because he give birth to a poop ass shit, your mother are a sex doll, tidak pantas rasanya diucapkan/diketik oleh orang Indonesia. Bukankah di Barat sana, orang Indonesia dikenal ramah dan baik hati?
Kata-kata serapah itu, mungkinkah efek dari gagap budaya dan menyerap bahasa asing secara serampangan atau sengaja dipilih agar dimengerti teman bicara?
Dari komentar-komentar ini pula, sekali lagi terlihat kebanggaan menyumpah-serapah dalam bahasa asing. Sumpah serapah itu menjamur di film-film produksi Hollywood, tetapi konteks yang melatari lahirnya caci maki itu logis. Di Indonesia, saya yakin komentar Ibumu adalah boneka seks, atau Ibumu seorang pelacur murahan” akan sangat menyinggung perasaan, terlepas benar atau tidaknya komentar itu.
Satu bulan sebelum Levy diserang, Microsoft telah merilis hasil studi tahunannya mengenai angka kesopanan warganet dunia dalam berinteraksi di Internet, melalui “Civility, Safety, and Interaction Online 2020”. Hasil studi yang melibatkan 16.000 responden dari 32 wilayah itu mengungkap warganet Indonesia sebagai pengguna internet paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Hal itu merujuk ke skor Digital Civility Index (DCI) warganet Indonesia di angka 76, terendah dibandingkan Singapura (59 poin), Malaysia (63 poin), Filipina (66 poin), Thailand (69 poin), dan Vietnam (72 poin).
Kasus yang menimpa Levy tentu bukan satu-satunya tokoh yang mendapatkan keberingasan warganet Republik 62. Kalian yang sehari-harinya tak lepas dari media sosial, pasti punya referensi masing-masing.
Akun instagram Han So Hee, pemain drama Korea World of The Married misalnya, pernah diserang warganet Indonesia karena perannya sebagai perebut laki orang (pelakor) di film tersebut. Reaksi yang tak kalah garang terjadi ketika Tim Bulu Tangkis Indonesia didiskualifikasi dari Turnamen All England 2021. Lalu, reaksi terbaru adalah keberingasan netizen terhadap Permendikbud tentang Kekerasan Seksual. Yang ramai diserang adalah tokoh-tokoh publik yang lantang menyatakan persetujuannya terhadap peraturan itu. Serangan itu menjalar kemana-mana, jauh terlepas dari pokok persoalan, bahkan Mas Menteri tak luput dari cacian. Saya geleng-geleng kepala dan bertanya, apakah mereka sudah khatam membaca dan mencerna baik-baik setiap pasal dan ayat yang tertera dalam 35 halaman peraturan itu?
Baca juga: Demi Nama Baik Kampus, Permendikbud adalah Jawaban
Akar Kata
Jika dirujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia V, lema beringas berkelas kata sifat, dan memiliki arti “liar (tentang pandangan mata): penjahat itu mengamuk dengan pandangan yang-”. Sementara itu, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta halaman 128, beringas berarti garang, ganas, tidak jinak, liar (tt pandangan mata).
Kata beringas mengingatkan saya pada narasi pertarungan silat dalam cerita-cerita Wiro Sableng yang saya santap semasa SD. Saya terbayang sosok mata yang berkilat penuh kemarahan dan kebencian, siap menghancurkan apa saja yang ada di hadapannya. Saya tidak tahu apakah kata “beringas” pada judul berita di tulisan ini adalah semata-mata pilihan wartawannya untuk menarik minat pembaca, ataukah memang itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan reaksi warganet kita. Saya bertanya-tanya sendiri, membayangkan keadaan mata warganet saat mengetik ujaran kebencian di ponsel atau papan tombol laptopnya, apakah benar liar, berkilat marah, dengan napas yang susah diatur layaknya orang yang sedang marah, ataukah diketik sambil tertawa, dalam keadaan santai sambil menyeruput kopi, sekadar ikut topik tren hari ini, atau bahkan sedang mencari pelampiasan dan pengalihan dari kesengkarutan masalah pribadi.
Menjadi “beringas” di dunia maya bisa jadi dikarenakan sifat media sosial yang memudahkan penggunanya berlindung di balik profil semu. Seorang kawan bahkan pernah berseloroh kepada saya, untuk tidak terlalu serius di dunia maya, “Kita tidak pernah tahu siapa yang berada di ujung sana.”
Kata-kata kasar yang saya temukan di media sosial, tidak pernah saya bayangkan bisa lahir dari jari orang Indonesia. Apa kabar kesantunan berbahasa? Apakah memang saya mencari di tempat yang salah? Apakah kolom komentar di media sosial memang menyediakan dindingnya sebagai samsak tinju? Perang makian dengan mudah kita temukan di sana, serupa arena yang membebaskan orang berkata apa saja, tempat bertarung yang membolehkan siapa pun menjadi banal.
Jika demikian, apakah peribahasa bahasa menunjukkan bangsa masih bisa diimani hingga hari ini?
*Penulis esai dan cerpen, bermukim di Gorontalo
* Versi pendek artikel ini telah terbit di Pikiran Rakyat Edisi 27 Maret 2021
One Reply to “Berbahasa Satu, Bahasa Beringas”