Jika benar nama adalah doa bagi pemiliknya, maka hanya nama belakangku yang terdengar layaknya doa, sementara nama depanku — Gerimis — menurutku tak semestinya dipakai sebagai sebuah nama. Namaku terdengar basah dan suram. Nama itu sudah cukup untuk menandai diriku yang terlahir di bawah gelap langit mendung. Nama yang tidak cocok untuk seorang laki-laki sepertiku.
Entah apa isi kepala bapakku memberi nama seperti itu. Mungkin ia berharap aku menjadi seperti hujan yang menyuburkan tanah. Mungkin ia ingin aku menjadi air yang membersihkan kotoran. Atau mungkin ia sekadar suka dengan bunyi kata itu.
Setelah kupikul selama dua puluh tujuh tahun, dan setelah peristiwa yang akan kuceritakan ini, betapa sekarang nama belakangku — nama yang terdengar seperti doa itu — justru sekonyong-konyong membuatku meragukan identitasku sendiri.
Tapi untuk saat ini, kau cukup memanggilku Geri, sama seperti semua orang memanggilku demikian. Selain karena belalai di antara kedua kakiku dan ciri-ciri raga lainnya, nama itu juga terdengar seperti mewakili sebagian jiwaku. Panggilan itu juga membuatku terhindar dari tatapan-tatapan janggal penuh tanya dari orang yang baru mengenalku.
“Mas Geri, ayo turun, sarapan.” Terdengar suara Anggi, perempuan yang kunikahi setahun lalu, memanggilku dari arah dapur di lantai bawah. Sementara aku masih meringkuk di tepi kasur di lantai atas, menata pikiranku yang masih berserakan mencerna apa yang kulihat semalam. Aku masih merasakan denyut peristiwa semalam menjejali tempurung kepalaku. Aku masih melihat bayangannya di mataku. Bayangan yang membuatku bingung dan gelisah.
Bajingan. Seharusnya aku tidak peduli dengan apa yang kulihat semalam, apalagi sampai menyita pikiranku. Toh kejadian itu di luar kehendakku. Aku seharusnya tidak merasa bersalah atau khawatir atau bingung atau apa pun itu.
Tapi astaga, sulit kupercaya di satu sisi, ada kekhawatiran dari dalam diriku tentang apa yang kulihat semalam. Namun di sisi lain, aku juga berpikir kejadian acak yang lewat sekelebat, tak sepatutnya digunakan untuk menghakimi seseorang — seperti pengendara yang menabrak mati penyeberang jalan secara tak sengaja, tak semestinya tikungan nasib seperti itu digunakan untuk menghakimi pengendara apes itu sebagai pembunuh yang tak bermoral.
Sebelum aku ceritakan apa yang kulihat semalam, bersumpahlah dengan membawa nama Tuhan untuk tidak menyebut-nyebut namaku setelah kau mendengarnya.
Aku tidak bermaksud membebanimu dengan ceritaku. Aku hanya khawatir cerita ini jatuh ke telinga Anggi, dan ceritaku kau kutip serampangan sehingga menggeser pengertiannya. Aku sebenarnya juga ragu menceritakan peristiwa itu karena aku merasa sebagian dari kalian akan mual memandang diriku. Tapi sungguh, percayalah aku sangat gelisah pada bagaimana aku seharusnya menerima diriku yang sebenarnya setelah peristiwa itu.
Semalam — tidak kuketahui persis pukul berapa —aku melihat Angga, saudara laki-laki Anggi.
Sebelum jadi saudara iparku sekarang, Angga dulu kakak kelasku dua tingkat di sekolah di Tanjungbalai. Sejak lulus dan melanjutkan kuliah dan keluar dari kota di tepi Sungai Asahan itu, aku tak pernah melihatnya lagi. Sampai akhirnya kami bertemu lagi setahunan lalu, saat meminta izinnya untuk menikahi Anggi. Semacam menjalankan tradisi untuk meminta restu melangkahi saudara tua yang belum menikah.
“Menikah itu tidak untuk semua orang. Ada dan hormatilah mereka yang lebih bahagia dengan melajang. Lihat orang-orang Jepang itu. Meski negaranya kacau balau karena defisit keturunan, pilihan hidup warganya tetap dihormati.”
“Dan menikah itu isinya soal kompromi dua isi kepala. Kalau kalian mau kompromi sepanjang hayat, kurestui kalian menikah. Jangan ada pihak yang selalu mengalah. Yang seperti itu bukan pernikahan, tapi penjajahan. Ini bukan soal budaya patriarki. Jangan dikira perempuan tidak bisa menjajah laki-laki.”
Begitulah kalimat restu darinya waktu itu, yang menurutku terdengar hanya merasionalisasi pilihannya saja untuk tidak menikah.
Semalam, tak hanya raut muka dan perawakannya yang kulihat jelas, aroma parfumnya yang wangi itu juga menyengat hidungku, seperti wangi parfum Clive Christian V yang beraroma rumput vetiver berpadu dengan kayu sandalwood.
Mengenakan kemeja bergaris biru laut berlapis mantel biru yang lebih gelap, kulihat Angga menggandeng tangan seseorang yang samar-samar seperti sosok yang kukenal.
Tentu aneh sekali, wajah Angga sangat jelas kulihat, tapi sosok samar-samar ini tak bisa kulihat jelas raut mukanya sepanjang malam. Aku melihat Angga berputar-putar di antara kerumunan orang yang tidak kukenal. Ia sesekali melempar senyum, menatapku sebentar sebelum mengalihkan pandangannya ke sosok yang ada di sisinya.
Aku terus mengawasi mereka, mencoba memahami, tapi pemahamanku makin kusut. Perlahan kerumunan orang itu menghilang, tapi Angga masih berdiri di tempatnya, sambil jemarinya tetap menggenggam erat tangan sosok samar-samar itu. Aku melihatnya membisikkan sesuatu dengan wajah yang penuh bangga ke sosok itu dan kemudian mereka berjalan menjauh, menghilang ditelan gelap malam.
Aku sendiri terdiam mematung di tempat, masih memperlebar jalan pikiranku tentang sosok samar-samar itu, barang kali kutemukan lorong sempit yang menghubungkannya dengan dengan Angga.
Tiba-tiba terdengar suara seseroang berdehem memecah pikiranku. Suara itu mirip sekali dengan suaraku. Sangat mirip. Tapi aku juga yakin itu bukan aku yang berdehem. Aku mengalihkan pandanganku ke arah suara itu dan kudapati itu suara sosok samar-samar yang tadi bersama Angga. Ia mendekat ke arahku, parasnya masih terlihat samar-samar di tengah kegelapan. Ia terus mendekat, dan sangat dekat denganku.
“Bolehkah aku meminjammu untuk beberapa saat?” ujarnya di telingaku. Suaranya lembut sehalus angin malam. Parasnya tetap tak terlihat.
“Meminjam?” tanyaku heran.
Aku terkejut dengan permintaannya, dan sontak tanpa pikir panjang aku refleks mengangguk tanpa sedikit pun keraguan. Sosok samar-samar itu kini berada tepat di depan batang hidungku, dan kembali tercium wangi rumput vetiver dan kayu sandalwood. Parasnya tetap tak terlihat.
“Namaku Hana,” terdengar lagi di telingaku ia mengenalkan diri.
“Aku tahu ini mungkin terdengar mustahil, tapi aku merasa ada ikatan kuat di antara kita,” bisiknya tepat di telingaku. Parasnya tetap tak terlihat.
Sesaat setelah mengangguk, seperti petapa mengalami pencerahan, dalam sekejap aku memperoleh banyak pengetahuan dalam realita lain, yang membukakan sebagian jiwaku ke pengalaman hidup, cinta, dan harap yang dilalui Hana. Aku merasa hatiku berdebar kencang dan aku tahu Hana merasakan hal yang sama.
Akhirnya aku menyadari Angga dan Hana memang saling jatuh cinta. Tapi bukan hanya itu, aku juga tahu bahwa sekarang tidak ada sekat dan jarak antara Hana denganku. Ia lebur dalam diriku atau entah aku yang melebur dalam dirinya. Di tengah kegelapan malam yang menyelimuti, aku menyaksikan sekaligus mengalami Hana memeluk Angga, memegang erat tangannya, dan menatap bulan dan bintang-bintang bersinar gilang gemilang di langit.
Aku terbangun setelah entah berapa kali Anggi memanggil-manggil dari lantai bawah. Dan ingatan pertama yang bercokol mengganggu kepalaku adalah namaku: Gerimis Sederhana, nama pemberian bapakku. Peristiwa yang kusaksikan penuh warna semalam itu, seketika berubah menjadi kegelisahanku sepanjang hari. Selain karena sewaktu kecil Ibu memanggilku Hana, kudapati aku terbangun dengan basah pada celana dan gulingku.
***
Editor: Ghufroni An’ars