Stephen Hawking dan Konsep Black Hole
Pagi ini di depan meja kerja, saya mengawali hari dengan membaca sebuah buku menarik, Brief Answers to The Big Question karya Stephen Hawking. Buku yang sangat menarik sekaligus kontroversial. Tanpa basa-basi, Hawking membuka pembahasannya dengan satu pertanyaan besar, Is There A God? Apakah Tuhan itu ada? Sebuah pertanyaan lugas yang penuh dialektik dan tidak bisa sembarangan ditanyakan. Tidak bisa dipungkiri bahwa fisikawan kelahiran Inggris ini memang mendapat nama besar karena teori-teori kontroversial yang dikemukakannya.
Awal mula tercetusnya teori-teori Hawking berawal ketika dia menghadiri seminar Roger Penrose pada 1965. Penrose sendiri merupakan seorang fisikawan dan matematikawan pencetus teori singularitas. Teori tersebut berkata bahwa lubang hitam (black hole) memiliki tempat dan gravitasi yang tidak terbatas. Setiap benda yang jatuh ke dalamnya akan terperangkap dan hancur. Hawking tertarik dengan teori itu dan mengajak Penrose untuk mengembangkan teorinya.
Pada tahun 1970, hasil temuan Hawking dan Penrose menyatakan bahwa alam semesta berawal dari ledakan besar atau Big Bang untuk kemudian berakhir di lubang hitam yang bakal menguap dan lenyap. Setahun setelahnya, Hawking melakukan penelitian mandiri dengan menggabungkan teori relativitas umum dengan teori kuantum. Hasil dari penelitian yang dinamai teori Stephen Hawking ini menyatakan bahwa ketika dua lubang hitam bergabung menjadi satu, gabungan yang dihasilkan itu luasnya melebihi luas dua lubang hitam yang pertama.
Pada tahun 1974, Hawking melakukan penelitian dengan judul, “Black Hole Explotion.” Studi terakhirnya dilakukan pada 2014 silam. Hasil teori baru ini justru membantah teori terdahulu yang menyatakan bahwa semua materi yang masuk lubang hitam akan terperangkap dan lenyap. Teori terbarunya menyatakan ada materi yang dapat lolos dari lubang hitam. Hal itu ditunjukkan dengan adanya apparent horizon atau batas antara cahaya yang keluar dan cahaya yang masuk ke dalam lubang hitam.
Stephen Hawking mengembangkan sebuah konsep yang disebut Radiasi Hawking, yaitu radiasi yang dilepaskan oleh lubang hitam akibat efek kuantum di dekat cakrawala peristiwa. Radiasi Hawking mengurangi massa dan energi lubang hitam sehingga lubang hitam kehilangan lebih banyak massa dari yang diterima. Dia akan mengecil dan pada akhirnya menghilang.
Stephen Hawking, Agama, dan Tuhan
Hawking adalah salah satu ilmuan yang sangat percaya bahwa semesta diatur oleh hukum alam. Berkali-kali dia menegaskan pernyataan itu. Hawking bahkan membantah bahwa kondisi disabilitas yang dialaminya merupakan perbuatan Tuhan. Baginya, selalu ada penjelasan atas setiap peristiwa yang terjadi. Pada bagian awal, Hawking berkata, “I prefer to think that everything can be explained another way, by the laws of nature. If you believe in science, like I do, you believe that there are certain laws that are always obeyed.”
Melalui kalimat ini, Hawking benar-benar meyakini bahwa sains selalu bisa menjelaskan segala sesuatu. Hukum-hukum sains selalu tetap dan tidak mungkin berubah atau dilanggar oleh eksistensi apapun. Dia kembali berkata, “If you like, you can say the laws are the work of God, but that is more a definition God than a proof of his exsistence.” Baginya, kita bisa saja menyebut hukum alam sebagai karya Tuhan. Tapi, itu lebih merupakan definisi Tuhan, daripada bukti akan keberadaan-Nya.
Menurut Hawking, ada perbedaan mendasar di antara agama yang didasarkan pada perintah dan sains yang didasarkan pada pengamatan. Dia menganggap bahwa sains lebih unggul karena selalu terbukti. Baginya, sebelum manusia mengenal sains, wajar saja mereka memercayai bahwa Tuhan telah menciptakan alam semesta. Namun, sains hadir dan memiliki penjelasan yang lebih meyakinkan. Sains dinilai lebih rasional dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Sebagai bukti bahwa Hawking sangat memercayai hukum alam, dia berkata, “I believe that discovery of these laws has been humankind’s greatest achievement, for it’s these laws of nature—as we know call them—that will tell us whether we need a god to explain the universe at all.” Penemuan atas hukum alam disebut sebagai pencapaian terbesar umat manusia, karena hukum alam inilah yang akan memberi tahu manusia, apakah mereka memerlukan Tuhan untuk menjelaskan alam semesta atau tidak. Sederhananya, Tuhan dianggap sudah tidak diperlukan lagi karena sains sudah mampu menjelaskan asal mula alam semesta. Hukum alam adalah gambaran tentang bagaimana segala sesuatu terjadi di masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.
Hawking dengan terang-terangan sangat enggan untuk menyebut kata “Tuhan”. Baginya, Tuhan adalah hukum alam itu sendiri. Tidak ada Tuhan yang menciptakan alam semesta. Yang ada hanyalah hukum alam yang membentuk alam semesta itu sendiri. Hawking meyakini bahwa alam semesta tercipta secara spontanitas dari ketiadaan (nothing), sesuai dengan hukum alam. Asumsi dasarnya adalah determinisme ilmiah. Hukum alam menentukan evolusi yang terjadi di alam semesta. Alam semesta yang tercipta dari ketiadaan tidak membutuhkan adanya pencipta yang disebut Tuhan. Menurut Hawking, alam semesta adalah makan siang yang tersaji secara cuma-cuma, “The universe is the ultimate free lunch.”
Dalam membangun argumentasinya, Hawking memberikan contoh sebagai berikut: Bayangkan sebuah sungai yang mengalir di lereng gunung. Pertanyaannya, apa yang menyebabkan sungai terbentuk? Jawabannya mungkin saja karena air hujan yang mengalir di lereng gunung itu. Lalu, apa yang membuat hujan bisa turun? Jawaban terbaiknya adalah karena sinar matahari membuat air laut menguap dan menghasilkan uap air yang terkumpul di dalam awan hingga akhirnya turun lagi menjadi hujan. Lantas, apa yang membuat matahari dapat bersinar? Kita dapat berkata bahwa matahari dapat bersinar karena reaksi fusi nuklir di mana atom hidrogen saling bertabrakan hingga menghasilkan atom helium dan akhirnya menghasilkan energi. Pertanyaan berikutnya, dari manakah hidrogen berasal? Jawabannya dari ledakan besar (Big Bang). Dan inilah bagian paling krusial menurut Hawking. Menurutnya, hukum alam memberi tahu kita bahwa alam semesta bukan saja bisa muncul tanpa bantuan dan energi apa pun, tetapi mungkin saja tidak ada yang menyebabkan big bang terjadi.
Hawking meyakini bahwa tidak ada yang disebut waktu sebelum peristiwa Big Bang terjadi. Oleh karena itu, tidak mungkin ada sesuatu yang menyebabkan peristiwa Big Bang terjadi sementara sebelum Big Bang tidak ada waktu yang memungkinkan bagi sebuah penyebab untuk ada. Secara tegas, Hawking berkata, “For me, this means that there is no possibility of creator, because there is no time for a creator to have existed in.” Sebuah ungkapan yang sangat lugas dan terang tentang keyakinan Hawking bahwa ketiadaan waktu sebelum peristiwa Big Bang memberikan konsekuensi bahwa tidak mungkin Tuhan itu ada.
Stephen Hawking dan Filsafat
Pada Google Zeitgeist Conference 2011, Hawking pernah berkata, “Filsafat telah mati.” Dia percaya bahwa para filsuf belum sanggup mengejar perkembangan sains modern. Ilmuan dianggap sebagai sosok terdepan dalam transmisi ilmu pengetahuan manusia. Baginya, masalah filsafat dapat dijawab oleh sains, terutama teori-teori ilmiah baru yang memberikan gambaran tentang alam semesta.
Pada September 2014, Hawking hadir di Starmus Festival. Dalam wawancara bersama El Mundo, dia berkomentar, “Sebelum kita paham ilmu pengetahuan, wajar saja kita percaya bahwa Tuhan menciptakan alam semesta. Namun, sains kini memiliki penjelasan yang jauh lebih meyakinkan. Ketika saya mengatakan, ‘Kita akan mengetahui isi pikiran Tuhan’, maksud saya adalah kita akan tahu semua hal yang diketahui Tuhan. Itu pun seandainya Tuhan itu ada. Dan kenyataannya Tuhan itu tidak ada.”
Jika dicermati lebih mendalam, di sinilah letak kekeliruan Hawking. Dia justru mengabaikan filsafat dan mendewakan sains sebagai sebuah pengetahuan yang dapat memberikan segala penjelasan. Kita tahu bahwa objek kajian sains hanyalah alam fisik. Sementara, sains tidak menjangkau ranah metafisik. Dalam hal ini, Tuhan adalah objek metafisik yang pembuktiannya tidak bisa mengacu pada kajian tentang fisik. Oleh karenanya, ini adalah kekeliran mendasar yang akhirnya menghasilkan konklusi yang keliru pula.
Karena objek kajiannya hanya terbatas pada alam fisik, maka konsekuensinya sains tidak punya wewenang untuk menentukan ada atau tidak adanya objek yang bersifat metafisik. Saat sains tidak mengakui adanya roh, hal ini harus kita terima sebagai sesuatu yang wajar. Sebab, sains tidak punya otoritas untuk menentukan ada atau tidaknya roh. Dan ketika agama membahas tentang roh dan Tuhan, kita tidak bisa menyatakan bahwa pandangan agama bertolak belakang dengan sains. Sebab, agama memang memiliki objek kajian yang berbeda. Agama tidak hanya membahas alam fisik, tetapi juga menyinggung soal wujud-wujud metafisik. Untuk membuktikan keberadaan Tuhan, filsafat logikalah yang berperan besar. Dengan penalaran yang logis, keberadaan Tuhan dapat dibuktikan.
Muhammad Nuruddin dalam bukunya, Logical Fallacy, memberikan analogi sebagai berikut: ketika kita memasak mie instan di dapur, kita bisa melihat air, api, kompor, mie, dan wadah untuk memasak. Ketika mie merekah, nalar kita akan berkata bahwa merekahnya lempengan mie itu disebabkan oleh air yang mendidih. Dan, mendidihnya air itu sendiri disebabkan oleh panasnya api. Dengan kata lain, air panas menjadi sebab dan merekahnya mie menjadi akibat. Api menjadi sebab bagi mendidihnya air dan panasnya air menjadi akibat dari panasnya api. Kita dapat menyaksikan rangkaian sebab-akibat dari kejadian itu. Pertanyaan terbesarnya, di mana keberadaan sebab dan akibat itu?
Sebab dan akibat (kausalitas) tidak dapat dibuktikan secara empirik. Keduanya bukanlah wujud fisik dan tidak bisa dibuktikan melalui alam inderawi. Di alam fisik, kita tidak dapat menyaksikan keberadaan sebab dan akibat. Yang kita saksikan hanyalah api, air, kompor, mie, dan wadah. Namun, yang disebut sebab dan akibat itu adalah sebuah konsep universal yang ditarik oleh nalar berdasarkan adanya dampak yang diberikan oleh sesuatu kepada sesuatu yang lain. Kita meyakininya, meskipun ia sendiri tidak bisa dibuktikan secara inderawi.
Lebih lanjut, keyakinan para fisikawan, utamanya yang tidak mengakui keberadaan Tuhan seringkali tidak konsisten. Di satu sisi, mereka menafikan Tuhan karena tidak bisa dibuktikan secara empirik, tapi di sisi lain mereka meyakini waktu sebagai sesuatu yang ada. Padahal, jika ditanyakan lebih lanjut, waktu itu objek fisik atau metafisik? Mereka tentu akan menyatakan bahwa waktu merupakan objek metafisik. Pertanyaan berikutnya, apakah jauh lebih mudah meyakini adanya waktu daripada keberadaan Tuhan sementara keduanya sama-sama metafisik?
Pada hakikatnya, pembahasan tentang waktu harusnya diserahkan kepada ilmu metafisika. Metafisika sendiri merupakan cabang penting dalam filsafat. Oleh karena itu, penjelasan tentang waktu harusnya diserahkan kepada filsafat, bukan kepada ilmu fisika. Meskipun ilmu fisika boleh-boleh saja mengajukan penjelasan tentang istilah itu.
Konsep-konsep seperti ruang, waktu, sebab-akibat, substansi, aksiden, dan berbagai konsep universal lainnya itu jelas ada. Namun, apakah keberadaaan mereka bisa dibuktikan secara inderawi? Apakah bisa dibuktikan secara empirik? Tentu saja tidak. Ini hanyalah sebagian contoh kecil yang membuktikan bahwa yang ada itu tidak hanya objek fisik saja, tetapi terdapat pula objek metafisik. Untuk membuktikan keberadaannya, kita bisa menggunakan penalaran rasional (logika).
Berikutnya, berkaitan dengan alam semesta, dia bisa ada, bisa juga tiada. Bagi alam semesta, keadaan dan ketiadaan bersifat setara. Ia tidak bisa menjadi ada karena dirinya sendiri. Bagaimana bisa? Sebab, faktanya ia bisa menerima ketiadaan. Alam semesta ini dimungkinkan untuk tiada. Sesuatu yang tadinya bisa ada bisa tiada, kemudian menjadi ada, pastilah keberadaannya bergantung pada suatu sebab. Lantas, apakah sesuatu yang menjadi sebab bagi alam semesta itu wujud yang bersifat fisik? Tentu saja bukan. Karena, jika ia adalah objek fisik, sama saja kita mengatakan bahwa yang menjadi sebab bagi keberadaan alam semesta itu adalah alam semesta itu sendiri. Tentu saja ini mustahil karena sesuatu tidak mungkin menjadi sebab bagi dirinya sendiri.
Yang menjadi sebab bagi adanya alam semesta pastilah wujud metafisik. Wujud metafisik tentu saja ada. Jika tidak ada, tidak mungkin ia bisa menjadi sebab. Panca indera kita memang tidak bisa membuktikan wujud metafisik itu, tetapi akal kita bisa. Satu hal yang perlu dicatat adalah, yang menjadi sebab bagi alam semesta bukan hanya ide karangan manusia saja, tetapi ia merupakan entitas yang terpisah dari nalar manusia. Ia ada dan berbeda dengan alam semesta. Jika berbeda, tentu ia bukanlah sesuatu yang bersifat fisik. Dialah yang disebut Tuhan. Oleh karena itu, keberadaan Tuhan dapat dibuktikan melalui argumen rasional meskipun ia bukan wujud yang bersifat fisik. Dialah yang menjadi sebab utama di balik munculnya alam semesta.
*****
Editor: Moch Aldy MA
Dijelaskan dalam agama Islam bahwa alam semesta berasa.dari zat yang DINAMAKAN HAWA NAFSU
HAWA NAFSU bersifat ketuhanan tekanan
seperti baja yang mendapatkan radiasi magnetik dari sebuah Magnit sehingga bersifat magnetik
Ilustrasi tentang Mahapencipta diuraikan dengan permitsalan QS AN NUR-35
ZAT ALLAH.dalam ruang yang tak dapat ditembus cahaya didalam suatu ruang kaca
Anggaplah ruang tak tembus cahaya lingkaran terluar dan kaca lingkaran yang kedua dan Pelita adalah ZAT ALLAH
yang bersinar menembak lingkaran HAWA NAFSU yang kepadatannya massif,l pecah kesgala arah
Akibat tembakan Nur Allah zat hawa nafsu menjadi black hole tersebar kesegala arah cikal bakal galaksi yang tak terhingga banyaknya
Lingkaran HAWA NAFSU setelah. Pecah kesegala arah peristiwa yang sebab akibatnya dapat diuraikan oleh SAINS
Lingkaran HAWA NAFDU senantiasa DICIPTSKAN sebagai hijab agar alam semesta tidak terurai oleh tembakan NUR ALLAH dan cikal bakal black hole tersebar kesegala arah yang membuat SINGULARITAD