Menurut Direktur Pelaksana International Monetary Fund (IMF), Kristalina Georgieva, kerugian ekonomi dunia akibat bencana krisis iklim menembus angka US$100 miliar atau Rp1.532 triliun per tahun. Sementara untuk kawasan Asia Tenggara, menurut ESG Specialist East Ventures, Aghnia Dima Rochmawati, pada tahun 2021 saja, kerugian ekonomi akibat bencana krisis iklim telah menembus angka US$35,6 miliar. Kemudian, Bappenas menaksir kerugian ekonomi akibat krisis iklim yang ditanggung oleh Indonesia bisa mencapai Rp544 triliun dalam kurun waktu 2020-2024.
Meskipun bencana krisis iklim beserta kerugian ekonominya telah menjadi keniscayaan, para elit politik di dunia masih tampak belum serius mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) yang menjadi penyebabnya. Elit-elit dunia dari negara industri maju yang rakus terhadap energi fosil memang selalu membicarakan krisis iklim di forum-forum internasional. Di depan kamera jurnalis internasional, mereka berkhotbah soal pentingnya mengakhiri penggunaan energi fosil dan segera berpindah ke energi terbarukan. Namun, jika ditelusuri, khotbah mereka akan berujung pada kesepakatan dagang dan jebakan utang untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia melalui mekanisme JETP yang diluncurkan di KTT G20 tahun 2022 silam.
Ketidakseriusan elit politik dari negara-negara industri maju itu berbanding lurus dengan akumulasi laba dari industri-industri fosil penyebab krisis iklim. Laba industri fosil terus meningkat meskipun krisis iklim makin cepat menghampiri penduduk bumi. Kondisi ini membangkitkan aksi iklim kolektif masyarakat sipil global. Pada 29 Oktober hingga 4 November, masyarakat sipil di berbagai penjuru dunia berencana turun ke jalan raya guna mendesak para elit politik untuk segera membuat kebijakan yang mempercepat penggunaan energi terbarukan dan menghentikan energi fosil kotor. Gerakan aksi iklim kolektif masyarakat sipil dunia itu diberi nama Power Up.
Pertanyaannya adalah apakah aksi iklim kolektif Power Up itu relevan dilakukan di Indonesia?
Baca juga:
Di Indonesia, skema pembiayaan transisi energi JETP berjalan mundur. Sekretariat JETP menunda peluncuran rencana investasinya hingga akhir tahun 2023. Artinya, upaya pensiun dini pembangkit listrik batu bara dan pengembangan energi terbarukan akan ikut tertunda.
Di tengah kesulitan pembiayaan transisi energi tersebut, bank-bank milik negara terus mengucurkan uangnya untuk membiayai industri batu bara. Bank-bank BUMN seperti Mandiri, BNI, dan BRI yang selalu mengklaim diri sebagai green banking di berbagai kesempatan nyatanya tetap menyalurkan dana yang diperoleh dari nasabahnya ke pembiayaan kotor batu bara.
Elit-elit politik di Indonesia pun begitu cuek dengan krisis iklim, apalagi transisi energi. Hasil penelitian Yayasan Indonesia Cerah mengungkap bahwa sebagian besar partai politik, khususnya partai yang lolos ambang batas Pemilu 2019 hingga 2023, belum menempatkan isu perubahan iklim dan transisi energi dalam perangkat partainya.
Padalah, di Indonesia, perusahaan energi fosil meraup laba dengan menghancurkan sumber-sumber kehidupan masyarakat sekitar. Luapan lumpur di Sidoarjo adalah salah satu sejarah kelam industri energi fosil kita. Belum lagi, kerusakan alam akibat tambang dan pembangkit listrik batu bara yang masih terus terjadi di berbagai penjuru Indonesia.
Sama seperti pola di negara-negara lain, ketidakpedulian elit politik di Indonesia terhadap krisis iklim berbanding lurus dengan meningkatnya laba industri fosil. Gerakan Power Up di Indonesia harus diarahkan untuk mendesak elit-elit politik agar lebih serius mengatasi krisis iklim dan transisi energi.
Pentingnya gerakan Power Up di Indonesia menjadi kian relevan menjelang Pemilu 2024. Bukan tidak mungkin para cukong di industri fosil membiayai kampanye para elit politik yang ikut di Pemilu 2024 nanti. Gerakan Power Up dalam konteks Indonesia ini harus memastikan uang di industri energi fosil tidak mengotori pesta demokrasi negeri ini.
Jika para pemilik modal di industri fosil dibiarkan mengotori proses demokrasi Indonesia, maka para elit politik yang dihasilkan hampir dapat dipastikan akan tetap cuek terhadap isu krisis iklim dan transisi energi. Jika itu terjadi, transisi energi di Indonesia akan tetap menemui jalan buntu.
Sebaliknya, jika gerakan Power Up Indonesia mampu membongkar jalan buntu transisi energi, hampir dapat dipastikan gerakan ini akan menjadi antitesis koalisi parpol-oligarki energi kotor. Sudah cukup koalisi-koalisi itu hanya berbicara tentang kepentingan mereka sendiri dan mengabaikan keselamatan warga yang makin rentan menjadi korban bencana krisis iklim.
Sayangnya, politik dinasti yang makin tak tahu malu menjelang Pilpres 2024 semakin mengindikasikan bahwa para elit-elit politik hanya memikirkan kepentingan mereka sendiri, bukan kepentingan kita sebagai pembayar pająk. Menghadapi situasi ini, aksi Power Up dapat sekaligus menjadi pengungkit gerakan sosial yang lebih besar di Indonesia, yang bukan hanya melawan politik dinasti, tapi juga politik yang berbasis pendanaan dari para bohir di industri fosil.
Editor: Emma Amelia