Fisikawan Partikelir. Bergiat di Lingkar Diskusi Eksakta. Penulis Buku Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022) dan Bersandar pada Sains (2022).

Jacob Oetama dan Manusia Pasca Indonesia

Joko Priyono

2 min read

Peringatan dua tahun berpulangnya Pak Jacob Oetama jatuh pada bulan September lalu. Mengenang tokoh besar seperti beliau tak cukup sebatas hitungan waktu yang terus berjalan, tapi juga perlunya memberi makna dan tafsir akan keberadaan mereka sesuai dengan konteks zaman. Mendiang Pak Jacob mengingatkan kita akan segudang warisan intelektual, kiprah jurnalistik, hingga petuah beliau untuk masa depan Indonesia.

Baca juga:

Salah satu warisan terpenting beliau ditorehkan pada tahun 1989, yakni Kompas. Peringatan 25 tahun Kompas diisi dengan sarasehan yang bertajuk Menuju Masyarakat Indonesia Baru. Dua bulan sebelum puncak acara, Kompas menyelenggarakan rangkaian acara peringatan hari ulang tahun yang mempertemukan sederet nama intelektual sekaligus cendekiawan penting.

Sarasehan itu mengacu pada catatan St. Sularto dalam buku Syukur Tiada Akhir: Jejak Langkah Jocob Oetama (2011). Catatan itu memuat tiga ciri manusia baru Indonesia, yakni sadar ilmu pengetahuan dan teknologi, kreatif, dan solidaritas-etis.

Jika mengacu pada perubahan paradigma ilmu pengetahuan, ketiga ciri itu masih berkaitan dengan transdisiplin ilmu pengetahuan. Yang dimaksud dengan transdisiplin ilmu pengetahuan adalah situasi ketika tiap manusia mampu merefleksikan diri dalam berbagai dimensi keilmuan untuk saling mengerti antara satu dengan lainnya. Kesemuanya saling mengindahkan dan berbagi peran.

Komitmen Kompas membangun wacana ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi salah satu ciri khas tersendiri. Di salah satu esai yang terbit dalam bunga rampai berjudul Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi (2011), kosmolog dan ahli filsafat Karlina Supelli menulis, “Kompas sebetulnya merupakan surat kabar yang paling permulaan ketika tahun 1970-an mengawali peliputan lingkungan. Perkembangan rubrik ilmu pengetahuan dan teknologi pada awal tahun 1980-an, sehingga menjangkau juga ilmu-ilmu dasar, dan diperluas lagi hingga mencakup kesehatan dan lingkungan yang lebih rinci, memang menggembirakan.” Bunga rampai ini diterbitkan untuk merayakan 70 tahun Jacob Oetama.

Kecerdasan dan Pencerahan

Secara terkhusus, Kompas giat menyuguhkan artikel dengan topik seputar sains dan teknologi dengan gaya penulisan populer. Tujuannya sudah barang tentu untuk mendorong kesadaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada diri masyarakat Indonesia sehingga terbentuk masyarakat Indonesia baru tadi. Dalam pandangan Pak Jacob, dimensi yang lebih luas dari kecerdasan logika matematika itu juga mesti dijangkau oleh para awak media. 

Gardner pernah mengusulkan eksistensial dan kecerdasan moral sebagai syarat terbentuknya masyarakat baru yang melek ilmu, Pak Jacob lantas memperluas cakupan luarannya, yakni masyarakat yang tak sekadar cerdas, tetapi tercerahkan (enlightened).

Namun, menggembleng kualitas dan kapasitas sumber daya manusia tak bisa sebatas gagasan semata. Lebih dari itu, perlu kebijakan dan dukungan pemerintah, antusiasme kelompok intelektual, serta publik yang berkesadaran bahwa kemajuan Indonesia perlu terus dipikirkan dan direnungkan.

Apa yang digagas Pak Jacob relevan dengan kehidupan zaman ini ketika ilmu pengetahuan menjadi pusat segalanya (logosentris). Hal yang perlu dipikirkan adalah bagaimana ilmu pengetahuan bisa terus melahirkan dampak etis terhadap martabat manusia, keseimbangan lingkungan hidup, dan kemauan untuk membuka tabir dalam keluasan samudra kehidupan.

Tulisan lain oleh Joko Priyono:

Peran dan Tanggung Jawab

Karlina Supelli pernah memberikan penafsiran atas warga negara dan keterkaitannya dengan pendidikan. Baginya, proses dalam pendidikan harus menjalankan implikasi etis dari ilmu. Pendidikan, yang ditarik dari implikasi objektif sains dan etis, praktis, serta terapan dari sains, mesti menjadikan siswa maupun mahasiswa menyadari dirinya adalah warga negara. Sebagai warga negara, mereka perlu untuk mengakui keberadaan hal-hal yang di luar diri mereka, tak sebatas pada kebenaran yang ada dalam kelompok asal para pembelajar.

Untuk itu, pentingnya pengomunikasian ilmu-ilmu secara terintegrasi tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pelajaran Kewarganegaraan tak terlepas dari pelajaran Fisika, Matematika, Biologi, Sastra, dan sebagainya. Harapannya, sains dan teknologi tak akan lagi menjadi tempelan slogan klise dalam pidato para pembuat kebijakan.

Manusia pasca Indonesia merujuk pada kesadaran penuh akan peran dan tanggung jawab dalam mengarungi perkembangan zaman. Ia setia terhadap kesadaran bernalar, terbiasa berpikir ilmiah, dan bertindak masuk akal, tanpa mengesampingkan prinsip kemanusiaan dan keadilan dalam kehidupan berbangsa.

Gejolak percepatan teknologi digital mendorong masyarakat untuk menaruh kepercayaan terhadap visi humanisme. Kita mesti setia, bijak, dan rendah hati dalam kesunyian panjang kehidupan ketika dihadapkan dengan tantangan berupa ruang-ruang virtual yang penuh dengan kesesakan dan kegugupan

 

Editor: Emma Amelia

Joko Priyono
Joko Priyono Fisikawan Partikelir. Bergiat di Lingkar Diskusi Eksakta. Penulis Buku Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022) dan Bersandar pada Sains (2022).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email