Seorang penulis lepas, penikmat karya sastra dan film pendek. Tulisannya berfokus pada isu kemanusiaan, kesetaraan gender, dan lingkungan.

Untuk Apa Aku Menulis Puisi? dan Puisi Lainnya

Eka Nawa Dwi Sapta

2 min read

Untuk Apa Aku Menulis Puisi?

apa yang dapat aku tulis malam ini?
puisiku tak menghilangkan kerut di kening ibu
tak mampu meringankan batu di bahu bapak
padahal ingin kugambarkan keindahan dunia
dengan kata-kata,
namun dunia sudah lama kehilangan keindahan,
segala yang kutemukan
membuat mataku berlinang basah

untuk apa aku menulis puisi malam ini?
siapa yang mau mendengar sedihku
sementara sedih mereka sendiri
lama membusuk,
dan mereka abaikan saja teronggok di situ
aku tak mau membiarkan bangkai ini
terendus hidung siapa pun
akan aku enyahkan derita
dengan mulutku sendiri.

(03 Maret 2022)

Besok

Besok, aku tak tahu
ada di mana kita berdiri,
karena hidup adalah mimpi
sulit diterka, mudah dijalani

Jika aku menemukanmu,
kau menemukanku,
masih adakah kata-kata
yang kita sisakan,
untuk pembicaraan
yang sempat tertunda kemarin

dan, bila kau temukanku,
aku tak menyadarimu,
sudikah kau berikan kata-kata
terakhir,
mungkin aku masih mendengarnya,
atau tak lagi

(13 Juli 2022)

Ibu dan Hape

Ibuku tak kenal hape
kalau ia bosan ia tak buka medsos
tapi lari ke dapur
mencuci, mencuci, sambil menyanyi.

Ibuku tak kenal hape
jika ia sedih ia tak dengar spotify
tapi akan pindah ke kamar
menjahit, merentang, mengenang
masa muda yang menyapanya
dari foto-foto buram.

Dulu waktu VCD masih hidup
akan ia putar nasida ria sepanjang pagi dan sore
menyanyi semangat perdamaian sambil menyapu ruang tamu,
sementara di negeri kami sendiri sedang kasak-kusuk.

Ibuku tak kenal hape
kalau dia marah, dia tak buat status di fb
tapi ia mengomel, mengomel, dan mengomel
pada hari-harinya yang buruk.

Ibuku tak kenal hape
kalau dia belum mengantuk
ia nyalakan televisi
mendumel pada sinetron
yang keterlaluan jahatnya.

Ibuku tak kenal hape
sebab itu aku melarikan diri ke sana.

(April 2022)

Lampu-Lampu

aku takjub,
pada lampu-lampu yang menyala
terang di kepalamu,
dan di kepala mereka itu,
sungguh menyilaukan mataku,
setiap kali kau berucap—dan mereka bertepuk, berdecak, bersorai
maka makin benderang, makin cemerlang,
lampu-lampu itu
seperti pijar ilahi
yang menyorotiku sedang berlari
tak mau lagi menatap kau—nyaman nian aku, berkubang di dalam kegelapan ini

dan ia bukan nestapa,
kegelapan adalah saudaraku—bila kau mau tahu,
tak pernah sesulit itu aku hidup berakur
dan berbaur dengannya,
dia, melihatku sebagai manusia,
tapi sebagai harga, telah aku lepas lampu-lampu di kepala ini,
tak bersisa, sehingga lupa
bahwa aku pernah lahir
dengan bohlam-bohlam berat,
menyengsarakan sepertimu, seperti mereka

lihat, kau meragukanku,
sebab apa, katamu,
manusia membongkar lampu di kepalanya,
itu mustahil,
ada seonggok daging tanpa lampu,
pastilah aku datang dari awang-awang jauh,
atau anak kegelapan yang mengembara
ke alam manusia

ai, lampu-lampu yang kau punya,
bisa kupecahkan hari ini—bila kau mau tahu,
tapi biar, biar akan tunjukkan padamu,
suatu hari, kau bakal kehabisan cahaya sendiri,
dan kau tak sudi, melepas lampu-lampu lemah,
yang bertahun-tahun
bertengger di atasmu

kegelapan kau kutuk—saudaraku yang kau rutuk,
ia akan memberimu rumah,
namun kau sesak berkurung di dalamnya,
makan di dalamnya,
tidur di dalamnya,
apakah tidur atau bangun,
semua ini sama!
kebakaan ini menakutimu,
pikir kau damai adalah tumpukan lampu-lampu setinggi gunung,
pikir kau damai adalah terang tak berhingga

lagi, kau tanyakan, sebab apa,
aku lepas lebih awal lampu-lampuku?
aku tak punyai jawabannya,
kecuali satu alasan,
aku tak butuh lampu-lampu
untuk melihat diriku,
dan aku tak tak mau
memusuhi kegelapan,
sebab ibuku dari ketiadaan

(17 Juli 2022)

Mengunjungi Rumah Nenek

Dinding pagar berlumut,
Teras sunyi,
Lama debu-debu merebak,
mereka belum kau sapu,
Dan tiang-tiang pagar ini berkarat
sementara pintu terkatup melapuk digerayangi rayap

Bagaimana jika setelah kau berucap salam seseorang membukakan pintu dari dalam?
Lalu kau mencium tangannya, haru pada pertemuan pertama setelah sekian lama perjumpaan yang tertunda

Bagaimana jika ia memelukmu erat dan bertanya kabarmu hari? Lalu kau bercerita mengenai kesusahan-kesusahanmu?

Tapi,
Teras ini membisu,
Tembok ini memucat,
Sejak sang penghuni memutuskan pergi dan tak mungkin pulang kembali.

(18 September 2022)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Eka Nawa Dwi Sapta
Eka Nawa Dwi Sapta Seorang penulis lepas, penikmat karya sastra dan film pendek. Tulisannya berfokus pada isu kemanusiaan, kesetaraan gender, dan lingkungan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email