Pada awal bulan Maret ini, ada dua momen peringatan penting bagi kemanusiaan, yaitu Hari Perempuan Sedunia yang diperingati tanggal 8 Maret dan sebelumnya, peringatan Hari Perlawanan Terhadap Eksploitasi Seksual Sedunia tanggal 4 Maret. Keduanya menyampaikan pesan penting untuk mengingatkan dan mengajak seluruh masyarakat global untuk memaknai kesetaraan gender dan bersatu menolak berbagai bentuk kekerasan maupun eksploitasi seksual yang sebagian besar terjadi pada perempuan.
Hari ini bukan sekadar seremonial, melainkan sebuah upaya untuk mengungkap akar permasalahan yang telah lama mencengkeram kehidupan banyak individu, khususnya perempuan. Hari untuk menata ulang struktur kekuasaan yang selama ini mengeksploitasi hampir seluruh aspek kehidupan, mulai dari politik, ekonomi hingga religiositas dan bahkan seksualitas, baik secara riil maupun simbolik.
Sejarah Perlawanan
Sejarah perlawanan terhadap eksploitasi seksual bermula dari gerakan-gerakan feminis pada akhir abad ke-20 yang mulai mengungkap betapa sistem patriarki dan struktur sosial-ekonomi seringkali memfasilitasi praktik-praktik eksploitasi terhadap tubuh perempuan.
Baca juga:
Gerakan Pembebasan Wanita (Women’s Liberation Movement) yang muncul pada akhir 1960-an hingga 1970-an dengan tokoh-tokohnya seperti Betty Friedan dan Gloria Steinem menjadi pionir dalam mengkritisi norma-norma patriarki yang mengobjektifikasi tubuh perempuan. Selain itu, ada juga Andrea Dworkin dan Catharine MacKinnon, kelompok Women Against Pornography yang menantang praktik eksploitasi seksual industri pornografi, serta The Combahee River Collective (1974), yang mengedepankan perspektif interseksionalitas dengan menyoroti hubungan antara ras, kelas, dan gender dalam praktik eksploitasi.
Mereka semua menyoroti eksploitasi seksual bukanlah fenomena baru, melainkan hasil dari sistem yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat dan objek komodifikasi. Peringatan ini muncul sebagai respons atas berbagai kekejaman dan konten yang terjadi secara sistematis, di mana perempuan dan kelompok minoritas seksual seringkali menjadi korban perdagangan manusia, mengungkapkan seksual di tempat kerja, serta eksploitasi dalam media dan industri hiburan. Seiring berjalannya waktu, momentum ini menjadi panggilan untuk merombak tatanan yang telah mengokohkan hierarki kekuasaan berdasarkan gender, dan mengembalikan martabat serta hak asasi setiap manusia.
Kondisi saat ini, data menunjukkan bahwa eksploitasi seksual masih menjadi masalah yang sangat serius di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Menurut laporan dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), perdagangan manusia untuk tujuan seksual masih mencapai jutaan kasus setiap tahunnya.
Di Indonesia, praktik pelecehan seksual di ruang publik dan di lingkungan kerja, serta fenomena revenge porn dan kekerasan seksual yang berani semakin marak seiring dengan penetrasi internet dan media sosial. Survei Komnas Perempuan pada tahun 2014 mencatat bahwa sekitar 64% perempuan (dan jumlah terus bertambah hingga kini) pernah mengalami intimidasi/pelecehan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Data ini mengungkapkan bahwa meskipun sudah ada upaya hukum dan kebijakan, eksploitasi seksual tetap terjadi dan meninggalkan luka mendalam bagi para korban.
Seksualitas = Kekuasaan
Dari perspektif feminisme, eksploitasi seksual dipandang sebagai wujud nyata dari ketidaksetaraan gender yang melekat dalam sistem patriarki. Para feminis menekankan bahwa tubuh perempuan sering dijadikan objek komersialisasi dan alat untuk mempertahankan kekuasaan. Dalam pandangan ini, tindakan kekerasan seksual bukan sekadar tindakan kriminal, melainkan juga upaya untuk menegaskan dominasi dan kontrol atas perempuan.
Michel Foucault (1996) menyatakan bahwa wacana seksualitas tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan. Seksualitas merupakan konstruksi sosial, politik, dan budaya yang sarat dengan strategi kekuasaan, di mana perempuan sering didehumanisasi dan diposisikan sebagai objek dekoratif, mengabaikan dimensi etis dan psikologisnya.
Baca juga:
Hasilnya, menurut Foucault, berupa praktik eksploitasi yang merupakan hasil dari hubungan kekuasaan yang tidak seimbang, di mana kekuatan ekonomi, politik, dan budaya digunakan untuk memanipulasi dan mengendalikan tubuh serta kehidupan perempuan. Oleh karena itu, penolakan terhadap eksploitasi seksual harus dilihat sebagai bagian integral dari perjuangan untuk keadilan sosial dan pengampunan dari struktur-struktur patriarkal yang menindas.
Di saat ini, praktik eksploitasi seksual itu tidak hanya terjadi di ranah fisik, tetapi juga melalui media dan teknologi. Era digital telah membuka celah baru bagi pelaku untuk melakukan eksploitasi, misalnya melalui penyebaran konten pornografi paksa atau cyber harassment. Tantangan ini menuntut upaya yang komprehensif dan lintas sektoral, mulai dari peningkatan kesadaran masyarakat hingga reformasi kebijakan yang mendukung perlindungan korban dan pemberantasan pelaku.
Respons Konkret
Situasi ini menuntut respons komprehensif dan lintas sektoral dengan langkah konkret. Yang utama, regulasi dan penegakan hukum perlu diperketat terhadap berbagai bentuk ekspolitasi seksual tanpa pandang bulu. Yang mendasar, pendidikan gender harus dimasukkan sejak dini ke dalam kurikulum formal agar nilai-nilai kesetaraan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia tertanam sejak usia muda. Selanjutnya, dukungan bagi korban harus diperkuat melalui layanan kesehatan, psikologis, dan bantuan hukum yang mudah diakses. Peran lembaga swadaya masyarakat juga penting dalam mengadvokasi hak korban serta menyediakan ruang pemulihan dan keadilan.
Lebih jauh, perlu adanya kampanye kesadaran masyarakat yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk media, tokoh agama, dan komunitas lokal. Kampanye tersebut harus mampu mengungkap kenyataan pahit di balik statistik dan memberikan suara kepada mereka selama ini termarjinalkan. Semua demi perubahan paradigma sosial agar masyarakat tidak lagi memandang perempuan sebagai objek, melainkan sebagai subjek yang memiliki hak dan martabat yang sama.
Dua momen peringatan di awal bulan Maret bukan hanya seruan untuk mengenang, tetapi merupakan seruan untuk aksi nyata. Melalui kesadaran kolektif dan upaya bersama, berakhir setiap lapisan masyarakat dapat turut serta melawan praktik-praktik eksploitasi yang terus menggerogoti nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam menghadapi era globalisasi dan digitalisasi yang semakin kompleks, semangat perlawanan terhadap eksploitasi seksual harus tetap hidup sebagai komitmen bersama untuk melindungi martabat dan hak asasi manusia. Harapan akan terciptanya tatanan sosial yang lebih adil dan inklusif bergantung pada keberanian kita untuk terus menentang kekuatan-kekuatan yang mencoba mengeksploitasi yang lemah dan termarjinalkan. (*)
Editor: Kukuh Basuki