Penulis Lepas dan Arsiparis yang Tinggal di Kota Surakarta

Saat Kafka Mengingatkan Kita tentang Keterasingan

M. Ghaniey Al Rasyid

2 min read

Kita sering menggunakan kata “asing” untuk menjabarkan sesuatu yang jarang dicermati oleh indrawi. Kita merasa aneh dan tertegun kala memastikan diri bahwa kita tak diselimuti keterasingan.

Roda hidup terus berputar. Segala bentuk laku manusia pun mengalami perubahan secara simultan. Modernitas muncul ibarat pahlawan yang membimbing manusia agar hidup sesuai dengan kiwari. Munculnya kritik modernitas mengguncang status kepastian yang ditawarkan oleh modernitas. Hingga akhirnya membuat manusia menemukan sebab musabab keterasingan.

Hiruk-pikuk kehidupan kota sesekali memberikan pantikan pada diri kita untuk merenungi setapak demi setapak giat yang telah kita lakukan. Tanpa sadar, keluh peluh terujar tanpa henti saat kita memaknai hidup ini sepenuhnya.

Angst. Begitulah Martin Heidegger mengistilahkan ketakutan dan keresahan. Keresehan laku hidup manusia yang saban hari ditekan dan dieksploitasi. Termenung sambil menggigit jari, Heidegger menjelenterehkan sebab musabab angst. Majalah Basis No. 01-02 Tahun ke-59, 2010, oleh Sindhunata berjudul Vertigo Modernitas, memabahas tabir modernitas yang masih menarik untuk kita refleksikan.

Gregor Samsa dalam Metamorfosis

Gregor Samsa dalam cerita pendek gubahan Franz Kafka berjudul Metamorfosis, memberikan gambaran pilu seorang pemuda berbadan kurus yang tinggal di apartemen lusuh dalam menghadapi kejamnya realitas. Kenyataan hidup memaksanya menembus batas kemampuan.

Metamorfosis gubahan Kafka bisa dibilang kontemplatif tiada dua mengenai modernitas. Kafka mengobrak-abrik pemikiran kita mengenai kebisuan terkonstruk akibat modernitas. Kafka menggambarkan seorang Samsa sebagai kecoak. Kecoak yang frustasi tertindas dan terasing oleh realitas modern.

Samsa ialah pedagang keliling. Ia selalu terasing ketika melakoni kronik hidup tanpa ujung karena rasa bimbang atas masa depan.  Pada (Hal. 138) Samsa bergumam, “O Tuhan, pekerjaan yang sangat melelahkan yang pernah kupilih selalu bergerak siang dan malam. Kecemasan bisnisnya jauh lebih buruk daripada melakukan bisnisnya, jauh lebih buruk daripada melakukan bisnis kantor di rumah dan di atas muaknya itu aku terbebani dengan ketegangan semua perjalanan ini, cemas akan jadwal kereta api, makan yang tidak enak dan tidak teratur, pertemuan dengan wajah-wajah yang selalu berubah yang tak mungkin adanya persahabatan abadi dan hangat. Setan Boleh mengambil semua itu.”

Batin Samsa bergejolak. Samsa mengalami angst. Bagi Kiekergard, angst adalah keadaan roh yang tak pernah tenang dan selalu gelisah, serta teromabang-ambing di antara badan, jiwa, dan batinnya. Bagi seorang utilitarian ulung, kondisi demikian timbul karena Samsa terlalu lembek.

Nampaknya kita perlu juga mengulas konsep pemikiran eksistensialis yang menguliti tawaran modernitas semu terhadap batin. Batin sering kali dinomorduakan. Realitas modern memaksa setiap insan menyusuri kepedihan untuk melompat lebih jauh melalui teknologi.

Nahas, lompatan mereka terhambat. Manusia modern mengalami kebimbangan ketika percepatan membuat batin mereka semakin tersiksa. Tersiksa menjadi pesakitan. Mati di tengah ambisi kiwari yang menghanguskan batin.

Baca juga:

Samsa menjadi pesakitan karena batinnya terus dipacu untuk memenuhi libido realitas modern. Seseorang berpakaian rapi menemui Samsa karena ia tak muncul presensi kepada bos perusahaan. Bos perusahaan dan kroninya tak mau mendengar maupun melihat Samsa yang hampir mampus menjadi pesakitan akibat menjadi kaki tangan modernitas. Mati bukan solusi, Ibu dan Ayah perlu dibekali. Lengan bos menyuruhnya menemui dokter untuk meminum jamu kuat agar bisa menjadi pesakitan kembali tiada henti. Masygul, Samsa yang termenung.

Masyarakat Modern dan Ekonomi

Ketika W.W Rostow mengkultuskan perubahan pembangunan sebagai konsumerisme tinggi, Samsa-Samsa baru berkembang biak semakin banyak. Lapangan modal jadi panutan utama. Etika, batin, dan kecemasan menjadi urusan belakangan.

Majalah Prisma (Januari/1983) berjudul Setelah Modernisme: Budaya Masa? membeberkan topik-topik menarik tentang modernitas. Terekam begitu rapi dialog medio 80-an oleh Majalah Prisma. Salah satunya ialah Emannuel Subangun (1983). “Jika modernitas dilihat dalam keseluruhan sistem sosial yang terus berubah, ternyata ia memiliki akar terdalam pada kesia-siaan manusia modern untuk membangun sangkar yang aman,” ujarnya.

Acap kali, sistem sosial memiliki irisan dengan taraf sosial. Pundi-pundi dolar kudu dikumpulkan untuk mendapatkan tempat singgah ternyaman dalam ranah sosial. Faktum Nietsche yang didedah oleh Sindunata (2010) menyatakan, “bangunlah bisnismu di atas pasir spekulasi, hanya di sini, di wilayah risiko ini, melambai-lambailah isyarat yang mengajak orang untuk menikmati keberadaannya.”

Subangun mencoba mengingatkan kita bahwa realita modern yang bergerak begitu cepat membuat manusia tertatih. Bila saja mereka bijak. Mereka sejatinya perlu menghela nafas sejenak untuk beritikad. Alois Schumpeter, ekonom yang disegani, membuat kita betul-betul merefleksikan hidup di tengah realitas modern.

Penghancuran nilai-nilai ekonomi akan diperbarui oleh nilai-nilai baru. Manusia tertatih menyiapkan nilai ekonomi tersebut meskipun paru-paru mereka telah dipenuhi rona hitam yang  mematikan. Gregor Samsa masih membayangi langit-langit pegawai ketik. Fatum Brutum Amor Fati! Begitu.

M. Ghaniey Al Rasyid
M. Ghaniey Al Rasyid Penulis Lepas dan Arsiparis yang Tinggal di Kota Surakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email