Si Hidjo yang Sempat Dilarang Terbit

iir saifullah

2 min read

Berdasarkan pembabakan sejarah sastra Indonesia modern menurut Yudiono K. S., sastra Indonesia mengalami masa pertumbuhan atau masa kebangkitan pada tahun 1900-1945 yang dicirikan dengan kuatnya nasionalisme pada karya sastra. Pada masa itu, karya sastra digunakan sebagai alat untuk menyuarakan perlawanan atau kritik sosial.

Salah satu karya sastra yang menarik dari periode itu adalah novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo. Novel ini pertama kali terbit pada tahun 1918 di surat kabar Sinar Hindia dan memuat kritik pengarangnya terhadap masyarakat dan pemerintah kolonial Belanda. Setahun kemudian, novel ini diterbitkan ulang dalam bentuk buku oleh penerbit Masman & Stroink.

Baca juga: Terpenjara Feodalisme Jawa

Mas Marco Kartodikromo

Mas Marco Kartodikromo dikenal sebagai seorang penulis sekaligus wartawan yang lahir pada tahun 1890 di Cepu, Jawa Tengah. Ia bukan bukan berasal dari keluarga bangsawan dan juga bukan anak pejabat pemerintah kolonial. Ayahnya seorang kepala desa. Jabatan ayahnya memungkinkan Mas Marco mengenyam pendidikan formal meskipun hanya sebentar. Selebihnya, ia mengambil les privat bahasa Belanda dan belajar secara ototididak.

Semasa hidupnya, Mas Marco pernah menjadi pegawai di Medan Prijaji yang didirikan oleh Raden Mas Tirto Adhi Soerjoe pada tahun 1911. Ia juga mendirikan Inlandshe Journalita Bound bersama dua temannya, R. Sosrokoornio dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Adanya perselisihan yang terjadi di antara mereka membuat Mas Marco pada akhirnya memilih pindah menjadi wartawan di Pantjaran Warta pimpinan S. Goenawan pada tahun 1918. Selain wartawan, Mas Marco juga berkiprah sebagai seorang aktivis di Sarekat Islam Merah yang membuatnya diasingkan di Bovel Digoel, Papua dan meninggal karena sakit malaria pada tahun 1932.

Salah satu karya Mas Marco adalah Student Hidjo yang terbit pada tahun 1918. Novel ini mengandung kritik sosial-politik terhadap pemerintah kolonial Belanda dan mengagung-agungkan Sarekat Islam. Adanya kritikan inilah yang menjadikan Student Hidjo dikategorikan sebagai bacaan liar yang peredarannya dilarang oleh Balai Pustaka yang saat itu dikendalikan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Novel Student Hidjo bercerita tentang kehidupan tokoh utamanya yang bernama Hidjo, anak pedagang yang dikirim oleh orangtuanya ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan setelah lulus dari HBS. Hidjo ke Belanda untuk mengejar gelar insinyur. Orangtua Hidjo jauh-jauh menyekolahkannya ke Belanda lantaran ingin mengangkat derajat keluarga mereka yang selama ini dianggap remeh oleh para pegawai pemerintah kolonial Belanda.

Hidjo tidak lama merantau. Ia buru-buru disuruh pulang oleh ayahnya untuk dinikahkan. Sejalan dengan perintah dari ayahnya itu, Hidjo sebenarnya juga ingin kembali ke tanah air lantaran merasa tidak nyaman berada di tanah Belanda.

Baca juga:

Kritik Sosial

Kritik sosial yang terkandung dalam novel Student Hidjo merupakan tanggapan atas keadaan sosial masyarakat pada tahun-tahun yang mengawali masa Kebangkitan Nasional. Saat itu, mulai muncul kaum terpelajar sebagai akibat dari kebijakan Politik Etis yang diterapkan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1901 di Tanah Hindia. Keterdidikan membuat kaum terpelajar merespons segala kondisi sosial masyarakat pada masa itu dengan tulisan. Biasanya, mereka menulis dalam rangka mengkritik pemerintah kolonial maupun orang-orang pribumi yang mereka anggap tidak benar.

“Saya ini hanya seorang saudagar. Kamu tahu sendiri. Waktu ini, orang seperti saya masih dipandang rendah oleh orang-orang yang menjadi pegawai Gouvernment. Kadang-kadang saudara kita sendiri, yang juga turut menjadi pegawai Gouvernment, dia tidak mau kumpul dengan kita. Sebab dia pikir derajatnya lebih tinggi daripada kita yang hanya menjadi saudagar atau petani. Maksud saya mengirimkan Hidjo ke Negeri Belanda itu, tidak lain supaya orang-orang yang merendahkan kita bisa mengerti bahwa manusia itu sama saja. Buktinya anak kita juga bisa belajar seperti regent-regent.”

Kutipan di atas adalah kritik Mas Marco Kartodikromo terhadap strata sosial pada masa itu yang menempatkan orang-orang yang bekerja untuk pemerintah kolonial pada derajat yang lebih tinggi daripada saudagar. Meskipun berstatus saudagar dan memiliki garis keturunan yang sama dengan saudara-saudara yang bekerja untuk pemerintah kolonial, keluarga Hidjo tidak lantas dipandang setara oleh para pegawai pemerintah.

Sikap jemawa yang dimiliki oleh orang-orang yang bekerja untuk pemerintah kolonial itulah yang menjadi sasaran kritik pengarang. Melalui cerita Hidjo, Mas Marco ingin menunjukkan bahwa saudagar pun mampu menyekolahkan anak sampai ke negeri Belanda.

Menariknya, Hidjo mendapati kondisi orang-orang Belanda ternyata tidak “setinggi” yang ia bayangkan. Di Belanda, Hidjo dapat memerintah orang-orang Belanda; orang yang di tanah Hindia menjadi penguasa atas orang-orang pribumi.

“Tetapi luar biasa karena mulai saat itu Hidjo bisa memerintah orang-orang Belanda. Orang yang mana kalau di Tanah Hindia kebanyakan sama bersifat besar kepala. … Kalau di Negeri Belanda dan orang-orangnya cuma begini saja keadaannya, apa seharusnya orang Hindia musti diperintah oleh orang Belanda?”

Kutipan tersebut menyindir orang-orang Belanda yang pada masa penjajahan menguasai alam beserta tubuh dan jiwa orang-orang pribumi. Selain itu, Mas Marco bermaksud menunjukkan bahwa sebenarnya orang-orang Belanda juga manusia yang sama seperti orang-orang pribumi. Oleh karena itu, orang-orang pribumi tidak perlu menghinakan diri di hadapan orang-orang Belanda. Lewat novel Student Hidjo, Mas Marco menyeru agar orang-orang pribumi memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan untuk memperjuangkan kesetaraan.

Ketahui kritik terhadap pendidikan:

 

Editor: Emma Amelia

iir saifullah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email