Candu
Waktu berjalan bagaikan pendulum gilingan padi milik seorang kakek yang terenga-engah dikejar rente, dan seorang perempuan parlente terbaring di atas sejarah, tubuhnya ditabuhkan, ajalnya ditangguhkan, Ia telah mati sejak baligh dan masa pubertas tiba.
Dan seekor lelaki terlentang, tanpa suara dan kedipan mata.
Apa yang sedang engkau pikirkan? tanya Markzuberk melalui jendela Facebooknya.
Mungkin saja Smartphone mengandung kadar tar dan nikotin yang melampaui segala jenis sebat yang telah bertengger dibibirmu.
Ah, lagi dan lagi, saya keliru, candu di matamu mengalahkan semuanya.
Ingat
Pagi yang monoton, dan saya lupa mematikan jam weker saat lima ekor kecoak membisiki telingaku, “Sudah nonton vidio syur apa pagi ini?” Dengan pelan saya menjawab, “Ada adegan porno antara negara dan pemodal, mereka bersama-sama menelanjangi hutan hingga kehilangan keperawanannya”.
Saya melanjutkan turu.
Media mengabarkan kegembiran semu, kemakmuran sekelompok manusia-manusia bajingan, membuat image seorang pembunuh menjadi insan gemoy, lucu, dan asu.
September Pink
Apa kabar kalian?
Dua puluh enam tahun tanpa kabar, tanpa suara.
Dua puluh enam tahun juga orang-orang berkumpul mengabarkan kepada semuanya, kepada jalan dan terik matahari, kepada hujan dan pemimpin yang culas, penindas.
Mungkinkah mereka mengerti apa arti kehilangan, saat ibu Sumarsih berdiri sedjak dua ribu tujuh hingga dua periode berlalu, lalu pembunuh terpilih, janji-janji selalu didengungkan, asu.
September pink, september hitam, september berdarah, luka-luka yang menganga dan negara tak lekas menyembuhkannya.
Dan pada siapa saya harus percaya, pada negara, tidak mungkin.