Suka bingung kalau disuruh milih, "Radiohead apa Pink Floyd?"

Mendambakan Circle Pertemanan yang Demokratis

Muhammad Ridwan Tri Wibowo

2 min read

Saya punya dua teman kuliah bernama Yordan dan Fariz. Mereka berdua teman satu angkatan, jurusan, sekaligus teman satu kelas saya. Karena itu kami jadi sering bermain bersama dan hubungan kami begitu dekat. Kalau sedang menjalani kuliah luring, kami biasa pergi ke jalan Daksinapati Barat, Rawamangun, untuk nongkrong. Di pinggir lapangan sepak bola di dekat jalan tersebut, kami biasa ngobrol sambil ngopi senja.

Suatu hari pada bulan November 2023, Yordan pernah berkata, “Gua lihat di TikTok, katanya pertemanan yang ganjil itu enggak sehat. Soalnya nanti ada satu orang yang cuma diam, menyimak, dan ngikut saja. Kalau gitu pertemanan kita enggak sehat, dong!”

Baca juga:

Mendengar perkataan Yordan, badan saya dan Fariz pun sedikit gemetar, lalu tanpa sadar kepala saya dan Fariz pun langsung menunduk. Kemudian, hening beberapa detik memberikan kesempatan kami untuk merenung.

Dalam keadaan hening ini, saya berkata dalam hati. Memang ada benarnya perkataan Yordan. Belakangan ini–selain bermain dengan Yordan dan Fariz–saya juga mempunyai circle pertemanan berisi tiga orang. Dan saya pun berada dalam situasi yang Yordan katakan. Malah saya sendiri yang cuma diam, menyimak, dan ngikut saja.

Tiga puluh detik kemudian, Fariz akhirnya membantah perkataan Yordan. Ia tidak setuju perihal pertemanan yang harus genap. Singkatnya, jumlah tidak bisa dijadikan patokan untuk menentukan circle pertemanan itu sehat atau tidak sehat. Circle pertemanan yang sehat adalah ketika semua orang di dalamnya saling menghargai dan melibatkan satu sama lain. Jadi, setiap orang di dalamnya tidak merasa superior dan ingin selalu mendominasi.

Menurutnya, setiap orang di dalam circle pertemanan itu harus menempatkan dirinya setara. Dengan begitu semua orang di dalamnya bisa leluasa berbicara jujur tanpa rasa takut. Di satu sisi, semua orang di dalamnya juga harus selalu ikhlas mendengarkannya. Malah katanya, orang di dalamnya juga harus siap nyaman ketika hanya berhadapan dengan kesunyian.

“Kenapa harus nyaman dalam kesunyian?” tanya saya heran.

“Sunyi itu penting. Kenapa penting? Karena saat nongkrong juga ada waktu-waktu tidak ngobrol, kan? Kadang, ya, cuma bengong-bengong. Nah, kalau orang tersebut nyaman dalam kondisi seperti ini, kemungkinan besar pertemanan mereka sehat.”

“Maksud gua itu, sehat di mananya, Riz?” tanya saya gregetan.

“Sehatnya, orang di dalamnya tidak memiliki ego tinggi, tidak memiliki sifat memaksa, dan pastinya orang tersebut menghargai ruang sunyi dan kosong temannya. Intinya, orang tersebut mampu berbagi ruang, dah.”

Mendengar jawabannya, saya bisa menarik kesimpulan bahwa circle pertemanan yang sehat selalu memberikan ruang, dan ruang-ruang tersebut menciptakan keadilan bagi orang di dalamnya. Saya pun akhirnya setuju, circle pertemanan akan jadi toksik jika orang di dalamnya mewajarkan sifat superior dan selalu ingin mendominasi.

Dalam circle pertemanan, kalian pasti pernah melihat seseorang jarang dilibatkan, bahkan tidak pernah dilibatkan dalam membuat rencana atau mengambil keputusan. Orang tersebut bisanya dibutuhkan untuk meramaikan tongkrongan saja. Kasarnya begini, “Ada lu bagus, enggak ada lu juga enggak ngaruh.” Dalam pergaulan pun, orang tersebut biasanya cuma diam, menyimak, ngikut saja, atau hanya ikut tertawa ketika teman-temannya tertawa.

Baca juga:

Dari percakapan di atas, Fariz menyoroti bahwa jumlah orang tidak boleh dijadikan patokan untuk menentukan kualitas circle pertemanan. Hal terpenting adalah kita bisa menghindari sifat superior dan ingin mendominasi. Ini membuat semua orang di dalam circle pertemanan akhirnya memiliki keterlibatan.

Dari keterlibatan ini terciptalah kesetaraan. Dan dari kesetaraan ini terbentuklah keterbukaan dalam circle pertemanan. Sifat-sifat yang disebutkan tadi juga mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi yang sesungguhnya, yang menciptakan keadilan bagi kita semua.

Pertemanan Berkualitas dan Setara

Menghindari sifat superior dan dominasi dalam circle pertemanan relevan dengan konteks demokrasi. Demokrasi berprinsip menghindari kesenjangan kekuasaan dan memastikan semua pihak memiliki kesempatan yang sama untuk berbicara dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Intinya semua pihak terlibat. Tidak pandang bulu.

Circle pertemanan sehat juga harus menghargai kesetaraan. Kesetaraan membuat orang yang berada dalam circle pertemanan tersebut terbuka. Keterbukaan tersebut adalah fondasi penting dalam circle pertemanan yang sehat. Dalam demokrasi, hal itu tercermin dalam pentingnya mendengarkan pandangan dari beberapa kelompok, termasuk kelompok minoritas dan terpinggirkan.

Keterbukaan ini memberikan kelompok minoritas dan terpinggirkan ruang untuk berpartisipasi secara aktif. Hal ini memastikan bahwa setiap suara didengar dan dihargai kepentingannya. Dengan itu, akhirnya lahir sebuah keputusan yang lebih representatif dan adil bagi semua pihak.

Dengan memahami keterkaitan antara circle pertemanan yang sehat dan prinsip-prinsip demokrasi, semoga kita dapat memperkaya pemahaman kita akan demokrasi yang substansial. Ini merupakan langkah penting dalam membangun hubungan yang harmonis di tengah masyarakat kita yang beragam.

 

 

Editor: Prihandini N

Muhammad Ridwan Tri Wibowo
Muhammad Ridwan Tri Wibowo Suka bingung kalau disuruh milih, "Radiohead apa Pink Floyd?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email