Di alam kenyataan, mustahil nasib seorang penganggur bisa semegah para pejabat, selebgram, apalagi pemilik tambang. Jika pun ada, itu hanya anomali. Mungkin ia pewaris oligarki atau—seperti dugaan masyarakat dengan alam pikir takhayul—mereka memelihara tuyul.
Membaca Buku Pegangan Mencari Kerja karya Dadang Ari Murtono terbitan Indonesia Tera (2024) menandaskan fakta getir tersebut. Menariknya, kehadiran buku ini secara misterius bersusulan dengan momen ketika Indonesia sukses merebut “juara pertama” di bidang Pengangguran Tertinggi se-ASEAN (World Economic Outlook, 2024). Baik kebetulan atau tidak, ini merupakan suatu titik temu (koinsiden) historis yang relevan dan kontekstual betul.
Novela hasil kolaborasi dengan AI ini mewedarkan pusparagam kisah ganjil, namun terasa begitu akrab dengan kenyataan sehari-hari. Pola tegas yang membangun cerita bertumpu pada sosok Tomi, seorang penganggur yang bingung apa keahliannya dalam hidup. Ovi, istrinya, hilang. Ia diculik bajak laut yang muncul dari dalam kolam renang. Di sinilah titik nol keseluruhan buku.
Kolase Inspirasi
Petualangan merasuki jagat kepala seorang penganggur pun dimulai. Dadang, melalui sosok Tomi, mengajak pembaca singgah menuju aneka situs, relik kenangan, dan ragam cerita. Tomi bertualang, berjumpa banyak orang dan kenalan, termasuk mengenali ragam pekerjaan dari banyak tokoh. Isinya meramu banyak hal mulai dari binatang piaraan (baik yang bisa bicara dan merokok, maupun yang moksa), figur-figur eksentrik dengan profesi unik, lengkap dengan wajah nasib dan absurditas mereka.
Ada Jo yang berprofesi sebagai ‘tenaga ahli’ memprediksi hal-hal buruk sekaligus juru cerita. Kemudian ada praktisi jasa penemu ingatan, Ridho, yang memulai ritualnya dengan uborampe jamur psikedelik plus marijuana. Belum termasuk yang paling aneh, yakni sosok yang punya passion mengintip. Dan masih berlimpah lagi.
Lewat proyek kolaborasi dengan AI, Dadang seperti berlaku semena-mena, baik terhadap rekomendasi AI maupun kepada tokoh-tokoh rekaannya. Sering kali, anasir jenaka berpagut ironi. Sebuah panorama yang, bagi saya dan rekan saya, khas penulisan Dadang—mungkin juga penulis-penulis Jawa Timur lainnya yang terkenal murung, kebak ironi, humor gelap, kritik sarkastik dan mencekam tetapi sekaligus melankolik dan jenaka. Jika diringkas: asyik-asyik asyu!
Itu misalnya bisa dilihat pada sisipan biografis Dadang sendiri pada sosok Tomi—yang diakuinya sejak dari Kata Pengantar (hlm. xvii). Konflik keluarga, politik pemilu, perjalanan asmara, imajinasi bajak laut, hingga self-talk yang sarat nada peremehan diri (self-deprecating) yang jika diwujudkan dalam bentuk pertanyaan akan berbunyi: apakah aku yang penganggur ini layak dicintai?
Barangkali itulah yang Rocky Gerung sebut sebagai “defisit harga diri” kaum penganggur dalam esainya berjudul Memimpin Frustrasi Rakyat. Sebuah situasi sosio-psikologis akibat instabilitas politik dan tingginya angka PHK yang dapat memicu frustrasi dan agresi (amuk) berupa huru-hara sosial. Hanya saja, sosok Tomi yang penganggur di novela Dadang tidak mengambil bentuk begitu. Alih-alih muntab dan ngamuk tak keruan, si tokoh utama justru merutuki diri sambil tetap abai dengan dosis kecuekan yang paido-able ala orang depresi berat.
Baca juga:
- Kiat Sukses Jadi Pengangguran
- Kerja-Kerja Kepengangguran dan Puisi Lainnya
- Catatan Hati Seorang Perempuan Pekerja
Dadang juga tidak luput meperinci gunjingan para tetangga terhadap Tomi yang penganggur. Tudingan orang tua yang kerap menyalahkannya karena ia menganggur. Misalnya, adik Tomi yang mengalami kecelakaan itu karena Tomi menganggur. Pun mawar di halaman mati karena Tomi menganggur. Seandainya ia bekerja, otomatis ia mampu membelikan alat siram otomatis (hlm. 63).
Detail-detail yang tampak kurang signifikan itu menyiratkan suatu gelagat halus tentang kemurungan isi kepala seorang penganggur. Ada irisan figuratif yang merupakan potret diri Dadang sendiri selaku penulis penuh waktu—yang mana di mata publik, ya, seorang penganggur. Dan karena menganggur, ia sampai punya bayangan untuk menjadi kerikil saja—secuplik random thoughts yang bertebaran di sekujur buku ini. Barangkali Tomi di buku ini adalah cerminan dari nasib para penulis di penjuru Tanah Air. Ia hanya satu dari selaksa jenis kemurungan dengan segala warnanya.
Beranjak dari tema itu, novela ini juga mengandung banyak kolase inspirasi yang terasa familiar bagi sebagian pembaca. Cerita bajak laut keluar dari kolam renang adalah ‘hasil colongan’ Dadang terhadap manga-anime One Piece di Arc Marineford, saat bajak laut Shirohige keluar dari dasar laut. Dan memang penulisnya pun seorang penikmat anime tersebut.
Ibarat dunia seni lukis, unsur lelehan dan cipratan abstrak—atau bahkan referensi curian—menjadi bagian (ornamen estetis) yang sah dari karya lukis. Begitu juga dalam dunia teks/cerita, yang mirip kolase. Kendati bukan center of interest, namun ia memperkaya pusat perhatian dalam karyanya. Satu kritik yang sahih disampaikan adalah kemampuannya meramu dialog: beberapa kurang natural dan ada dramatisasi yang tidak cocok—walau hanya sebagian kecil.
Kegundahan Eksistensial
Dadang juga seolah menyodorkan kredo di buku ini: kisah tak melulu harus logis, pepak, dan sesuai nalar. Cerita, terutama fiksi, itu pasti bolong-bolong, ganjil, dan sering kali aneh—seperti hidup itu sendiri (hal. 134).
Berbekal sikap itu pula ia menggugat profesi kerja di bumi patriarkis ini. Sisipan komentar sosial juga menyinggung soal-soal seperti breadwinner yang harus laki-laki. Ini mengingatkan saya pada diskursus male wives dan female husbands yang mengulas pergeseran peran gender dalam masyarakat yang semakin kabur dan cair. Diskusi perihal topik ini layak diperbincangkan dan disikapi secara terbuka (Marloes Janson, 2013).
Lebih pelosok lagi, Dadang secara implisit mendedah nasib penganggur (penulis) penuh waktu di negeri ini. Lontang-lantung jadi gunjingan tetangga. Kaum seperti ini kerap disebut binatang piaraan. Di mata publik, mereka halu. Sinting. Dan jika tidak bekerja formal, mereka dianggap belum lelaki. Layak ditinggalkan dan diselingkuhi. Kesemua itu hanyalah sejumput kemurungan sastrawi/prosaik dari seorang penganggur di mata pengarangnya. Pada gilirannya aspek demikian menggumpal menjadi aliran kisah dalam bab “Klub Orang yang Ditinggalkan” (hal. 149).
Epilog Reflektif
Setelah menutup halaman terakhir buku ini, saya jadi terbayang sosok Charles Bukowski dengan wajah garang dan mata remang. Ia menjepit rokok, tangan satunya memegang botol ceper sembari “memaki nasib yang disyukurinya” sebagai penulis. Kemudian ia menulis surat pada sohib editor: “Aku menulis bermacam-macam renungan, mencari arti bahasa Prancis di dalam kamus… Aku selalu murung, tergila-gila dengan gagasan bunuh diri, dan doyan anggur.”
Gawatnya, dalam diri Dadang terpendar rasa minder yang mirip dengan diri Bukowski ketika menulis surat pada Caresse Crosby (9 Desember 1954): “… Aku bahkan bukan seniman sejati—cuma penulis gadungan—yang selalu saja menulis dengan rasa jijik.” Namun begitu kita baca karyanya, begitu juga karya Dadang, pembaca seketika punya dorongan kuat untuk menggelengkan kepala. (*)
Editor: Kukuh Basuki