Di Manakah para Ilmuwan dalam Pembentukan Kebijakan?

Muhammad Islah Satrio

2 min read

Saya dibuat meneteskan air mata setelah membaca chapter 1102 manga One Piece. Singkatnya, chapter tersebut menceritakan tentang seorang ilmuwan tersohor di dunia One Piece, Dr. Vegapunk, yang melakukan operasi penghapusan ingatan dan kepribadian terhadap seorang bajak laut bernama Bartholomew Kuma.

Bukan tanpa alasan Kuma menjalani operasi itu. Pemerintah Dunia akan menyetujui pengobatan yang hanya dapat dilakukan oleh Dr. Vegapunk kepada anaknya, Jewelry Bonney, yang mengidap penyakit langka jika Kuma bersedia menjadi “senjata tanpa perasaan” bagi Pemerintah Dunia. Kuma keturunan ras spesial, Buccaneers, yang dianugerahi kekuatan fisik yang melebihi ras lainnya. Diri Kuma yang spesial inilah yang menarik minat Pemerintah Dunia untuk menjadikannya senjata.

Cerita operasi nirkemanusiaan itu bukan satu-satunya hal yang membikin sedih. Saya juga mewek membaca kepasrahan seorang Dr. Vegapunk di hadapan tekanan Pemerintah Dunia. Selain memaksakan consent terhadap Kuma sebagai objek operasi, Pemerintah Dunia juga mengintimidasi Dr. Vegapunk demi meraih tujuan bengis mereka. Mudah bagi Pemerintah Dunia mengintimidasi sang ilmuwan karena seluruh pendanaan proyek ilmiah yang dijalankan oleh Dr. Vegapunk bersumber dari Pemerintah Dunia. Walau Dr. Vegapunk sempat menolak melakukan operasi tersebut, ia terus diancam hingga akhirnya terpaksa mau.

Membaca chapter One Piece itu, saya jadi teringat salah satu cuplikan dalam film Oppenheimer (2023) karya Christopher Nolan. Henry L. Stimson, sekretaris perang di bawah pemerintahan William Howard Taft, menggelar konferensi bersama J. Robert Oppenheimer, seorang fisikawan penemu bom atom serta pengelola Proyek Manhattan, serta beberapa tokoh lain untuk membahas kota mana yang akan menjadi target bom nuklir. Dalam konferensi tersebut, pendapat-pendapat Oppenheimer diabaikan oleh Henry serta beberapa pejabat negara lainnya. Bahkan, penentuan lokasi pengeboman tersebut sama sekali tidak mengindahkan saran yang disampaikan oleh Oppenheimer.

Dari dua tokoh tersebut, saya menemukan satu kesamaan, yaitu tidak diberikannya ruang partisipasi yang bermakna kepada seorang ilmuwan dalam penyusunan kebijakan publik. Padahal, dalam proses pembentukan kebijakan publik, ada satu konsep fundamental yang harus diimplementasikan oleh pembentuk kebijakan, yaitu menyertakan partisipasi bermakna (meaningful participation) oleh publik, termasuk para ilmuwan.

Konsep yang awalnya berkembang dari Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan pada tahun 2006 ini mengharuskan pembuat kebijakan untuk mendengarkan, mempertimbangkan, dan memberikan penjelasan atau jawaban atas pendapat masyarakat. Partisipasi bermakna ini sangat penting dalam proses pembentukan kebijakan karena masyarakatlah yang akan terdampak oleh setiap kebijakan yang dibuat. Dengan diberikan kesempatan untuk berpartisipasi secara bermakna dalam pembuatan kebijakan, masyarakat akan mampu menggunakan haknya untuk mengendalikan arah kebijakan tersebut.

Dalam kaitannya dengan apa yang dialami oleh Dr. Vegapunk serta J. Robert Oppenheimer sebagai seorang ilmuwan, mereka berdua sama sekali tidak dilibatkan dalam proses kebijakan oleh pemerintah—atau, sekadar diundang membahas, tapi tak didengarkan saran-sarannya. Nahasnya, kebijakan yang dibuat tanpa melibatkan mereka tersebut justru menentukan tujuan pemanfaatan teknologi yang mereka kembangkan.

Alhasil, kedua ilmuwan itu tak memiliki kuasa atas alat yang mereka ciptakan. Selain itu, mereka berdua juga menanggung beban moral akibat penggunaan teknologi secara sewenang-wenang oleh pemerintah hingga berdampak pada degradasi kehidupan manusia. Bayangkan, bagaimana rasanya dipaksa menjadi “tangan terampil” di balik masifnya korban tewas akibat bom atom di Hiroshima dan Nagasaki atau senjata tanpa perasaan yang membasmi kelompok-kelompok penentang pemerintah?

 Baca juga:

Dr. Vegapunk hanyalah tokoh fiksi dan J. Robert Oppenheimer akan diingat selamanya sebagai bapak bom atom yang hidup pada abad ke-20. Namun, itu bukan berarti peminggiran orang-orang seperti mereka dalam pembentukan kebijakan tidak lagi terjadi. Barangkali, hal serupa masih terus menimpa ilmuwan-ilmuwan yang mengabdikan pengetahuannya demi perbaikan kehidupan manusia, tapi buah kerja mereka justru dibelokkan untuk tujuan buruk lewat kebijakan yang lahir secara semena-mena.

Di Indonesia, kita punya lembaga pemerintahan yang di dalamnya banyak memanfaatkan ilmuwan. Sebut saja, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang dibentuk dengan menggabungkan 33 lembaga penelitian—lewat kebijakan yang lagi-lagi dibuat tanpa melibatkan ilmuwan-ilmuwan di sana. Selain itu, hampir setiap kementerian memiliki badan penelitian dan pengembangannya sendiri. Namun, seberapa berdampak ilmu dan ide para ilmuwan di sana dalam kebijakan-kebijakan yang berlaku hari ini? Apakah eksistensi dan peran mereka benar-benar dioptimalkan atau sekadar formalitas?

Saya mendorong pembaca tulisan ini, khususnya yang terafiliasi dengan lembaga negara dan memiliki jabatan strategis, untuk mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat para ilmuwan. Sebab, hanya mereka yang dapat kita harapkan untuk mengembangkan dan menerapkan pengetahuan secara tepat demi meningkatkan kualitas hidup manusia. Peran pemerintah cukup pada penyediaan ruang partisipasi secara bermakna kepada mereka dalam pembentukan kebijakan sembari memberi tahu konteks masyarakat tempat kebijakan tersebut akan diberlakukan.

 

Editor: Emma Amelia

Muhammad Islah Satrio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email