Segera setelah keluar dari Studio 3 CGV, Grand Indonesia, pasca berakhirnya tayangan Monster Hunter yang membekas, involutif dan Aurora yang, misalnya, ceria serta bersemangat melemparkan caramel corn ke arah monster serupa lemparan bergairah Yogi Berra dalam pertandingan bisbol New York Yankees melawan Chicago Cubs. Alih-alih ingin memberi first aid untuk menyelamatkan Natalie Artemis dari terkaman, caramel corn yang melambung itu justru terjatuh entah mengenai kepala siapa.
Aurora tidak takut dilabrak, ia benar-benar sedang terbakar. Bara api menyalak jauh di dalam tubuh keperempuananya dan Rocky ikut merasakan kehangatannya. Omong-omong, maskulinitas Milla Jovovich (Natalie Artemis) yang bertarung hebat melawan para monster, nampaknya, berimplikasi bagi euforia dan mentalitas Aurora. Setidaknya begitu yang Rocky lihat.
Saat tiba di Gramedia, setelah menyantap hidangan makan malam di restoran favorit, dan membicarakan rasa kagum pada Paul Anderson, sutradara Monster Hunter, dan mengenang caramel corn serta kepala penonton–Rocky dan Aurora berburu buku diskonan. Di dalam kehidupan pasca-kapitalisme hari ini, di mana ilmu pengetahuan menjadi sangat mahal akibat komodifikasi toko buku raksasa seperti Gramedia, Rocky dan Aurora harus mencari yang termurah. Namun begitu, sekalipun Aurora membelikan buku yang mahal untuk Rocky– dalam kondisi tantrum, Rocky tetap menyobeknya.
Rocky mendapatkan buku Langston Hughes, seorang penulis kontroversial dalam sejarah puisi Amerika. Dahulu sekali, Rocky membaca salah satu puisinya yang berjudul The Negro Speaks of Rivers waktu seorang akademisi dari Princeton University, Arnold Rampersad, menulis: “Puisi Hughes melintasi batas wilayah, kelas, dan gender.” Dan baru belakangan, Rocky mengetahui, bahwa puisi Hughes menyumbang bagi perkembangan musik jazz dan blues kalangan Afro-Amerika.
Dalam kasak-kusuk mencari buku terbaik, di deretan rak buku yang sama, Aurora mengomentari secara pelan dan lirih dan bicara dengan nada seperti di kos kejagoan Milla Jovovich, “dalam budaya tradisional, misalnya, mengapa perempuan itu diasosiasikan sebagai lemah, cengeng dan tak berdaya? Sehingga menjadi pembenaran bagi laki-laki untuk melakukan kekerasan?” Rocky masih membaca halaman demi halaman puisi Hughes, dan mengenang caramel corn, kepala penonton, dan menyimak samar suara Aurora yang berbicara seperti di kos.
“Padahal dalam film yang tadi kita tonton, juga dalam real-life, aku menyaksikan bagaimana ketangguhan perempuan itu bertolak dari asumsi kebudayaan yang merendahkannya. Apa laki-laki selalu kuat dan perempuan senantiasa lemah?” tanya Aurora.
Dan Rocky berusaha menjawab pertanyaan tersebut: “dalam diskursus ilmu pengetahuan, para pemikir partriarkis seperti Plato meninjau perempuan hanya pada segi kekuatan fisik. Bahwa mental perempuan, kata Plato, lebih lemah dari laki-laki.”
Aurora menyeringai tanda tak setuju dan Rocky melanjutkan jawabannya. “Tetapi hal tersebut segera dibantah para peneliti dari University of Southern Denmark yang menyatakan bahwa secara historis, di dalam banyak kasus seperti kelaparan, epidemi serta kemiskinan, perempuan relatif dapat bertahan lebih lama melampaui laki-laki. Max Headley, Profesor Fisiologi di Universitas of Bristol, juga pernah menjelaskan bahwa perempuan cendrung memiliki lebih banyak lemak subkutan dan tingkat metabolisme yang lebih rendah. Oleh karena itu, simpanan energi pada perempuan cendrung bertahan lebih lama saat wabah kelaparan berlangsung.”
Rocky ingin sekali meluaskan jawaban terhadap pertanyaan Aurora di atas. Mengajaknya keluar Gramedia dan pergi ke Taman Menteng, memesan starling dan mendialogkan kegusaran Aurora menyoal isu ketidakadilan gender. Rocky tidak akan meminta Aurora mengunjungi kanal media feminisme seperti Jurnal Perempuan atau Magdalene.co. Tak akan pula memaksanya membaca John Zerzan: “Patriarki, Peradaban dan Asal-Usul Gender”. Pun menolak mengisahkan pembelaan Marx terhadap perempuan tertindas. Rocky tak ingin membuat Aurora puyeng.
Percakapan menyoal proyek emansipatoris, rasa adil dan kesetaraan merupakan prasyarat yang sama primernya dengan compassion dan mutual respect di dalam hubungan percintaan Rocky dan Aurora. Secara general, bagi laki-laki misalnya, mencintai itu adalah upaya untuk memiliki secara penuh obyek yang dicintai–sehingga dapat mengendalikan secara utuh perempuannya. Sementara bagi perempuan, mencintai artinya meleburkan diri dan menyerahkan seluruh eksistensinya pada obyek yang dicintai. Hal tersebut mendefinisikan penundukan bagi laki-laki dan abusive bagi perempuan. Rocky dan Aurora menolaknya.
Dalam romantic relationship, konsepsi eros atau cinta, selalu diandalkan pada komitmen demi diikatnya kasih, hamorni dan kesetiaan yang merupakan tuntunan etis mereka yang bercinta. Sayangnya, keteduhan konsepsional tersebut kerap berakhir pada dominasi agresif dari tradisi masyarakat yang patriarkis. Sehingga hubungan hetroseksual tersebut sering kali terjebak pada problematika kekerasan. Secara literal, Rocky dan Aurora meyakini bahwa violence dating terjadi karena relasi kuasa yang besar pada laki-laki dan relatif lebih kecil pada perempuan.
Ketimpangan relasi tersebut, misalnya, dalam ranah domestik, maupun publik, membuat perempuan tersubordinasi peranannya. Kekuasaan tersebut memberi kemewahan pada laki-laki untuk melakukan opresi–diperbolehkan bersikap keras pada perempuan. Menurut Rocky, hal tersebut disebabkan oleh norma kebudayaan yang mendukung keyakinan bahwa kekerasan merupakan sesuatu yang disetujui dan dianggap sebagai cara menyelesaikan konflik interpersonal.
Dalam jurnal The Relationship Dating Violance, Zandy Putri, membangun argumentasi dalam risetnya, bahwa kekerasan tersebut, bagi korban perempuan, dianggap sebagai bentuk kepatuhan dan pemakluman. Sedang bagi Rocky dan Aurora kepatuhan dan pemakluman atas kekerasan tersebut terjadi karena, pertama, nihilnya kesetaraan gender dalam hubungan, juga kedua, tidak adanya kesadaran hubungan berbasis gender di antara laki-laki dan perempuan.
Ketidaksetaraan gender dan miskinnya pengetahuan seksual merupakan dua alasan utama terjadinya kekerasan berbasis gender. Bila bagi sebagian perempuan kekerasan diartikulasi sebagai bagian dari kasih sayang, maka Aurora menyebutnya omong kosong. Bila sebagian laki-laki melakukan kekerasan sebagai, meminjam argumentasi David Allen, “control or dominate another person physically, sexually, or psychologically, causing some level of harm,” maka bagi Rocky itu adalah kriminalitas.
Seperti pembuluh kapiler pada bunga mawar di Taman Menteng, kemaharan Aurora tumbuh mendahului lonjakan pembuluh darah dalam tubuhnya. Aurora risih dan jijik dan seperti ingin mutah menyaksikan fenomena kekerasan yang dialami oleh perempuan. Bukan hanya itu saja, kekerasan ekonomi dan sosial acapkali ikut membersamai. Kekerasaan ekonomi artinya pemanfaatan keuangan dan pengontrolan penuh finansial perempuan oleh laki-laki. Sedang kekerasan sosial, menurut Aurora, pembatasan ruang pergaulan. Hal tersebut umumnya dinarasikan oleh laki-laki atas nama pembuktian cinta.
Menurut Aurora, bila cinta itu menyembuhkan, maka tak mungkin ia menghancurkan. Dan bila cinta itu membebaskan, maka tak mungkin ia menundukkan.
***
Jakarta turun hujan. Menteng hingga Cikini wangi sunsilk dan petrikor, lirih angin dan berlinang-linang kenangan. Gemercik air yang tergelincir sepanjang jalan Cikini Raya serta obrolan menyoal kekerasan, berorkestrasi dengan teh Tambi yang mengendap dalam poci dan belahan rambut Aurora yang, astaga, anggun dan terlihat cantik sekali. Dan dalam fantasi Rocky yang liar, rambutnya, ya, menyerupai belahan rambut Katie Melua saat menembangkan Nine Million Bicycles di Berlin.
Kalaupun akhirnya Aurora tak bersepakat dan tak suka disebut seperti itu (dan ini akan terbaca menjengkelkan), ia sendiri justru yang merevisi kalimatnya: “rambutnya, ya, menyerupai belahan rambut Natalie Artemis saat bertarung di film Monster Hunter,” ujarnya, sambil sok manis, lalu menghisap dalam-dalam rokok yang terjepit di tangan kanannya.
Padahal baik Katie Melua maupun Natalie Artemis–Aurora tetaplah Aurora: “rambutnya, ya, tetap harus menyerupai belahan rambut Natalie Artemis saat bertarung di film Monster Hunter,” kata Rocky. Sialnya Aurora kembali merevisi, “cantik, wangi dan nyeni.”
Di beranda, di rumah seorang teman, di antara mendung langit, aroma teh putih dan tempias, mereka mendengar seorang teman berkisah tentang kota: “Jakarta itu deskripsi sempurna atas proses alienasi. Pembagian kelas berdasarkan pemukiman, mobilisasi surplus produksi, juga disparitas ekonomi yang ekstrem merupakan sisi muram di belakang wangi dan gemerlapnya kota,” ucapnya romantis, sambil memutar-mutar buku David Harvey, Urban Revolution, yang ada di atas meja.
Teh kembali dituang dari poci, hujan kembali terdengar deras di telinga, dan dengan atau tanpa merdu suara Katie Melua dan kejagoan Natalie Artemis, Aurora, seperti halnya Rocky, masih serius mendengar dan seringai menatap teman yang serius dan seringai mengenang ingatan yang–seperti istilahnya yang meminjam istilah Gramsci–keorganikannya sebagai intelektual saat ia masih menempuh pendidikan di universitas.
“Selama menempuh studi, aku aktif terlibat dalam kelompok kritis di kampus. Menginisiasi kelompok belajar yang berbasis pada political economy dan cultural studies, serta banyak beririsan dengan teman-teman mahasiswa yang mengaktivasi proyek gerakan sosial di kota,” ucap teman mereka itu.
Kemudian Rocky menimpali. “Aku tahu kok, Bang, aktivismemu. Dulu sekali aku suka baca beberapa artikel kamu di Indoprogress.” Rocky memberi informasi bahwa jauh sebelum 2021 ia sudah mengenalnya lewat tulisan-tulisan.
“Oh, ya. Kamu baca artikel yang mana?” tanyanya penasaran.
“Duh, kalau enggak salah artikel yang mengkritik Goenawan Mohamad.”
Mendengarnya berkisah seperti itu, sontak membuat Rocky kembali mengenang Tuguran. Sebuah pusat kebudayaan dan intelektual yang berlokasi di bilangan utara Kota Magelang. Tempat di mana hampir empat tahun Rocky dan Aurora memuntahkan kemarahaan dan kemualan pikiran demi berdaya mengorganisir diri untuk tiba pada kerja-kerja kreatif (dan progresif), hingga akhirnya dikultuskan sebagai sarjana sosial yang masih marah serta mual, tetapi tak lagi mengorganisir diri untuk tiba pada kerja-kerja progresif.
Rocky ingin sekali menceritakan kepadanya aktivisme serupa yang dulu pernah ia lakukan di Tuguran. Tidak hanya membuat kelompok diskusi di rumahnya di Secang, membuat zine, buku, dan pamflet politik, tetapi juga terlibat aktif mengorganisir gerakan sosial dan menginisiasi komunitas-komunitas otonom di Magelang.
Sayangnya, dua tahun belakangan, Rocky menolak meromantisasi kenangan tersebut dan enggan melakukan aktivisme serupa. Setidaknya hanya tiga hal yang sejauh ini masih Rocky kerjakan; menulis, membaca, dan diskusi bersama Aurora. Hanya itu. Selebihnya Rocky masih marah dan mual menyaksikan tingkah dan prilaku kaum intelektual.
Kelompok studi, seperti yang juga dijelaskan oleh teman di atas, pada tahun 80-an populer di kampus-kampus di Indonesia sebagai lembaga ekstra akademik atau tink tank kritis dengan beragam ideal type seperti, postcolonial studies, feminist studies, marxist studies, dan kelompok studi lainnya yang, dalam banyak hal, memang beririsan dengan gerakan sosial.
Sedang terminologi intelektual organik yang selalu ia sebut berulang-ulang dan karena itu membuat Rocky bosan, Aurora mungkin lebih bosan lagi, merupakan penanda dan, Rocky mencoba menafsirkannya secara serampangan, upayanya dalam mengolok-olok intelektual menara gading yang nangkring di universitas serta memisahkan diri dari masyarakat. Dalam bagian yang lain, seperti yang pernah pula Rocky tulis di dalam artikelnya–ia menyebutnya sebagai kalangan yang terlalu sibuk onani intelektual, seminar, dan mejeng di perpustakaan. Atau dalam istilah yang lebih ilmiah, Gramsci menyebutnya: intelektual tradisional.
Bila teman Rocky menyukai sastra atau puisi, sangat mungkin ia akan mendekonstruksi Rendra untuk menggambarkan makna sederhana “intelektual organik” a la Gramsci tersebut dalam kalimat, “apalah artinya kaum intelektual, bila terpisah dari derita lingkungan. Apalah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan.” Atau bahkan meminjam kredo Thukul: “apa guna punya ilmu tinggi, kalau hanya untuk mengibuli. Apa guna banyak baca buku, kalau mulut kau bungkam melulu.”
Omong-omong, obrolan seperti itu entah kenapa membuat Rocky dan Aurora cepat jengah dan bosan. Oleh karenanya, Rocky upayakan menggiring percakapan itu pada isu seputar kebudayaan. Segera setelahnya, Aurora menceritakan kepadanya budaya pop, Andy Warhol dan album spektakuler Velvet Underground.
Hujan sudah berhenti. Pluit commuter line saling-silang klakson mikrolet. Pelangi merah, kuning, hijau terbit dekat IKJ. Starbucks Keliling tampak lalu-lalang depan beranda. Teh dalam poci surut ditenggak. Seperti Desember, selalu ada elegi di balik awan hitam. Seperti Efek Rumah Kaca, Aurora selalu suka sehabis hujan reda. Seperti Cikini, Rocky selalu bermekaran melihat Aurora yang cantik, wangi dan nyeni.
Kebun Jeruk, Jakarta Barat, 2021
***
Editor: Ghufroni An’ars