Redaksi Omong-Omong

Cerita Rahasia Keluarga

Ghufroni An'ars

2 min read

“When one has not had a good father, one must create one,” ujar seorang pemuda pada suatu ketika. Banyak yang beranggapan bahwa kalimat itu tidak sesuai dengan kepribadian si pemuda, yang dikenal kawan-kawannya sebagai seorang yang radikal. Sebagian lain beranggapan bahwa ujaran itu keluar begitu saja sebagai refleksi atas pengalaman pribadinya. Ayahnya memang meninggal saat ia berumur lima. Orang-orang kelak mengenal pemuda itu dalam berbagai profesi, mulai dari peneliti kitab kuno, filsuf, kritikus budaya, penyair, bahkan komposer. Dialah Friedrich Nietzche, seorang nihilis Jerman yang pada kesempatan lain juga pernah mengatakan sesuatu yang amat bermoral, seperti, “in family life, love is the oil that eases friction, the cement that binds closer together, and the music that brings harmony.”

Di sisi lain saya menyimpan keyakinan bahwa pembicaraan tentang keluarga memang bisa mengubah sikap seseorang, seketika, atau mengembalikan sikap kita ke setelan pabrik. Pengalaman hidup di dalam keluarga memang merupakan stimulus paling awal bagi setiap manusia. Tak peduli Anda tumbuh dalam struktur keluarga paling anomali sekalipun, segala yang terjadi di dalam keluarga adalah pondasi berpikir paling dasar yang akan selalu Anda ingat selama kesadaran masih dikandung badan. Banyak memori tentang keluarga yang kembali aktif setelah saya rampung membaca cerpen-cerpen antologi Rahasia Keluarga. Tidak semuanya ingatan indah, tetapi cukup untuk menyadarkan saya bahwa setiap keluarga selalu menyimpan rahasia.

Dua puluh sembilan cerpen dalam antologi ini sebagian besar ditulis oleh pemula yang bahkan baru pertama kali menulis fiksi. Mereka adalah alumni OM Institute, sebuah kelas menulis yang diprakarsai oleh Okky Madasari. Ada beberapa kritik untuk buku ini yang telah ditulis sebelumnya. Mega di Gramedia Blog mencatat sebagai berikut:

“Beberapa cerpen yang ada di dalam buku ini memiliki alur yang tidak jelas, sehingga para pembaca merasa cerita tersebut seperti terburu-buru.”

Melalui Goodreads, Pauline Destinugrainy berpendapat:

“Beberapa cerita bagus, namun ada juga cerita yang seperti belum selesai. Sebagian besar rasanya membaca cerita based on true story, mungkin karena tema keluarga, itu jadi berasa akrab.”

Saya sendiri kebetulan diminta mengisi bagian ilustrasi buku ini. Oleh karena itu saya berkesempatan membaca naskah awalnya sebelum resmi terbit.  Saya habiskan empat sampai lima kali pembacaan untuk setiap judul cerpen dalam proses pencarian ide ilustrasi. Dalam proses itu pula, sebagai pembaca awam, saya merasakan kesan yang semakin kuat seiring pembacaan yang berulang. Dalam pembacaan awal, sebagian besar cerita sama sekali tak menarik perhatian saya. Sebagian kisah terjalin tanpa konflik dan diakhiri dengan pendekatan terbuka, sehingga menimbulkan kesan bahwa cerita-cerita tersebut memang belum rampung ditulis. Sebagian lainnya ada yang ditulis penuh konflik, tapi hampir selalu diakhiri dengan peleraian yang klise. Dalam pembacaan selanjutnya, saya menyadari bahwa mungkin ada yang salah dengan cara saya membaca.

Saya membaca kisah-kisah keluarga ini dalam ekspektasi membaca fiksi yang konvensional. Terlalu fokus pada struktur membuat saya lupa, bahwa barangkali para penulis kisah-kisah ini hanya ingin bercerita tanpa peduli prinsip-prinsip menulis yang umum digunakan. Toh, sekali lagi, mereka adalah pemula. Dalam pembacaan berikutnya, saya coba menikmati setiap cerita tanpa berusaha menilai apa pun dari strukturnya. Hasilnya cukup mengejutkan. Saya seperti mendapat perspektif baru tentang hal-hal biasa yang terjadi dalam keseharian, yang kerap luput dari pengamatan. Setiap cerita jadi lebih “bersuara” bila saya tak memotong kisah mereka dengan ukuran-ukuran kebakuan.

Sembari menulis ulasan ini saya kembali membaca beberapa cerita dalam antologi Rahasia Keluarga. Saya kira ada hal yang juga menarik untuk dibahas, seperti bagaimana para penulis buku ini mengembangkan premis menarik dari tema keluarga yang klise. Ada cerita tentang persahabatan seorang anak dengan seekor kucing, ada cerita tentang seorang nenek yang klenik dan cucunya yang rasional, ada cerita tentang sambal bawang, roti, mie instan, dan makanan lain yang diimajikan dengan super detail, dan ada cerita karya Okky Madasari sebagai penutup buku ini: sebuah cerpen berjudul Yangbeng (ditulis tahun 2008) yang merupakan cikal-bakal dari karya novel pertamanya yang berjudul Entrok.

Beberapa waktu setelah resmi terbit, saya dikirimi beberapa eksemplar bukunya. Dalam versi final ini saya membaca catatan pengantar yang ditulis oleh Okky Madasari. Pada paragraf keempat Okky mencatat:

“Menulis cerita keluarga juga merupakan cara untuk mengabadikan ingatan tentang keluarga, mengenang masa lalu yang tak mungkin kembali, mengingat orang-orang terkasih yang telah pergi, mewariskan cerita dan nilai pada generasi selanjutnya.”

Pernyataan Okky tersebut kembali mengingatkan saya pada sikap angkuh saya dalam pembacaan awal buku ini. Saya jadi mempertanyakan ulang hakikat membaca fiksi pada diri saya sendiri. Karya sastra yang baik harus memuat prinsip dulce et utile (bermanfaat dan menghibur), kata Horace dalam bukunya yang berjudul Ars Poetica. Kalau saya pikir ulang, cerita-cerita dalam antologi Rahasia Keluarga sudah memberi lebih dari kedua aspek itu. Mereka berhasil menyentuh perasaan saya sebagai pembaca, sekaligus memberi saya perspektif baru tentang cerita yang tak melulu harus hiperbolis atas realita. Realita yang tak selalu mengejutkan dan malahan lebih sering menjemukan, bagaimana mungkin tak boleh diceritakan sebagaimana mestinya, sebagai fiksi yang sifatnya tiruan?

*****

Editor: Moch Aldy MA

Ghufroni An'ars
Ghufroni An'ars Redaksi Omong-Omong

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email