Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia

Kesempatan Bagus

Katarina Retno Triwidayati

2 min read

Semalam kamu terlihat terlalu bersemangat. Ini aneh. Kamu nyaris tak pernah terlihat seperti itu selama ini.

“Aku punya cerita … aku punya cerita! Kamu mau dengar? Ini tentang malaikat—atau entah apa namanya—yang mendatangiku buat ngasih kesempatan bagus,” katamu mengawali pembicaraan semalam. Matamu berbinar saat mengucapkan itu.

Kepalamu bergerak ke kanan dan kiri seperti laku orang yang mulutnya baru saja dimasuki sesuatu yang manis. Bukankah kamu sangat suka rasa manis? Atau sudahkah berubah menjadi rasa pahit seperti hidupmu selama ini?

“Kamu pasti akan bilang, oh, ya bagus dong. Haha … iya, ini bagus banget. Aku nggak nyangka dapetin kesempatan ini. Besok kita bertemu di sini, di jam yang sama. Aku pengin kasih tahu kamu apa yang aku dapat itu.”

Begitulah. Waktu berlalu seperti biasa. Kamu datang di waktu yang ditentukan. Sungguh ajaib wajahmu masih saja tetap bersemangat. Rona kemerahan tertinggal di pipimu. Itu membuat wajahmu jadi segar. Cantik.

Kamu menambahkan pewarna yang sedikit gelap di kelopak mata atasmu. Garis hitam tegas, tapi aduhai indah betul, sempurna di garis kedua matamu. Rambut bergelombangmu yang tebal itu kali ini diurai dan wangi tercium dari sana, seolah kamu baru saja berbaring di rerumputan segar di awal musim semi. Dan yang paling memesona adalah bibirmu yang berwarna merah terang yang tampak ingin merebut perhatian siapa saja yang memandangmu.

Tidak ada tanda-tanda kerapuhan yang kebetulan bisa ditangkap oleh orang-orang terdekatmu. Tak juga tampak jiwa yang lelah karena mesti terhempas dan melambung sewaktu-waktu.

“Kamu pasti udah nggak sabar denger ceritaku, bukan?” Kalimat itu rasanya tidak perlu kamu tanyakan. Sudah pasti ada peristiwa menarik yang perlu kamu ceritakan, sejelas-jelasnya. Kamu duduk dengan anggun, meletakkan barang-barang dengan terlalu rapi dan begitu lama.

Tampaknya kamu juga menunggu pelayan meletakkan dua cangkir kopi di meja. Ia yang melirikmu sedikit lama itu hanya kamu beri senyum manis dan ucapan terima kasih dengan nada manja. Kamu tidak sedang menggodanya, bukan?

“Jadi, begini ….” Kamu berhenti, memandang ganjil pada benda-benda yang ada di meja. Tanganmu menggeser satu cangkir kopi sedikit terlalu ke tepi meja, dan meletakkan bendel kunci sedikit lebih ke tengah. Ada pisau lipat di bendelan kunci itu.

“Ah, maaf. Jadi begini. Aku dipertemukan dengan orang itu.” Kamu berhenti lagi. Lalu menyangga dagu dan jemarimu mengetuk-ngetuk pipi. “Kamu tahu kan siapa orang yang aku maksud? Ya, orang yang menyekapku dan merebut milikku yang sangat berharga. Dulu, aku selalu bingung kenapa aku diam untuk beberapa waktu. Aku nggak bisa bergerak. Aku seperti diikat kuat-kuat saat dia mulai … menyentuhku di tempat yang tak seharusnya.”

Kamu tampak menerawang jauh. Mungkin pandanganmu tertambat pada pohon di luar yang bisa terlihat dari tempatmu duduk. Mungkin pikiranmu berkelana sebentar saat melihat daun-daun yang bergoyang. Bisa jadi kamu merasa-rasai angin yang berhembus.

Tiba-tiba kamu berdeham lalu melipat kedua tangan di depan dadamu. “Nah, jadi, lupakan itu. Aku tidak memaafkan diriku sendiri karena tubuhku yang membeku saat itu. Selama bertahun-tahun, kurasa, aku menyalahkan orang itu. Tapi yang sebenarnya terjadi adalah aku menyalahkan diriku. Meski aku tidak tahu apa yang salah dariku. Aku tidak pernah berpakaian minim di depannya, selalu sopan karena menghormatinya. Bahkan aku segan karena dia pemimpin, juga orang yang menuntunku berdoa di waktu tertentu.”

Kamu menyempatkan menyesap kopi. Setelahnya kamu berkata lagi, “jadi, setelah bertahun-tahun hidup dalam rasa bersalah, akhirnya aku minta diberi kesempatan bertemu dia. Aku membujuk malaikat—atau entah apa namanya—untuk mendapat kesempatan itu. Dan aku membawa ini.”

Kamu membuka pisau lipat. Cahaya di ruangan menimpa pisau itu sekilas dan tidak diragukan lagi bahwa ia sangat tajam.

“Aku mengasahnya tiap hari sejak hari itu. Aku ingin membenamkan ini di pelipis kanannya. Dia harus tahu bahwa dia ada di atas, mesti memimpin dengan bijaksana sebab itu konsekuensi logis kedudukannya. Lalu aku akan menariknya pelan, dan kukeluarkan matanya. Mata yang harusnya tidak membawanya pada keinginan menjamah dan merampas milik orang lain. Tapi tugasku belum selesai, aku harus membawa bilah pisau ini ke bawah. Ya, kau tahulah ke mana arahnya. Dan mesti kupisahkan bagian itu agar tak lagi menuntunnya menginginkan tubuh orang lain.”

Kamu diam lagi. Tanganmu mengelus pisau itu seperti seorang ibu membelai anaknya yang sedang tertidur pulas. “Orang tak boleh serakah. Begitu kata semua kitab dan orang bijak. Keserakahan akan membawa orang merampas milik orang lain, memanipulasinya, dan meninggalkan mereka dalam ratap tangis dan kemarahan yang membakar dada. Benar?”

Kamu kembali menyesap kopi. Lalu tampak melamun sebentar. “Dan, yah, aku akhirnya dapat kesempatan itu. Aku mengunci pintu dan nggak tahu gimana, pokoknya dia bisa duduk dan terikat di sana.”

Mestinya kamu melanjutkan dengan menceritakan adegan yang sudah dirancang tadi. Tapi kamu malah diam dan perlahan kegembiraan di matamu menyusut.

Kamu menyesap kopi lagi, lalu menggeser-geser barang. Lalu pada bayanganmu sendiri, kamu berkata, “aku dapat kesempatan bagus itu. Tapi ternyata aku sudah nyaman begini, menikmati sakit ini. Ya, seperti ini. Aku … terlalu takut.”

*****

Editor: Moch Aldy MA

Katarina Retno Triwidayati
Katarina Retno Triwidayati Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email