“No hashtag no caption jika lewat di FYP kamu, it’s a sign”. “Kamu akan bertemu jodoh di akhir tahun.” “Putus dari pacarmu atau takdir buruk akan menghantuimu.” Kalimat-kalimat seperti ini semakin sering muncul di linimasa media sosial kita, menyasar kerentanan emosional pengguna media sosial yang sedang mencari kepastian dalam hidup. Fenomena cek khodam dan baca tarot telah menjadi tren yang tak terbendung di platform digital akhir-akhir ini, terutama TikTok, dengan jutaan tayangan dan engagement yang tinggi dari para pengikutnya.
Para kreator konten spiritual ini dengan cerdik memanfaatkan algoritma platform untuk menjangkau audiens yang lebih luas, menggunakan taktik background musik misterius atau cara berbicara yang dramatis untuk menciptakan aura mistis yang memikat. Bahkan berbagai aplikasi pembacaan tarot dan ramalan berbayar bermunculan, menawarkan “pencerahan” instan menerka masa depan. Fenomena ini mencerminkan bagaimana teknologi digital yang seharusnya membawa pencerahan rasional justru menjadi wadah baru bagi praktik-praktik mistis yang mengeksploitasi kegelisahan manusia modern.
“Tarot first! Therapist later?”
Di tengah era yang mengagungkan rasionalitas dan kemajuan teknologi, paradoks ini menarik untuk dicermati. Jawabannya ternyata berkaitan erat dengan kondisi psikologis manusia modern.
Ketika kecil banyak tetangga kita, om, tante, atau keluarga memuji betapa cantik, terampil, dan lucunya kita. Dialog yang memposisikan kita sebagai pemeran utama. Namun, dewasa ini berapa kali dalam sehari kita benar-benar mendapat kesempatan untuk berbicara tentang diri sendiri?
Semakin dewasa peran kita semakin kompleks. Sebagai pelajar, mahasiswa, karyawan, anak, tulang punggung, pasangan, orang tua, atau anggota masyarakat. Sayangnya semakin sedikit pula ruang yang tersedia untuk menjadi “diri sendiri.”
Fenomena ini muncul seiring dengan peningkatan signifikan kasus anxiety dan depresi di kalangan milenial dan Gen Z Indonesia. Seperti paparan data dari Kementrian Kesehatan bahwa, gangguan kecemasan di Indonesia naik sebanyak 6,8% selama pandemi. Pergeseran masyarakat urban dari komunal ke individual semakin memperparah situasi. Nilai-nilai gotong royong dan kebersamaan yang dahulu menjadi fondasi masyarakat Indonesia kini mulai memudar di kota-kota besar.
Baca juga:
- Belajar Peduli Kesehatan Mental dari Gen Z
- Isu Fatherless, Gen Z, dan Cerpen “Sentimentalisme Calon Mayat”
Namun tidak semua hal yang lalu telah bergeser. Seperti tetap eksisnya logika mistika dalam masyarakat Indonesia, di mana masyarakat yang tertekan secara psikologis cenderung kembali pada cara berpikir mistis sebagai mekanisme pertahanan diri. Sebuah fenomena yang kini terulang dalam konteks modern melalui medium digital.
Interaksi sosial semakin terbatas pada ruang digital, menciptakan kontradiksi bahwa seseorang bisa tetap merasa kesepian meski terhubung dengan ratusan “teman” di media sosial. Pada saat yang sama, akses ke layanan kesehatan mental yang terjangkau masih sangat terbatas, dengan rasio psikolog klinis terhadap populasi yang masih jauh dari ideal yakni 1:91.560 penduduk. Stigma sosial terhadap gangguan mental juga masih kuat, membuat banyak penderita enggan menyambangi fasilitas psikologi klinis atau psikiater dan memilih memendam masalahnya sendiri atau mencari alternatif lain supaya terhindar dari julukan “edan”.
Evolusi dukun modern
Konsep Narrative Identity dari Dan McAdams yang menjelaskan bagaimana manusia membutuhkan narasi tentang diri mereka untuk memahami identitas mereka, menjadi kunci untuk memahami fenomena ini. Dalam teorinya, McAdams memaparkan bahwa setiap individu secara aktif membangun narasi personal untuk memberi makna pada pengalaman hidupnya, seperti sebuah novel di mana mereka adalah protagonisnya.
Kebutuhan mendatangi peramal terbentuk karena manusia ingin menjadi pemeran utama dalam narasi hidupnya, sebuah dorongan psikologis yang semakin menguat di era di mana banyak orang merasa kehilangan kendali atas arah hidup mereka.
Sherry Turkle, menjelaskan bagaimana era digital justru menciptakan keterasingan di tengah keramaian. Semakin terhubung secara digital, manusia modern justru semakin terasing secara emosional. Dalam bukunya yang berjudul Alone Together, Turkle menguraikan bagaimana teknologi yang seharusnya mendekatkan justru menciptakan jarak dan isolasi baru. Studi-studi tentang Parasocial Relationships semakin menegaskan bagaimana manusia modern mencari koneksi dalam dunia virtual. Membangun hubungan satu arah dengan figur-figur yang mereka ikuti di media sosial, termasuk para peramal digital ini.
Baca juga:
Oleh karenanya, peran peramal di era modern ini telah berevolusi bukan hanya menjadi dukun. Mereka tidak lagi sekadar dipercaya untuk meramal masa depan, tetapi berevolusi menjadi semacam pseudo therapist yang menawarkan kombinasi unik antara spiritualitas dan konseling informal. Mereka menyediakan ruang aman tempat seseorang bisa bercerita dan mencari saran tanpa takut dihakimi, sebuah kebutuhan mendasar yang semakin sulit dipenuhi di era modern.
Para peramal digital ini, dengan kemampuan mereka membangun persona yang misterius namun tetap mudah didekati, menjadi tempat pelarian bagi mereka yang mencari validasi dan arahan hidup. Fenomena beralihnya kepercayaan kepada pihak ketiga anonim ini merupakan harga yang harus dibayar dari hilangnya support system tradisional seperti keluarga besar dan komunitas, sebuah transformasi sosial yang telah mengubah bagaimana manusia modern mencari dukungan emosional dan spiritual.
Meski tampak memberikan solusi instan, ketergantungan pada peramal memiliki dampak yang perlu diperhatikan. Banyak orang menunda menyadari dan menangani masalah kesehatan mental yang serius karena merasa sudah menemukan jawaban melalui konsultasi intim dengan peramal. Mereka merasa diri mereka sudah penuh setelah menghadap rapalan mantra atau deretan kartu di atas meja. Belum lagi implikasi finansial dan ketergantungan validasi eksternal yang dapat memicu penurunan harga diri yang berujung pada low self-esteem nantinya.
Lepas dari ramalan, jalin kembali ikatan
Alih-alih bergantung pada ramalan, kita perlu membangun kembali ruang-ruang dialog yang aman. Sayangnya, terlalu memaksa rasanya mengharapkan perubahan drastis dalam pola komunikasi masyarakat modern ini. Kita telah terlanjur nyaman dengan sistem yang membatasi ruang dialog, yang mendikte cara kita berbicara, yang menentukan kata-kata mana yang ‘pantas’ diucapkan. Meski begitu, hasrat untuk terlibat dalam percakapan yang jujur dan mendalam masih tersisa. Walau seringkali opini pribadi kita nyaris tenggelam di antara opini publik yang telah terstandarisasi.
Perlahan mari kita amati pola bagaimana kita merasa butuh validasi dari peramal online? Mungkin itu pertanda bahwa kita butuh didengarkan. Daripada terus mencari jawaban dari orang asing di sosial media, coba menoleh dan amati sekitar. Rangkul dan jalin kembali komunikasi dengan teman atau keluarga yang sudah lama tak bersua. Mulai dari obrolan ringan, lalu perlahan bangun lagi kedekatan yang sempat pudar. Jika beban pikiran terasa terlalu berat, ingat bahwa saat ini banyak tersedia layanan konseling dengan biaya terjangkau, bahkan gratis. Kesehatan mental kita terlalu berharga untuk sekadar digantungkan pada ramalan.
Kebutuhan akan pengakuan dan pemahaman adalah hal yang manusiawi. Namun, cara kita memenuhi kebutuhan tersebut sebaiknya tidak membuat kita tergantung pada validasi eksternal yang sifatnya sementara. Mari mulai membangun hubungan yang lebih sehat dengan diri sendiri dan lingkungan sekitar. (*)
Editor: Kukuh Basuki