Penulis biasa aja. Suka makan ikan tongkol.

Menunggumu Pulang untuk Dirayakan dan Puisi Lainnya

Rizki Muhammad Iqbal

1 min read

Menunggumu Pulang untuk Dirayakan

Ribuan anak kecil di bumi timur terpaku dalam bayangan yang kosong

Menerka-nerka kehidupan yang semestinya dijalani, namun tidak pernah terjadi

Pasukan lapar saling serang, mengais kehidupan

Beberapa pemimpin negara saling menyalahkan

Beberapa di antaranya mengharapkan kedamaian tanpa harus melepaskan

Mereka harus kembali berperang, sebelum petang nanti kembali untuk makan

Sayangnya kehidupan harus tetap dijalani, Sayang

Di balik suara-suara yang tak menyenangkan, tirai yang tersembunyi dalam kesepian tak berujung: kita bertahan

Meski kau tenggelam dalam bising, dan menemukan dirimu di antara puing-puing, sesosok kecil dalam dirimu menunggumu pulang untuk dirayakan

Kepemilikan

Dalam keraguan zaman, ada seorang nenek tua bersimpuh tak berdaya

Memohon ampunan untuk sesuatu yang tidak dilakukannya

Di sebagian yang lain, ada orang-orang yang menanggalkan kepemilikan

Meleburkan diri di keramaian, dan menjadi sesuatu yang asing dalam ketidakberdayaan

Rohaniawan, cendekiawan, dan para pemikir besar mati mengenaskan

Tak ada satupun ingatan yang melekat, kecuali di hari pertama mereka tiada

Tak ada yang merasa memiliki, kecuali diri mereka sendiri

Kuharap kita bisa, dengan berani, melangkahkan kaki untuk meninggalkan sesuatu yang sudah semestinya berakhir

Setidaknya, Hidup Tetap Biasa-Biasa Saja

Kini yang tersisa hanyalah suara kaki yang diseret

Di bawah langit yang menjulang

Masih samar-samar bunyi terdengar

Hingga kini, matanya nanar mendapati bunyi yang menepi dan dari mana sepi terjadi

Seorang kakek tua menjemput akhir dan berbahagia di hari tiadanya

Kini hari telah kembali gelap

Dunia ditutup dengan “tidak terjadi apa-apa”

Para pedagang tetap mengusap keringatnya, sepasang anak sekolah tetap menertawakan kejadian-kejadian kecil, beberapa memori terbuang percuma

Dan kita besok tetap merangkai kisah yang sama

Tertunduk layu di bawah tumit angkara

Dan segala yang tergesa-gesa

Petak Umpet

Saat pagi datang, dirinya menjelma menjadi diri yang lain

Kembali beranjak berpakaian peran

Sebagian diri yang lain ditinggalkan

Pergi menyusuri jalan sambil mengumpat pengabdian—tempat di mana dirinya harus kembali berpakaian peran

Saat menjelang petang, dirinya menutup pintu tempatnya bekerja

Sudah usai masa—menghabiskan hari untuk bermimpi mendapatkan kebebasan

Namun dia hanya mendapatkan keharusan-keharusan

Kini telah sampailah dia di penghujung jalan

Dirinya menanggalkan diri dan kembali berpakaian peran

Digantunglah peran yang telah usai: babak belur dihajar masa

Kini dia harus tertidur

Mengingat kembali bagaimana dirinya mati terkubur peran yang terpaksa dikenakan

Dia menyeka air matanya setelah menguap, dan memejamkan mata

Sungguh indah permainan petak umpet: saat di mana dia bisa mengejar peran yang diinginkan untuk mengakhiri pencarian

Perpisahan yang Paling Biasa

Kudapati diriku terganggu dengan bunyi telepon yang berdering

Pesan-pesan singkat dengan kalimat yang sengaja diabaikan

Dalam perasaan gembira, suasana suka, dalam suatu hari yang biasa saja

Waktu-waktu telah terlewati secara percuma

Beberapa cerita yang tidak kusentuh, melaluiku dengan tergesa

Sama seperti diriku yang melesat jauh ke depan

Tanpa satupun kehadiran yang kuingat lekat-lekat

Meninggalkan sejumput catatan sejarah yang berhenti saat itu juga

Kini waktu benar-benar berhenti untukmu

Ada bayang-bayang yang ingin dilupakan, kuraih dengan segera

Tidak untuk meratapi penyesalan dan menangis di sepanjang malam, bukan

Terlepas dari beberapa ingatan yang sebenarnya tidak terlalu berkesan—tanpa tergesa-gesa—aku sungguh berduka

Bukan tentang sebagian kisahmu yang akupun tidak terlalu akrab

Tapi ada beberapa hal yang terekam dan mendapatkan tempat—memicu diriku kembali ke masa lalu

Sebelum jejakmu benar-benar menghilang di selayang pandang, izinkan aku meraih dirimu

Mengucapkan “kita” untuk pertama kalinya

Merayakan kehadiran sementara dan perpisahan yang paling biasa

Dalam dukaku yang rahasia

*****

Editor: Moch Aldy MA

Rizki Muhammad Iqbal
Rizki Muhammad Iqbal Penulis biasa aja. Suka makan ikan tongkol.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email