Menunggumu Pulang untuk Dirayakan
Ribuan anak kecil di bumi timur terpaku dalam bayangan yang kosong
Menerka-nerka kehidupan yang semestinya dijalani, namun tidak pernah terjadi
Pasukan lapar saling serang, mengais kehidupan
Beberapa pemimpin negara saling menyalahkan
Beberapa di antaranya mengharapkan kedamaian tanpa harus melepaskan
Mereka harus kembali berperang, sebelum petang nanti kembali untuk makan
Sayangnya kehidupan harus tetap dijalani, Sayang
Di balik suara-suara yang tak menyenangkan, tirai yang tersembunyi dalam kesepian tak berujung: kita bertahan
Meski kau tenggelam dalam bising, dan menemukan dirimu di antara puing-puing, sesosok kecil dalam dirimu menunggumu pulang untuk dirayakan
–
Kepemilikan
Dalam keraguan zaman, ada seorang nenek tua bersimpuh tak berdaya
Memohon ampunan untuk sesuatu yang tidak dilakukannya
Di sebagian yang lain, ada orang-orang yang menanggalkan kepemilikan
Meleburkan diri di keramaian, dan menjadi sesuatu yang asing dalam ketidakberdayaan
Rohaniawan, cendekiawan, dan para pemikir besar mati mengenaskan
Tak ada satupun ingatan yang melekat, kecuali di hari pertama mereka tiada
Tak ada yang merasa memiliki, kecuali diri mereka sendiri
Kuharap kita bisa, dengan berani, melangkahkan kaki untuk meninggalkan sesuatu yang sudah semestinya berakhir
–
Setidaknya, Hidup Tetap Biasa-Biasa Saja
Kini yang tersisa hanyalah suara kaki yang diseret
Di bawah langit yang menjulang
Masih samar-samar bunyi terdengar
Hingga kini, matanya nanar mendapati bunyi yang menepi dan dari mana sepi terjadi
Seorang kakek tua menjemput akhir dan berbahagia di hari tiadanya
Kini hari telah kembali gelap
Dunia ditutup dengan “tidak terjadi apa-apa”
Para pedagang tetap mengusap keringatnya, sepasang anak sekolah tetap menertawakan kejadian-kejadian kecil, beberapa memori terbuang percuma
Dan kita besok tetap merangkai kisah yang sama
Tertunduk layu di bawah tumit angkara
Dan segala yang tergesa-gesa
–
Petak Umpet
Saat pagi datang, dirinya menjelma menjadi diri yang lain
Kembali beranjak berpakaian peran
Sebagian diri yang lain ditinggalkan
Pergi menyusuri jalan sambil mengumpat pengabdian—tempat di mana dirinya harus kembali berpakaian peran
Saat menjelang petang, dirinya menutup pintu tempatnya bekerja
Sudah usai masa—menghabiskan hari untuk bermimpi mendapatkan kebebasan
Namun dia hanya mendapatkan keharusan-keharusan
Kini telah sampailah dia di penghujung jalan
Dirinya menanggalkan diri dan kembali berpakaian peran
Digantunglah peran yang telah usai: babak belur dihajar masa
Kini dia harus tertidur
Mengingat kembali bagaimana dirinya mati terkubur peran yang terpaksa dikenakan
Dia menyeka air matanya setelah menguap, dan memejamkan mata
Sungguh indah permainan petak umpet: saat di mana dia bisa mengejar peran yang diinginkan untuk mengakhiri pencarian
–
Perpisahan yang Paling Biasa
Kudapati diriku terganggu dengan bunyi telepon yang berdering
Pesan-pesan singkat dengan kalimat yang sengaja diabaikan
Dalam perasaan gembira, suasana suka, dalam suatu hari yang biasa saja
Waktu-waktu telah terlewati secara percuma
Beberapa cerita yang tidak kusentuh, melaluiku dengan tergesa
Sama seperti diriku yang melesat jauh ke depan
Tanpa satupun kehadiran yang kuingat lekat-lekat
Meninggalkan sejumput catatan sejarah yang berhenti saat itu juga
Kini waktu benar-benar berhenti untukmu
Ada bayang-bayang yang ingin dilupakan, kuraih dengan segera
Tidak untuk meratapi penyesalan dan menangis di sepanjang malam, bukan
Terlepas dari beberapa ingatan yang sebenarnya tidak terlalu berkesan—tanpa tergesa-gesa—aku sungguh berduka
Bukan tentang sebagian kisahmu yang akupun tidak terlalu akrab
Tapi ada beberapa hal yang terekam dan mendapatkan tempat—memicu diriku kembali ke masa lalu
Sebelum jejakmu benar-benar menghilang di selayang pandang, izinkan aku meraih dirimu
Mengucapkan “kita” untuk pertama kalinya
Merayakan kehadiran sementara dan perpisahan yang paling biasa
Dalam dukaku yang rahasia
*****
Editor: Moch Aldy MA