Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah

Isu Fatherless, Gen Z, dan Cerpen “Sentimentalisme Calon Mayat”

Abdul Halim

3 min read

Di tengah dunia yang semakin riuh dan kompleks, generasi muda, yang sering kita sebut sebagai Generasi Z, menghadapi beragam tantangan emosional dan sosial yang unik. Salah satu isu yang mencuat adalah Fatherless: absennya figur ayah dalam kehidupan anak-anak, sebuah kondisi yang (dianggap) membawa pengaruh ke kehidupan. Cerpen “Sentimentalisme Calon Mayat” karya Sony Karsono, meskipun ditulis pada tahun 1995, menghadirkan isu ini dengan relevansi yang tajam untuk dibahas dalam konteks Gen Z di tahun 2024.

Cerita dalam “Sentimentalisme Calon Mayat” (yang selanjutnya disingkat SCM) dimulai dengan sang tokoh utama yang mengenang sosok ayahnya sebagai “hantu asing”. Ketiadaan ayah di sini bukan hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga emosional, yang kemudian memengaruhi dan membentuk pengalaman hidup serta cara pandang sang anak. Ketika sang ayah pergi tanpa penjelasan, anak merasa kehilangan arah dan identitas. Kutipan berikut menggambarkan betapa mendalamnya pengaruh ketiadaan ayah dalam kehidupan sang anak.

Bapak adalah hantu asing, seperti juga bayang yang kutemukan dalam cermin bila menggosok gigi waktu pagi.”

(Karsono, SCM, 1995)

Bagi Generasi Z yang tumbuh di era digital dan globalisasi, absennya figur ayah dapat memunculkan rasa alienasi dan ketidakpastian. Banyak dari mereka hidup dalam keluarga dengan orang tua tunggal atau yang telah terpecah (broken home), menghadapi tantangan serupa dalam mencari identitas dan memahami hubungan interpersonal. Dalam buku Psikologi Perkembangan oleh Desmita, dijelaskan bahwa ketiadaan ayah dapat memengaruhi bagaimana anak-anak memandang otoritas dan rasa aman dalam dunia yang semakin tidak menentu.

Ketika sang tokoh utama akhirnya bertemu kembali dengan ayahnya setelah bertahun-tahun, dia merasa canggung dan terasing. Rasa ketidaknyamanan dan kebingungan ini tercermin dalam interaksi mereka yang kaku.

“Aku sudah lupa cara menghadapi seorang bapak. Kalau kebetulan kami berdua terjebak di ruang tamu, maka lekas-lekas kubenamkan kepala dalam bentang koran, pura-pura membaca iklan.”

(Karsono, SCM, 1995)

Generasi Z sering kali berusaha mencari makna dan hubungan yang nyata di antara dunia virtual dan fisik. Ketidakhadiran figur otoritas yang stabil dapat memperparah perasaan isolasi dan kecemasan. Sarwono dan Meinarno, dalam Psikologi Sosial, menjelaskan bahwa perasaan kesepian dan keterasingan adalah salah satu masalah utama yang dihadapi generasi muda saat ini.

Cerpen ini juga menggambarkan dampak psikologis yang mendalam dari ketiadaan ayah melalui perilaku obsesif sang tokoh utama terhadap makam ayahnya. Ia mengambil tanah dari makam ayahnya untuk dicampur ke dalam kopi, tindakan yang menunjukkan kebutuhan mendalam-sinting akan keterhubungan seorang anak kepada ayah dan pemahaman terhadap tentang apa yang sebenarnya terjadi.

“Sejak itu kucinta kuburan… Tanahnya sering kuambil pulang sejumput dua jumput untuk campuran kopi.”

(Karsono, SCM, 1995)

Generasi Z, yang dikenal sebagai generasi yang paling terhubung secara digital, juga menunjukkan perilaku yang mencerminkan kebutuhan akan keaslian dan makna dalam dunia yang sering kali terasa artifisial. Dalam Psikologi Abnormal, Keliat memaparkan bahwa banyak anak muda saat ini mencari cara untuk menemukan kedalaman dan makna dalam hidup mereka di tengah lautan informasi yang dangkal.

Ketiadaan ayah juga memengaruhi dinamika keluarga secara keseluruhan. Ibu sang tokoh utama berusaha mengisi kekosongan tersebut, tetapi sering kali upayanya tidak cukup. Sang ibu menghibur anaknya dengan dongeng, tetapi tidak pernah membahas ayahnya, sehingga menciptakan jurang dalam pemahaman anak tentang keluarganya.

“Kalau malam kian matang dan membusuk, Ibu membiusku dengan riwayat angsa, bidadari, dan denawa. Tapi tak pernah ia berkisah tentang Bapak.”

(Karsono, SCM, 1995)

Dalam konteks Gen Z, peran ibu sebagai satu-satunya orang tua sering kali penuh tantangan. Buku Psikologi Keluarga oleh Gunarsa menunjukkan bahwa ibu tunggal sering kali harus bekerja lebih keras untuk menyediakan stabilitas emosional dan finansial, yang dapat menyebabkan tekanan tambahan pada hubungan ibu-anak.

Cerpen ini juga menyinggung tentang persepsi waktu dan kematian yang berubah akibat ketiadaan ayah. Sang tokoh utama merasa bahwa waktu adalah musuh, dan kematian ayahnya hanya memperkuat perasaan kehilangan dan ketidakpastian.

“Aku sayang kau, Sita. Tapi semua itu cuma lelucon.”

(Karsono, SCM, 1995)

Generasi Z, yang tumbuh dalam era perubahan cepat dan ketidakpastian global, sering kali memiliki pandangan yang kompleks tentang waktu dan kematian. Dalam Psikologi Eksistensial karangan Wahyudi, dijelaskan bahwa pemahaman tentang akhir yang tidak pasti dapat memengaruhi cara kita hidup dan membentuk hubungan kita dengan dunia.

Melalui cerpen SCM, Sony Karsono berhasil menangkap esensi dari perasaan kehilangan, alienasi, dan pencarian makna yang dihadapi oleh anak-anak tanpa ayah. Bagi Generasi Z di tahun 2024, cerita ini menawarkan refleksi yang mendalam tentang pentingnya figur ayah, dan bagaimana ketidakhadirannya membentuk pengalaman hidup dan pandangan dunia kita.

Sang tokoh utama dalam cerpen ini, yang merasa kehilangan identitas dan arah, mencerminkan dampak absennya figur ayah, baik secara fisik, maupun emosional. Dengan merujuk pada berbagai kutipan dari cerpen dan referensi literatur, kita bisa memahami bahwa ketiadaan ayah tidak hanya memengaruhi persepsi otoritas dan rasa aman, tetapi juga memperdalam perasaan kesepian dan pencarian makna dalam hidup. Hal ini dirasa sangat relevan dengan tantangan yang dihadapi Generasi Z yang tumbuh dalam era digital dan globalisasi, di mana mereka sering kali merasa terasing dan kesulitan menemukan hubungan yang nyata dan bermakna.

SCM juga memperlihatkan bagaimana absennya ayah mempengaruhi dinamika keluarga, terutama peran ibu yang harus bekerja lebih ekstra ntuk menyediakan stabilitas emosional dan finansial. Perilaku obsesif sang tokoh utama terhadap makam ayahnya mencerminkan kebutuhan mendalam akan koneksi dan pemahaman, yang sering kali dirasakan oleh Generasi Z yang terhubung secara digital namun merasa kesulitan menemukan kestabilan dalam hidup mereka.

Dalam konteks yang lebih luas, SCM menawarkan refleksi mendalam tentang pentingnya figur ayah dalam membentuk pengalaman hidup dan pandangan dunia. Karsono berhasil menangkap esensi dari perasaan kehilangan, alienasi, dan pencarian makna yang dihadapi oleh anak-anak tanpa ayah, menjadikan cerpen ini relevan dan penting untuk dibahas dalam konteks Generasi Z di tahun 2024.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Abdul Halim
Abdul Halim Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email