Bicaralah, mungkin batu pun juga ingin bicara. Membuka pintu yang mungkin bercabang. Menjalar ke mana-mana. Hanya satu itu. 3 kata. Mungkin cukup. Mungkin bisa mengubah segalanya. Dengan segala kemungkinan. Meninggalkan. Menghilang. Menemukan jalan yang baru. Kuhadapi atau pun tidak, tetap saja aku akan merindukan apa pun yang terlewat.
Jadi terserah padaku. Aku bisa saja.
Ketidakharusan namun perlu. Untuk sesuatu yang perlu namun tidak harus. Di ujung meja. Menurutku bicara padanya tidak harus. Tapi mataku terus berkata itu perlu. Membenahi kerenggangan dan mengisinya dengan secangkir kopi. Rencanaku.
Di tempat yang salah menciptakan pilihan yang salah dan menimbulkan dampak yang salah. Terus kuulangi.
“Aku tidak mau menjadi bagian dari kesalahan.”
“Tapi kesalahan itu wajar kan?”
“Ya. Tapi terus menghabiskan waktu memperbaiki tidak wajar”.
“Bukankah kita dilahirkan memang untuk memperbaiki?”
“Kelahiran itu saja sudah sebuah kesalahan.”
“Jatuh cinta pada laki-laki juga sebuah kesalahan.”
Aku masih berdebat dengannya di dalam batinku. Tapi lagi-lagi gagal. Menaklukkan kepalaku sendiri. Sebab aku keliru. Tampaknya aku mesti menaklukkan hatinya dulu. Karena dia wanita. Tidak sepertiku. Bukan lawan tapi mungkin bagian yang terpisah dariku.
Aku mengangkat jari, memesan kopi. Sempurna untuk membuatnya tetap duduk.
“Jika kau tidak sedang tergesa mungkin kau perlu mendengarkan puisiku.”
“Puisi hanya untuk pecundang.”
“Puisi ini lahir dari mimpi semalam. Masih kanak. Aku sendiri yang mengasuhnya.”
“Tuan, aku akan pergi sekarang jika kau tidak memiliki kata-kata yang lebih masuk akal.”
“Oke oke.. tunggu sebentar.”
Ia menangkap keraguan dari mataku. Mataku yang sejak tadi tidak berhenti mencari pegangan. Pegangan untuk menyelamatkan kami berdua. Ia mulai tampak sebal meladeni percakapan batin denganku.
“Maaf. Aku pergi.” Akhirnya ia angkat bicara.
Kenapa waktu selalu menjadi cepat di saat seperti ini. Di depannya. Aku lebih seperti ingin mengutuk waktu. Tolong berhentilah sebentar. Supaya aku bisa bicara dengan gadisku. Batinku.
Semua bersekongkol untuk perpisahan yang sempurna. Cuaca kotor. Kopi dingin. Lidah kelu. Quartet Jazz sumbang. Pelayan baru kena makian.
“Waktumu sudah habis. Maaf aku harus segera pergi.” Ia melanjutkan.
Waktu? Persetan. Waktu hanya omong kosong.
Ia mulai berdiri. Masih menatapku. Seperti ada yang ingin keluar. Melihatku dari atas sampai bawah. Seperti sedang masuk ke dalam mataku yang ragu dan menunggu apa pun yang akan keluar dari mulutku.
Ia mengembuskan udara dari paru-parunya sebelum melangkah pergi.
Dan aku. Menatap erat langkah kakinya yang melambat. Seirama detik arloji di tanganku. Detak jantungku. Semua melambat. Hujan yang jatuh satu-satu. Kaca-kaca mobil yang berlarian. Seperti ratusan frame berlewatan. Sementara aku sama sekali belum mengeluarkan apa pun dari mulutku.
Seketika semua kembali berjalan. Tapi ia berhenti. Tanpa menoleh. Aku tidak bisa melihat matanya. Ia tidak bisa melihat mataku. Mungkin yang terakhir itu. Aku tersenyum. Dingin dan pahit. Seperti cangkir di depanku. Ia berjalan lagi. Untuk beberapa saat, ia menyatu dengan hujan. Lalu menghilang. Tapi aku. Aku selalu bisa membedakan antara air hujan dan tangisan.
“Silakan …”
Seorang pelayan menaruh latte di atas mejaku. Aku baru saja sadar dari lamunan. Imajinasi. Bayangan ketakutan. Memeragakan apa yang mungkin akan terjadi. 15 menit ke depan. Saat gadis itu datang. Duduk di depanku. Mungkin saja semua yang ada di lamunanku tadi menjadi kenyataan. Langkah kakinya saat pergi. Seirama dengan detik arloji di tanganku. Detak jantungku. Saat semua melambat. Hujan yang jatuh satu-satu. Kaca-kaca mobil yang berlarian. Seperti ratusan frame berlewatan. Sangat nyata. Atau benar-benar akan nyata.
“Maaf, saya pesan mocca.”
Aku merasa semuanya serba salah. Mungkin jika aku mengubah beberapa hal dapat mengubah semua kejadian. Aku mulai mengubah pesanan. Mengubah tempat duduk. Melawan cahaya luar. Menghadap pintu masuk. Mengatur bunga di atas meja, sedemikian rupa. Harus beda dengan bayangan tadi.
Terlambat. Ia datang. Dengan sedikit senyuman. Seperti dipaksakan. Pertanda buruk. Pertanda semua akan berakhir buruk. Semua memang mulai berjalan buruk setelah aku mendengar ia akan pergi ke Luksemburg. Semua tak mungkin sama setelah perayaan toga bulan lalu.
Ia sempat bertanya. Ia bisa saja tinggal. Tapi aku masih belum mampu memberi alasan untuk membuatnya tinggal. Aku masih mengurus komunitas. Sosialisasi narkotika ke sekolah-sekolah. Pil kuning makin marak di lingkungan ini. Saat masuk komunitas, ia pernah bilang mau berjuang bersamaku. Memberantas obat itu sampai ke akarnya. Ia paling suka anak-anak. Ia peduli pada mereka.
Bulan lalu seorang ibu dan anak perempuan dibunuh. Mayatnya diplester di lantai kamar mandi. Yang membunuh ayahnya sendiri. Seorang bandar. Baru saja keluar dari Nusakambangan. Motifnya, karena istrinya melacur di rumah. Dan anak perempuannya sempat diperkosa tamu lelaki langganan ibunya sendiri. Anak perempuan itu pernah membantu dia. Memberinya informasi tempat biasa beli pil kuning itu. Kini ia merasa bersalah. Ia sudah terlalu dekat dengan anak perempuan itu. Barangkali anak perempuan itu sempat cerita banyak padanya. Tentang kesulitan hidupnya. Tapi ia hanya peduli pada informasi. Ia tidak bisa membantu. Ia pasti menyesal. Sekarang ia ingin berhenti.
Tapi tidak. Aku tahu bukan karena itu.
Ia pernah jatuh cinta pada anak psikologi. Tapi anak itu masuk penjara. Anak baik-baik itu masuk penjara. Siapa yang tahu kalau anak sepolos itu bisa jadi pecandu. Tapi Ia tidak pernah cerita. Ia malu pernah jatuh cinta. Ia benci dirinya sendiri. Ia benci perasaannya. Ia benci obat-obatan itu. Ia benci padaku.
Aku masih belum bekerja. Masuk BNN tidak mudah. Aku tidak punya alasan untuk menahan dia supaya tinggal.
Semua tidak lagi sama setelah lulus. Aku ingin jadi penulis. Aku sudah bilang padanya. Katanya tidak masuk akal. Aku tidak pernah bisa menulis. Aku tidak pernah bisa bicara lancar. Aku tidak pernah bisa mengungkapkan perasaan. Aku ini pecundang. Aku ini orang yang kalah dengan kenyataan. Aku ini orang yang lebih suka diam.
Mantel coklatnya basah. Rambutnya. Sepatunya. Aku tidak berani menanyakan bagaimana cuaca di luar. Hanya berani memesankan kopi. Tanpa menawari. Ia menyipitkan matanya. Mengarahkannya padaku setelah mencopot mantel. Ada yang perlu segera dibicarakan. Apa pun itu. Sebelum ia merasa jemu dan sia-sia menerobos genangan air di luar.
Sudah sepuluh menit sejak ia duduk. Dan hanya diam. Demikian aku. Matanya masih mengarah padaku. Tajam. Meminta sesuatu untuk segera dijelaskan.
Seperti sebuah galeri. Mata itu. Pernah menjadi sepasang mata keduaku. Menyimpan berbagai warna. Kelak. Mungkin kelak masih bisa. Sepasang mata itu. Masih memukau. Untuk sementara ini. Untuk beberapa jeda ini. Jeda yang sangat berharga. Jeda yang mungkin jadi jeda terakhir.
Sebaiknya aku diam. Biarkan diam sejenak. Kesenyapan dapat membuat waktu berjalan pelan. Jangan tergoda untuk bicara. Kata-kata bisa merusak segalanya.
Pemain Jazz mulai membenarkan peralatan mereka. Suara elektrik memekik dari gitar yang berdekatan dengan loudspeaker. Seperti disengaja. Suara khas mengawali band amatiran. Tapi. Suara drum itu.
Tempo 400!
Berani benar. Jika gagal. Aku pasti mengutuk meja ini. Meja yang seharusnya membantuku menyelesaikan sore ini dengan manis.
Aku memutuskan untuk membuat pertanyaan. Supaya tidak sama dengan imajinasi beberapa waktu yang lalu. Saat ia lama menunggu dan melihat jelas keraguanku.
“Ben …”
Aku belum sempat mengangkat bibir. Ia menyela. Ia membaca. Bukan bibirku. Tapi isi kepalaku.
“Apa pun itu, sudah terlambat.”
Mereka gagal membawakan Caravan. Benar-benar sumbang. Cuaca di luar makin risik. Sore yang petang semakin petang. Langit kotor. Jalanan kotor. Pelayan tadi kena makian di belakang. Dituduh salah mengantar pesananku karena kuganti beberapa waktu yang lalu. Lidahku makin kelu. Semuanya akurat dengan bayanganku. Beberapa menit lagi ini semua akan berakhir. Sebab, kopiku sudah benar-benar dingin. Sedingin tanganku. Sedingin wajahnya. Sedingin dalam bayanganku tadi.
“Aku tetap akan pergi.” Ia melanjutkan.
Kumohon berhentilah!
Ia menghela napas. Hampir penuh. Kini seluruhnya ia keluarkan setelah beberapa detik tertahan.
Kecewa.
Ia berdiri. Hampir beranjak dari tempatnya. Ia akan segera membelakangiku. Dan berhenti sejenak. Tanpa menoleh. Aku tidak bisa melihat matanya. Ia tidak bisa melihat mataku. Mungkin yang terakhir itu. Lidahku dingin dan pahit. Seperti cangkir di depanku. Ia berjalan lagi. Mengambil mantel basah yang tergantung. Membuka pintu. Angin dingin masuk. Ia melangkah. Untuk beberapa saat, ia menyatu dengan hujan. Lalu menghilang. Tapi aku. Aku sekali lagi mesti membedakan antara air hujan dan tangisan.
“Silakan …”
Seorang pelayan menaruh latte di atas mejaku. Lagi. Aku baru sadar dari lamunan sekali lagi. Imajinasi. Bayangan ketakutan. Memeragakan apa yang mungkin akan terjadi. 15 menit ke depan. Saat gadis itu datang. Duduk di depanku. Mungkin saja kedua lamunanku tadi menjadi kenyataan. Langkah kakinya saat pergi. Sangat nyata. Untuk yang ketiga kali.
Kali ini harus benar. Aku tidak mengganti pesanan. Bahkan aku memberi senyum dan uang tip pada pelayan. Aku beranjak. Membawa gelas. Memilih meja. Selain meja yang satu tadi. Jauh dari jendela. Supaya langit kotor dan jalanan kotor tidak menjadi latar belakang.
Di antara dua dinding. Dua gambar. Miles Davis. Duke Ellington. Mendekati pemain saxophone, minta dans le vent. Lebih ringan. Semoga tidak sumbang.
Ia datang.
Mantel coklat. Butiran air ada di mana-mana. Berjatuhan saat ia berjalan masuk. Dari rambutnya. Dari pundaknya. Jatuh seperti gerimis.
Aku menghampirinya.
Langsung menuju bibirnya.
Tanpa berkata-kata.
Sejenak bibir kami melekat dan terasa seperti segalanya. Sejenak kita melupakan bahwa ia telah dihamili pamannya dan berharap aku mau menjadi ayah bayi itu. Sejenak kita melupakan bahwa ia pernah mendapatiku telanjang dengan mantan kekasihnya, mahasiswa seni, semester lalu. Sejenak dosa-dosa kami terasa manis dan seimbang, sehingga tak ada pilihan lain selain berbagi. Pendosa dengan pendosa. Sebab hanya pendosa yang bisa sama-sama saling memahami. Dan kita saling menyelamatkan. Ia menyelamatkanku dari lembah maskulin itu. Aku menyelamatkannya dari lembah penghakiman keluarganya. Semua yang kupersiapkan untuknya di kafe tua ini kupelajari dari seorang lelaki lain. Aku merasakan sensasi itu. Menjadi pria yang memikat perempuan dengan anggun dan maskulin.
Sehabis ciuman senyap ini, kita dapat memulai kembali segalanya. Ia mengerti aku tidak punya keberanian bicara. Aku mengerti ia meminta satu-dua alasan untuk tidak terjun dari jembatan tua Stierchen Bridge. Ia ingin tahu apakah aku sudah berubah dan menginginkannya. Dan aku masih berusaha tahu, apakah aku benar-benar menginginkannya, sementara dada seorang lelaki masih terasa lebih lapang dan menggairahkan.
*****
Editor: Moch Aldy MA