Fenomena Citayam Fashion Week memiliki kaitan erat dengan ketidakadilan penataan ruang. Datangnya remaja-remaja baru gede seperti Bonge, Jeje, Roy, dkk ke wilayah Sudirman bukan tanpa alasan. Keterbatasan ruang publik di tempat mereka tinggal membuat remaja-remaja ini mencari ruang eksistensi baru. Akhirnya mereka memilih kawasan Dukuh Atas-Sudirman yang berada di Jakarta.
Pemilihan Dukuh Atas-Sudirman bukan tanpa sebab. Kawasan ini memiliki ruang yang cukup luas dan mudah diakses. Dari Depok mereka tinggal naik KRL, tidak perlu naik angkutan umum lainnya. Selain itu, KRL juga murah dan fleksibel waktunya. Di kawasan Sudirman juga berlalu lalang orang yang berjualan minuman dan jajanan murah, seperti “Starling” (Starbuck Keliling). Oleh karena itu, akses ke sana dapat dikatakan mudah dan murah. Itulah yang latar belakang mengapa Sudirman menjadi pusat tongkrongan anak-anak pinggiran.
Kelompok remaja yang memadati Sudirman kebanyakan berasal dari wilayah pinggiran sekitaran Kota Depok. Depok menjadi tempat permukiman bagi jutaan pekerja, termasuk orang-orang Jakarta yang tersisih dari tempat tinggalnya akibat ekspansi ruang bisnis. Depok memiliki 3.732,43 hektar ruang terbuka hijau dari total wilayah yang seluas 20.029 hektar. Angka ini menunjukkan bahwa RTH di Depok hanya sebesar 18,63 persen. Sementara jumlah penduduk Kota Depok sekitar 2.056.335 jiwa jika merujuk data BPS.
Dapat dibayangkan betapa penuh sesaknya kota ini. Penduduk banyak, tetapi ruang terbuka hijau semakin sempit. Sementara ruang terbuka hijau memiliki hubungan erat dengan kualitas ruang publik. Celakanya, alih-alih memenuhi urgensi ruang terbuka hijau, bisnis properti justru semakin menjamur dan mengambil ruang-ruang yang tersisa.
Ketidakadilan Ruang “Pinggiran”
Persoalan penuh sesaknya kawasan Dukuh Atas akibat fenomena CFW tidak dapat dilepaskan dari persoalan menyempitnya ruang terbuka di Depok atau kawasan satelit lainnya. Bagi saya, mengapa seseorang berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya selalu memiliki akar persoalan. Seperti mengapa Jakarta atau Depok penduduknya semakin banyak. Itu semua tidak dapat dilepaskan dari faktor ketimpangan ekonomi. Persoalan ini juga yang pada akhirnya mendorong ekspansi ruang terbuka untuk kebutuhan sosial seperti yang dilakukan oleh Bonge, Jeje, Roy, dkk.
Dalam papernya yang berjudul Globalization and the “Spatial Fix“, David Harvey mengatakan bahwa ketidakadilan ruang akan selalu berkaitan dengan ekspansi ruang ekonomi yang semakin masif. Ekspansi ruang ekonomi mendorong perluasan geografi kapital sehingga ruang-ruang yang masih kosong berpotensi diubah atau diarahkan menjadi ruang yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Ketidakadilan ruang secara sederhana dapat berupa tidak adanya fasilitas yang memadai dan buruknya kualitas lingkungan, seperti tidak tersedianya ruang publik untuk menunjang interaksi sosial.
Seungwoo Han (2022) dalam risetnya yang berjudul Spatial stratification and socio-spatial inequalities: the case of Seoul and Busan in South Korea melihat bahwa ketidakadikan ruang juga berkaitan dengan bagaimana alokasi ruang hanya diarahkan demi kepentingan dan kebutuhan aktivitas ekonomi. Hal ini seperti menunjukkan bahwa ruang tidaklah netral. Di sana terdapat stratifikasi sosial yang menjadi landasan ke arah mana kebijakan ruang akan diambil.
Baca juga:
Sedikitnya ruang publik dan dominasi pembangunan perumahan di Depok serta area pinggiran lainnya menunjukkan gejala keberpihakan pembangunan dan penataan ruang. Alih-alih memberikan ruang yang inklusif, pemerintah justru lebih mementingkan kelas sosial tertentu dan hanya memfasilitasi kebutuhan ekonomi.
Hal inilah yang menjadi alasan remaja-remaja pinggiran seperti Bonge, Jeje, Roy, dkk pada akhirnya memenuhi Dukuh Atas-Sudirman sampai memunculkan fenomena Citayam Fashion Week. CFW menjadi hiburan dan ruang ekspresi mereka yang mungkin lelah berada di bawah bayang-bayang eksploitasi kapital. Apalagi mereka generasi muda yang tidak memiliki akses atas apa pun. Mereka menjadi remah-remah surplus populasi relatif atau cadangan angkatan kerja yang belum terserap.
Dibuat Si Miskin, Dirampas Si Kaya
Ketidakadilan ruang yang berkaitan dengan strata sosial benar-benar nyata dan terpampang dengan jelas. Citayam Fashion Week pada mulanya adalah aktivitas ‘nongkrong’ para remaja dari kawasan penyangga Jakarta. Mereka berkreasi memenuhi hasrat eksistensi sebagai bagian tak terpisahkan dari pemuasan diri.
Kreativitas anak muda yang awalnya menjadi bahan olokan dan hiburan bagi warganet ini rupa-rupanya dilihat oleh banyak orang. Meski awalnya mendapat cibiran, kepopuleran CFW membuat orang-orang termasuk influencer dan konten creator berlomba untuk mengambil alih. Seperti kampung pinggiran yang awalnya dilihat sebagai kawasan kumuh, tetapi kini menjadi perumahan elite, CFW pun memiliki nafas yang senada. CFW yang awalnya eksis sebagai sarana hiburan para remaja pinggiran, kini sudah banyak diambil alih oleh mereka yang bermodal demi akumulasi kapital.
Remaja pinggiran itu kini tergusur kembali dari ruangnya. Sudirman yang awalnya adalah kawasan ekonomi formal dan elite, kemudian menjadi ruang sosial yang inklusif bagi orang pinggiran, kini berubah lagi menjadi ruang akumulasi kekayaan bagi yang bermodal. Ini seperti sejarah sepak bola dan musik jazz. Pada mulanya sepak bola dan musik jazz adalah hiburan bagi mereka yang tersisih, kemudian dirampas secara tidak terlihat dan diambil alih oleh mereka yang berpunya. Pada akhirnya, sepak bola dan musik jazz dijadikan alat produksi baru untuk memperluas kapital.
Jika ketidakadilan ruang terus terjadi, tidak menutup kemungkinan fenomena seperti Citayam Fashion Week di Duku Atas-Sudirman akan terus berulang di tempat lain dalam bentuk yang berbeda. Selama keberpihakan atas mereka yang tersisih tidak ada, selama inklusivitas hanya menjadi jargon, selama apa yang dibuat oleh si miskin dirampas oleh si kaya, maka selama itulah eksploitasi manusia atas manusia lainnya akan terus terjadi.
Editor: Prihandini N