Kalau tidak tidur, ya ketiduran.

Lelaki yang Gagal Menemui Mati

Adila Amanda

8 min read

Malam itu roda kereta bergesekan dengan rel, menciptakan bunyi desing yang tak kalah bisingnya dengan serapah warga kepada Bintara yang berlari kalang kabut. Ya, dia mencuri lagi. Segepok uang dari rumah pemuka tersohor di kampung itu. Pedahal tak seorang pun tanpa seizin berani menyentuh pucuk daun kering yang hinggap di pagar rumah orang paling panjang umur, dengan kesucian paripurna hingga konon pernah berembuk dengan utusan Tuhan itu. Orang-orang kampung merasa begitu terhina, tetapi mereka tetap tak mau disetarakan dengan Bintara.

Bintara telah kehabisan harta dan tak ada yang mau membantunya. Sejak dulu, keluarganya dianggap telah menodai kepercayaan orang-orang kampung karena bapaknya menemui bunuh diri. “Bagaimana bisa seseorang telah diberi hidup oleh Yang Mahahidup, tetapi dia malah memilih untuk mati? Bukankah itu sebuah perbuatan terkutuk?” Dia masih ingat betul kata-kata sang pemuka berusia seratus tahun lebih itu kepada warga bertahun-tahun lalu. Ucapan itu jadi semacam obsesi warga atas kehidupan. Seolah yang paling panjang umurnya lah yang paling mulia, sementara mati muda adalah mutlak kesialan. Inilah yang kemudian menjadi alasan warga mengecam keras orang-orang yang bunuh diri, hingga tak ada orang mau membantu atau setidaknya berhubungan baik dengan orang semacam itu beserta keturunannya.

Malam itu, di tengah kereta yang melaju Bintara ingin mengakhiri hidupnya. Seperti ketika Tuhan menghendaki aku hidup, mungkin seperti inilah Tuhan memilihkan akhir hidupku, batinnya. Matanya samar melihat sesosok siluet dengan jubah besar dan lebar, memandangnya dengan ketenangan seolah bersiap-siap mencerabut nyawanya dan membawa tubuhnya yang terkoyak agar menyatu di neraka bersama bapaknya. Dia tergelak perih. Ah, betapa malaikat maut pun seperti yang kulihat di film-film. Dunia memang tak ubahnya panggung besar sandiwara. Dan begitulah kemudian kereta itu menghantamnya.

Warga yang sempat mengejarnya tadi berhenti. Tapi hal tak lazim terjadi. Kereta yang melaju itu seolah hanya berlalu tanpa menyisakan potongan tubuh Bintara. Dia masih utuh berdiri di tengah-tengah rel sambil memandangi tubuhnya yang tak kurang sedikit pun. Sementara sosok siluet tadi berlalu di antara kerumunan, meninggalkan kengerian di benaknya. Warga tadi tak kalah kagetnya. Apakah ini mukjizat? Tapi mengapa dimiliki oleh orang yang ‘terkenal’ atas kehinaannya? Mereka semua membisu dalam keheningan pikirannya masing-masing.

Seorang pria tiba-tiba memecah keheningan, “Aku tak percaya bahwa ini mukjizat. Bahkan pemuka saja tidak pernah mendapatkan keberuntungan semacam ini—kalau saja ini keberuntungan. Aku curiga ini adalah salah satu kekuatan setan yang didapat si Bintara. Bukankah dia memang selalu mengkhianati kepercayaan kita?” Dan kemudian pria itu mengepalkan tangan diikuti warga lainnya yang bersorak dengan bangga dan menyetujui.

Masih belum sepenuhnya waras dengan kejadian yang menimpanya, Bintara dibuat tak habis pikir dengan stigma yang baru dilontarkan padanya. “Yang benar saja. Kepada Tuhan yang kalian agung-agungkan saja aku tak percaya,” katanya memandang warga itu dengan tatapan terluka, “Apalagi dengan makhluk yang segolongan dengan kalian! Bukankah kalian sama-sama setannya?”

“Berani-beraninya kau!” pria yang tadi berseru, menghajar Bintara. Orang-orang lainnya ikut mengeroyok.

“Tunggu sebentar.”

Seorang pemuda, yang Bintara pikir sebagai malaikat maut itu, mengalihkan perhatian kerumunan. “Stop, stop! Daripada kalian menghakimi Mas Bintara di sini dan membuatnya mati—yang kalian semua tahu ini bertentangan dengan kepercayaan kalian yang menghargai hidup dan sangat bermoral—bukankah lebih baik jika kalian bubar saja?”

Beberapa orang tidak setuju karena rekam hidup Bintara sudah telanjur mendapat rapor merah di kampung ini, ditambah pernyataannya barusan sangat melukai kepicikan mereka. Tapi dengan berat hati mereka mengampuni Bintara dengan syarat dia dibawa ke pemuka agar mendapat ‘penghakiman’ yang layak.

Tentu saja kau tahu seperti apa tanggapan sang pemuka yang sebelumnya pernah ada api dengan bapak Bintara. Benar saja. Penghakiman tanpa dasar itu dijatuhkan tanpa tedeng aling-aling kepada Bintara: Bahwa dia menggunakan ilmu hitam dan semacamnya agar kebal, bahwa dia telah melakukan penghinaan dengan menyamakan warga yang berlaku benar—setidaknya bagi mereka—sebagai personifikasi setan.

Bintara telah melakukan pembelaan diri. Dia tak meminta bantuan setan sama sekali. Pun, mereka lah yang lebih dulu menghina dia dan keluarganya bertahun lamanya namun mereka mengelak dengan rentetan penghinaan lain yang sudah disebutkan sebelumnya. Bintara menyerah. Dan bonusnya, dia dipaksa meninggalkan kampung yang menyengsarakannya itu akibat sudah terlampau keterlaluan. Dia diusir dari tempat yang membuatnya akrab dengan luka. Barangkali sehabis ini aku makin dirujak habis-habisan di akhirat karena kini aku bahkan tak mampu menziarahi makam orang tuaku yang dikubur dengan tanah terkutuk ini. Dia lantas enyah dari kampung itu, diikuti pemuda tadi.

***

Di perjalanan yang entah ke mana, sebab dia sudah tak punya rumah, tak kenal sanak saudara, dan tentu saja tak membawa uang sama sekali—di sepanjang jalan itu dia menangis dan menggumamkan sesuatu dengan kalut. Bukannya dia tak mau meninggalkan kampung, hanya saja makam kedua orang tuanya berada di sana. Berat baginya untuk berhenti mengunjungi makam itu. Sementara si pemuda hanya mengiringinya berjalan sambil sesekali menendang-nendang kerikil. Barulah ketika tangisnya reda, pemuda itu memulai pembicaraan.

“Hendak ke manakah kita, Mas?” tanyanya, sejurus kemudian perutnya meraung, “Uhm … Mungkin kita bisa berhenti untuk mengisi perut dan melanjutkan jalan.”

“Makanlah sendiri. Aku tak tahu akan ke mana. Tinggalkanlah aku,” katanya dengan segenap kesedihan, “Dan aku tak kenal kau, omong-omong.” Bintara mengusap sisa-sisa air matanya dengan lengan kemejanya. Dia baru ingat kalau dia juga meninggalkan semua isi rumahnya, termasuk stok pakaiannya yang tak seberapa itu.

“Ah, benar juga sepertinya kau belum mengenalku. Aku Mal, Mas. Kumal, lebih tepatnya. Aku yang biasa jadi tukang parkir yang mangkal di mana-mana, pindah-pindah,” Dan kemudian Mal merapikan mantel hujan yang dalam penglihatan Bintara berbentuk seperti jubah algojo itu.

“Tapi mengapa kau mengikutiku dari sejak aku akan bunuh diri di rel kereta?”

“Kasihan saja,” jawab Mal. “Tapi sebelum kita berbicara lebih banyak, makanlah dulu. Minimal ngopi. Uang parkirku cukup untuk membiayai kita beberapa hari ke depan.”

Bintara mengernyit sejenak. Dia tak percaya. Pasti ada maksud lain. “Jangan-jangan kau mau menjahatiku? Atau menghasutku agar melakukan sesuatu yang kau kehendaki? Kuakui aku memang bodoh, tapi bukan berarti aku tak paham dengan sogokan klasik berdalih ngopi semacam itu.” kemudian dia berlalu.

Pemuda itu langsung menghadang dan menggeleng mantap, “Tentu saja enggak, Mas. Betul, setulus hati aku menaruh iba sebagai manusia. Lagipula, bukan bermaksud mengatai, buat apa aku repot-repot menyogok seseorang yang tak diterima di tanah kelahirannya sendiri? Bahkan suara sehari-harinya saja tak didengar lagi.”

“Benar juga,” balasnya sambil tertawa miris.

Kemudian mereka berhenti di sebuah warung kecil. Mereka makan, dan tak lupa membeli rokok. Di antara kepulan asap itulah Bintara memikirkan kembali hendak di mana dia tinggal. Tapi dalam waktu cepat dia ingat lagi akan kematian yang sempat tertunda itu.

“Sepertinya aku harus mencoba cara lain untuk mati,” lidahnya tercekat. “Aku tak tahu harus ke mana. Dan mungkin aku mati saja.”

Mal menanggapinya dengan pandangan menunggu. Dia merasa ada hal lain yang ingin dikatakan Bintara, namun tertahan di tenggorokannya. Dia mengaku juga masih skeptis terhadap kejadian di rel kereta malam itu.

“Tapi aku masih bingung, Mas, kenapa kau bisa selamat dari tandukan moncong kereta malam itu. Tapi aku tentu tahu kau tak mungkin pakai ilmu hitam dan segala macamnya.”

Bintara menunduk dan menandaskan puntung rokok yang tinggal sepucuk itu ke tanah. “Aku sendiri juga tak thau ada apa atau siapa yang ‘menyelamatkanku’. Padahal kurasa itulah cara paling tepat untuk mengakhiri hidup. Daripada harus digerogoti terlebih dahulu oleh ketidakterimaan mereka terhadap apa yang aku percaya, rasanya seperti mati namun hidup. Ngawang, Mal. Makanya, mending aku segera mati saja.”

“Tapi mengapa kau sebegitu inginnya mati—dan barangkali juga mendiang ayahmu—seolah berumur panjang tak begitu menyenangkan?” tanya Mal lagi.

“Kenyataannya begitu, kan, Mal? Aku heran pada mereka yang ingin hidup lama. Boleh saja jika mereka ingin berumur seratus tahun atau lebih. Tapi apa gunanya jika hidup itu hanya diisi dengan penghakiman atas hidup orang lain? Seolah mereka yang lebih mengerti dan kebenaran hanya milik mereka.”

Mal hanya diam memandangi sisa-sisa abu rokok yang berserak. Begitu rapuh seperti suara lelaki di sampingnya itu. Dia khidmat mendengarkan.

“Satu lagi, aku juga heran mengapa mereka tak ingin mati. Bukankah hidup yang tak berakhir adalah hidup yang tak bermula? Artinya, semua yang hidup pasti mati, kan? Tapi bagi mereka, mati dinilai sebagai nasib buruk yang bisa dan harus dihindari. Mereka yang sengaja mati dianggap hina. Pedahal sedikit banyak penyebab seseorang mengakhiri hidupnya sendiri tak lain juga karena tuntutan sosial-kultural yang depresif, juga tak mendukungnya lingkungan yang mereka tinggali, sehingga orang-orang itu kesulitan jadi selaras dengan apa yang lingkungan itu inginkan.”

“Jadi itukah yang kau rasakan selama ini? Intinya tentang ketiadaan dukungan dan beban sosial-kultural?”

“Kurang lebih lah. Namun aku lebih banyak mengambil kesimpulan itu dari kejadian bapak. Kau tahu, kami cukup miskin dan bapak tak diberi pilihan lain selain menyerah. Segala yang aku terima ini belum seberapa dibanding bapak.” Bintara mengembuskan lagi asap yang berat itu, seolah segala bebannya selama ini bisa terbang ke langit malam. Dan mereka lalu larut dalam keheningan masing-masing.

“Jadi kau masih ingin mati?” tanya Mal tiba-tiba.

Bintara menghela nafas, “Ya. Dengan cara apapun.”

“Baiklah,” pemuda itu berdiri, “akan kubantu.” Lalu dia berjalan ke arah jembatan di mana di bawahnya sungai mengalir deras. Cukup dingin untuk merontokkan seluruh sendi. Bintara menggigil sejenak, tapi dia tetap mengikuti pemuda itu. Mungkin aku akan membeku sejenak sebelum meleleh lagi. Katanya dalam hati.

Mal mempersilakan Bintara agar meloncat dan Bintara menurutinya. Hal tak terduga terjadi lagi. Kancing bajunya tersangkut pada pembatas jembatan hingga tubuhnya menggantung horizontal. Bintara lantas menggerapai udara hingga Mal menyambut lengannya sambil tersengal. Jantungnya terasa ingin lepas seiring dengan kemeja satu-satunya itu compang-camping. Di cuaca sedingin itu keringatnya menetes deras.

Percobaan selanjutnya adalah mengikatkan tali pada lehernya dan mengaitkannya pada tiang jembatan yang sama. Setelahnya Mal mendorong tubuhnya ke udara bebas dan meninggalkannya. Ajaibnya, setelah setengah hari Mal kembali dengan niat menguburkan jasadnya, pemuda itu malah dibuat terkejut ketika menemuinya bergelantungan dengan tangan yang memegang ujung tali yang melingkar di lehernya. Wajahnya membiru. Mal menyelamatkannya kembali. Setelah kejadian itu tenggorokannya mulai menolak dan mengeluarkan kembali hampir semua jenis makanan yang dikonsumsinya selama seminggu penuh.

Pada percobaan berikutnya, Bintara menusuk dirinya sendiri. Sekujur tubuh dan lehernya yang berdarah-darah hanya membuatnya kurus, tetapi tak kunjung mati juga. Hanya butuh sepuluh hari pemulihan dan dia lebih tampak seperti orang yang kurang nutrisi alih-alih orang yang baru saja melakukan percobaan bunuh diri.

Tak kehabisan akal, dia meminta Mal agar menembak lehernya. Namun sialnya mereka mencuri pistol dengan peluru nihil. Kedua orang itu segera dibekuk polisi dan hampir saja dipenjara seumur hidup, namun mereka berhasil lolos setelah menceritakan ‘ilmu hitam’ Bintara, seperti yang diyakini warga kampung. Polisi itu ditakut-takuti akan kena imbas guna-guna.

Di luar teritori kepolisian, Bintara menyeletuk, “Setelah mengalami insiden ini aku jadi percaya bahwa pendidikan dan pangkat tinggi tak menjamin kau punya otak.” Tawa mereka berderai.

Beberapa hari kemudian, setelah kehabisan cara untuk memenuhi niat hati Bintara, Mal menanyakan hal yang pernah ditanyakan olehnya sebelum mengalami beberapa kali kegagalan percobaan ini.

“Apakah kau masih ingin mati?”

Bintara menjawab dengan nada keyakinan yang sama. Namun air mukanya seolah bermaksud lain. “Ya. Hanya saja aku tak tahu lagi caranya.”

“Apa kau mau ke rel lagi? Barangkali kau menemukan caramu di sana.”

Bintara menimbang-nimbang, “Tapi sudah pernah dan aku enggan menimbulkan kegegeran yang bakal membuatku makin dibenci.”

“Tapi apa salahnya mencoba?”

“Tentu salah jika kau berani mencoba kebodohan yang sama.”

Mal memandang lelaki itu dengan setengah kagum dan setengah ngeri. Dia seperti ingin mati tapi sebetulnya tak bosan hidup. Lelaki itu hanya bosan jadi orang sial. Lihat, bahkan dia tak terlalu terusik dengan kegagalan dan akan terus mencari jalan lain meskipun tahu hasilnya akan sama.

“Tapi barangkali aku memang orang yang salah: mencoba kebodohan yang sama,” katanya tiba-tiba, berubah pikiran. Lalu dia mengisyaratkan Mal agar menjadi saksi sekaligus satu-satunya orang yang sudi merawatnya hidup dan mati, “Ayo ke rel.”

Sepanjang jalan mereka sama-sama tak bicara. Bintara dengan keyakinan yang entah dari mana merasa inilah cara yang tepat. Cara pertama yang dipilihnya waktu itu. Sedangkan Mal melambatkan langkah, menyaksikan punggung Bintara yang putus asa itu. Meskipun dirinya memiliki keyakinan yang sama dengan Bintara terkait cara mengakhiri hidup itu, ada pikiran yang berkecamuk di kepalanya. Inikah akhirnya? Akhir hidup seseorang yang bahkan belum benar-benar merasai hidup?

Tiba-tiba, ketika aroma besi dan kerikil menandakan langkah Bintara makin dekat dengan maut, Mal mencegat Bintara dengan air mata yang telah mengucur membasahi wajahnya. Dia, telah terlalu lelah dengan kemurungan Bintara.

Mal merentangkan tangannya memohon, “Jangan mati dulu.”

Bintara yang tak menyangka ucapan itu keluar dari kawan barunya terlompat, “Apa kau bilang?” Dan kekecewaan yang entah dari mana menyeruak menyesakkan dadanya yang kembang kempis.

“A-aku tahu, Mas,” dia menyedot ingusnya sebentar, “Sebetulnya kau masih ingin hidup …”

Di waktu bersamaan Bintara memotong ucapannya dengan tegas, “Aku sudah muak dan mengapa kau masih ingin aku hidup. Kau bilang akan membantuku. Dan apa?! Sekarang kau bahkan mengkhianatinya! Kupikir aku telah begitu akrab dengan keburukan. Tapi aku tak habis pikir bahkan hal buruk, niat mati itu, pun masih dengan mudahnya mengkhianatiku!” Dia lalu merangsek tubuh Mal secara membabi buta.

Mal, yang seorang pemuda ringan itu tentu kalah tenaga melawan Bintara yang sudah dewasa. Bintara berhasil melewati Mal yang lemas tersedu-sedu. Dia bahkan tak tahu siapa yang lebih patut dikasihani: Bintara dengan demotivasi hidup yang anehnya memberinya anugerah pertahanan hidup lebih mumpuni, atau dirinya dengan keibaannya yang justru malah lebih banyak mendapat nilai-nilai hidup dari orang yang tak mampu lagi menemukan nilai-nilai kehidupan?

Untungnya kewarasan segera merenggut kembali melankolinya. Sebelum ada kereta yang benar-benar datang dan menyentuh pucuk hidung Bintara, Mal segera melesat mendorong tubuh mereka itu agar terjerembab ke pinggir rel.

Bintara memberontak dalam tangis. “Kenapa? Kenapa? Kau …” jarinya bergetar menunjuk-nunjuk muka Mal yang menimpa tubuhnya. “Setelah aku menemukan cara yang paling efektif untuk mendapatkan kemauanku, kau menggagalkannya? Apa salahku hingga begitu sial dan tak pernah berhasil bahkan untuk hal-hal bodoh sekalipun?”

Mal, dengan tangisan yang pilu ikut meraung-raung, “Karena aku merasa kau tak ingin mati, Mas. Kau hanya hampa dengan hidup yang kau jalani. Dari caramu menghirup udara banyak-banyak saat bajumu tersangkut dan kau tak jadi dihanyutkan sungai; saat tanganmu kuat sekali berpegang pada seutas tali; ketika aku menemukan luka yang ternyata tak begitu serius karena kau hanya menggorok kulit terluar; kerianganmu—mungkin ini satu-satunya keberhasilan—saat lolos dari peluru sekaligus penjara polisi; dan tentu saja saat kau hendak menghadang rel malam itu, sebelum malam-malam percobaan bunuh diri yang panjang ini, aku melihat dirimu sebenarnya menepi ke sisi kereta yang mungkin akan membunuhmu detik itu juga, kemudian kau secepat kilat kembali ke tengah rel lagi. Kau tak ingin mati. Kau hanya ingin benar-benar merasai hidup dengan bersentuhan langsung dengan mati.”

*****

Editor: Moch Aldy MA

Adila Amanda
Adila Amanda Kalau tidak tidur, ya ketiduran.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email