Ketakutan Jakarta dan Puisi Lainnya

Wiviano Rizky Tantowi

1 min read

ADA APA DENGAN IBU KOTA?

Malam-malam di tengah krisis wabah,
Jakarta merenung bimbang, di bawah
lampu kuning Jalan Sabang.

Sudut-sudut tubuh mencekam
punggung trotoar nihil orang berlalu-lalang
hotel tutup dan perabotannya gersang.
Ada apa dengan ibu kota?

Jakarta masih murung, ia tak bisa menerima nyata
di sepanjang gedung-gedung pencakar langit terparkir
ratusan badan taksi sedang menunggu penumpang yang ingin pulang
namun sedang susah membeli sebungkus gembira.
(Mau kasih apa keluarga kita
jika yang dibawa adalah sebungkus derita?)

Setibanya ojek online menghampiri Jakarta
membawa payung dan menawarkan tumpangannya menuju rumah-Mu
—dia menolak, karena sedang gundah.

Ojek online tetap sabar dan kembali ke pangkalan
menukar sedihnya kepada pengendara lain yang kosong orderan
saling bertanya, ada apa dengan ibu kota?

“ibu kota sedang lelah menuruti kemauan warganya” kata mereka.

(2020)

KETAKUTAN JAKARTA

Konon yang paling mengerikan
adalah Jakarta geram kepada
yang tidur lelap di bangku penguasa
yang t’lah merampas segala tahkik kita.

“Apakah ia akan kalap dan selap?” tanya bocah lugu itu.
“Tak tahu …”

Sebenarnya kita takut Jakarta nanti
makin brutal dan tak kenal hati
kepada yang masih mencintai Jakarta.

(2020)

JAKARTA KEMBALI DIGUSUR

“Saya hari ini tak punya apa-apa lagi,
saya tidur di tenda-tenda jalan.”
-mohon Jakarta dengan tubuhnya gemetar

Kali ini Jakarta kembali digusur
air matanya turun mengguyur
hukum yang tak lagi berpihak
ia dan kawan-kawan kecilnya
yang tinggal di kulur tol Kalijodo.

Mereka menyuruh Jakarta pindah ke rusun
meninggalkan pekerjaan
—menghabiskan masa pikun
sendiri bersama sepi yang dimiliki.

Padahal Jakarta tak berbuat salah
tak lagi mencari apa-apa
—hidupnya sudah susah dan sengsara,
negara masih saja suka menjarah.

Sekarang kepada siapa Jakarta berharap?
kepada mereka yang menganggap
“demokrasi sudah mati.” ucapnya lirih.

(2020)

KACAMATA JAKARTA

Jakarta menjadi kacamata
bagi retina yang tak jernih—seperti guillotine,
temin atau apapun yang kadung tak memiliki cermin.

Di luar sana, Jakarta adalah jenderal
kata-kata memekik lantang saat upacara
menggugah kobar api yang surut di dalam palung
jiwa-jiwa yang merasa terkungkung.

(2020)

JAKARTA MAIN BOLA

Jakarta bisa main bola,
menggiring luka-luka dan lara
dibawanya ngawang ke ujung gawang.
Siang yang asing, bising pada dada berdesing,
menjalar kering kerontang lanskap hujan
dan tiupan pluit di bilik dermaga sunyi oleh wasit
yang memimpin hidup dan kapal angkutan duka.
Mau ke mana kapten?
Mengadu takdir Jakarta
sembunyi di saku seragam
terdesak, terdesak, terdesak, tersedak
ketahuan mengutil sebongkah koper isi dolar.
Anda ditangkap kapten!
Oh, permainan kita busuk, saling tusuk
potongan mimpi-mimpi kandas di landasan
tak tahukah bahwa Jakarta harus menambal lapar
pada busung perut anak-anaknya yang kurang kasih?
ya, aku rela insomnia, sambil mengumpulkan kecoak
dan lumbung tikus di penjara (atau lubang-lubang) ruang direksi.

(2020)

BAYANGAN

jarum memukul-mukul detik pada jam dinding pukul 3 pagi
derat yang menggeret koper: hujan dan kilat
menyambar mata yang diketuk paku berkarat

inilah darah yang kupersembahkan bagi sunyi yang suci

jarum meninju bunyi detak pada jantung yang retak
menimba tangis orang-orang di bawah Jembatan Mastrip
3 hari dan 2 malam kita tidur di atas bayang-bayang
tayangan bencana menjadi parade paling enggan disaksikan.

(2021)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Wiviano Rizky Tantowi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email