Pengajuan HaKI Citayam Fashion Week (CFW) oleh perusahaan milik artis dan konten creator Baim Wong, PT Tiger Wong Entertainment, menuai respons negatif. Mulai dari Ernest Prakasa, Okky Madasari, sampai Ridwan Kamil turut menanggapi. Langkah Baim Wong sungguh sangat disayangkan. Bagi saya pribadi, pendaftaran CFW sebagai HaKI adalah bentuk langkah yang keblinger dan ngawur.
Tidak lama setelah pengajuan HaKI itu diketahui publik, Baim Wong tanpa malu mengatakan bahwa semua itu demi perkembangan fesyen Indonesia. Mendengar diksi semacam itu, saya pribadi langsung teringat tingkah para caleg pada musim pemilu. Mereka berdalih bahwa tindakan yang mereka lakukan adalah untuk kepentingan publik, tetapi sebenarnya mereka tengah mengumpulkan keuntungan pribadi. Pada kasus Baim Wong, banyak orang menganggap bahwa kapitalisasi CFW yang ia lakukan ujung-ujungnya hanya demi cuan dan popularitas pribadi.
Baim Wong Tak Paham Konsep CFW
Berdasarkan hal itu, tidak berlebihan rasanya bila menilai langkah Baim Wong ini sesat pikir dan ngawur. Baim Wong terlihat tidak paham konsep dasar kemunculan CFW sampai seperti sekarang ini.
Perlu diketahui, fenomena CFW ini bukan fenomena yang tumbuh dari komersialitas. Di sana ada pertumbuhan kehadiran yang organik. CFW tumbuh dari ruang pinggiran, eksistensi samping, dan kehadiran kaum menengah ke bawah. Dari sanalah CFW lahir dan terbentuk hingga seperti sekarang ini. Latar belakang fenomena inilah yang harus dipahami Baim Wong, bukan malah menunggangi fenomena CFW demi kepentingan personal.
Lebih lanjut, saya sepakat dengan Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat. Beliau menasehati agar pengajuan HaKI CFW ditarik. Lebih lanjut beliau menilai bahwa komersialisasi semacam itu hanya akan membuat kreativitas CFW mati muda. Tentunya hal itu tidak kita harapkan.
Kita bisa sama-sama melihat sudah banyak invasi dari para konten creator bermodal terhadap penggiat CFW yang berasal dari daerah penyangga Jakarta. Para konten creator tersebut (bisa disebut artis) sudah mulai berbondong-bondong mengambil ruang di sana. Sekali pun hanya berswafoto dan video ringan, tetap saja mereka akan memunculkan hierarki baru. Ini buruk bagi perkembangan dan perayaan kehadiran kaum liyan.
Bayangkan saja bila para artis dan konten creator ternama bermodal itu datang dengan kru lengkapnya, apa anak CFW yang modal ponsel cicilan tidak minggir? Tentu secara psikologis ada kemungkinan para penggiat CFW pinggiran ini merasa tersisih. Kehadiran yang mulanya organik perlahan menjadi lahan komersialisasi. Jadi tidak heran bila istilah “created by the poor, stolen by the rich” menggema cukup lantang, sebab langkah Baim Wong memang benar-benar pencurian berlabel dukungan.
Baca juga:
Baim Wong harus paham poin dasar dan akibat ke depannya atas langkah pengajuan HaKI CFW. Langkahnya tidak bisa diteruskan atau dibenarkan dalam alasan apa pun. Biarkan CFW bergerak sebagaimana mestinya. Biarkan ruang publik menjadi pertarungan interpretasi estetika. Biarkan CFW menjadi milik semua orang.
Parasit
Apa yang ada dalam pikiran Anda saat mendengar kata “parasit”? Tentu bayangan tentang makhluk hidup yang mengambil, menumpang, memeras, dan memanfaatkan inangnya tanpa pernah memberi apa pun. Begitulah sekiranya tingkah manusia dalam masyarakat digital. Subjek seperti Baim Wong ini tidak lain adalah figur dari manusia parasit tersebut.
Piliang (2020: 160) mengatakan bahwa manusia “menumpang hidup” pada manusia lain secara fisik, psikis, sosial, politik, ekonomi, dan kultural. Manusia “mengambil” dari manusia lain—harta, kebesaran, popularitas, ketenaran, karisma, tanda, atau simbol tanpa pernah “memberi” sebagai imbalannya.
Kita harus bisa membedakan bentuk interaksi mutualisme dan parasitisme. Sederhananya, mutualisme adalah hubungan timbal balik dua arah, sedangkan parasitisme satu arah. Dalam kasus klaim HaKI CFW, mutualisme jelas tidak benar-benar terjadi sekali pun dalam klarifikasinya Baim Wong mengatakan ini semua untuk perkembangan fesyen Indonesia.
Ungkapan semacam itu tidak pernah bisa dijamin. Selalu ada motif kepentingan di baliknya. Itu menempel seperti dua sisi mata uang. Basis konten Baim Wong selama ini cukup memberi jawaban mengapa semua itu sulit dipercaya.
Selama ini, dalam kontennya, Baim Wong dikenal sebagai pribadi yang dermawan. Ia suka memberi uang kepada orang-orang pinggiran. Namun, apakah motifnya memang benar-benar berbagi? Apa benar tidak ada hal yang Baim Wong dapat dari itu? Di sinilah motif kepentingan itu sebenarnya bekerja.
Tangan Baim Wong yang memberi masyarakat miskin tidak pernah lepas dari sorot mata kamera. Beserta krunya, dia sengaja merekam, mengedit, hingga menayangkannya. Tujuannya apa? Seperti yang sudah kita ketahui bersama, Baim Wong mendapatkan keuntungan dari adsense dan pengikut di media sosialnya.
Baim selalu mendapat lebih dari apa yang dikeluarkannya untuk masyarakat miskin. Gampangnya, kesedihan, kekurangan, dan identitas masyarakat miskin coba ia rawat sebelum akhirnya dijual dalam bursa konten. Bukankah cara kerja parasit juga begitu?
Tidak pernah ada mutualisme dalam praktik semacam itu. Tidak pernah ada yang kita dapatkan secara seimbang dari praktik semacam itu selain harapan-harapan palsu.
Hal ini tentunya jangan sampai terjadi pada fenomena CFW. Sekali pun ini bagian dari pop culture (yang mungkin tidak bertahan lama), tidak ada salahnya membiarkan penggiat CFW tumbuh dan berkembang dengan cara mereka sendiri, dengan tujuan bahagia mereka sendiri. Tidak selamanya hal di dunia ini perlu dikomersialkan. Kreativitas wajib berdiri dengan kekhasannya. Saat kreativitas jadi ladang produksi massal, saat itulah kreativitas akan kehilangan autentisitasnya.
Editor: Prihandini N