Mahasiswa Sastra Indonesia.

Irama Kebebasan Cinta Serge Gainsbourg

Maysha Yusuf Fadillah

2 min read

J’avoue j’en ai bavé pas vous
(Aku akui, aku banyak berkelana, bukan bersamamu)

Mon amour
(cintaku)

Avant d’avoir eu vent de vous
(sebelum aku mengenalmu)

Mon amour
(cintaku)

Ne vous déplaise
(mau kau akui atau tidak)

En dansant la Javanaise
(namun saat kita menari Jawa)

Nous nous aimions, le temps d’une chanson.
(sekejap kita saling cinta, seiring alunan sebuah lagu)

Ketika pertama kali saya mendengar lagu ini, serasa hati ditimpa bunga berpuluh ton. Alunan musik yang mendayu ala Prancis dan suara Serge Gainsbourg yang khas menambah nuansa romantisme yang unik. Saya membayangkan diri saya berdansa dengan seorang wanita, meminum wine, lalu menciumnya dengan penuh gairah…

Well, agaknya itu hanya imajinasi liar saya saja, namun dibalik imajinasi itu muncul sebuah pertanyaan: apakah cinta akan seromantis itu? Bagi saya, cinta adalah suatu hal yang absurd — kadang beraroma mawar dan kadang berganti tumpukan sampah. Ia penuh keindahan namun kadang mengekang kebebasan. Pada lagu ini Gainsbourg pun agaknya akan setuju dengan pendapat saya bahwa cinta sebagai sesuatu yang “indah” namun sementara, terlihat pada lirik:

Nous nous aimions, le temps d’une chanson
(sekejap kita saling cinta, seiring alunan sebuah lagu)

Lirik ini sederhana, tetapi menyiratkan sesuatu yang mendalam: cinta, betapa pun indahnya, sering kali bersifat sementara. Namun, dalam sementara itu, ada intensitas dan totalitas yang tidak bisa diabaikan. Kita mencintai seolah-olah cinta adalah keabadian, meski tahu itu mungkin hanya berlangsung sejenak. Di sinilah dilema muncul: cinta sering kali melahirkan keinginan untuk memiliki/mendominasi, yang pada akhirnya mengekang kebebasan satu sama lain.

Sebagai contoh: ketika Anda sedang ngedate dengan kekasih, tiba-tiba ia berkata “sayang, aku mau makan bakso deh…” kemungkinan besar Anda tidak akan menolak keinginannya karena sadar bahwa ia adalah kekasih Anda. Nah, ketika Anda menerima ajakan kekasih Anda di situlah subjektivitas dalam diri mulai luntur, Anda tidak menjadi diri yang otentik dan berubah menjadi objek bagi kekasih Anda.

Kita tahu bahwa manusia dikutuk untuk bebas — tetapi apakah cinta memberi kebebasan itu atau justru merampasnya? Atau mungkin ia menawarkan bentuk kebebasan yang berbeda — kebebasan untuk melampaui diri, untuk menemukan makna di luar individualitas yang kerap terasa hampa? Dalam lagu ini, Gainsbourg tidak hanya berbicara tentang cinta yang singkat, tetapi juga bagaimana momen itu dihayati dalam diri.

Dalam tradisi filsafat eksistensialis, terutama pada pemikiran Simon de Beauvoir, cinta dipandang sebagai hubungan dialektis. Ia menegaskan lebih lanjut bahwa sejatinya cinta tidak melulu soal “memiliki” tetapi lebih tentang “mitra dalam kebebasan.” Ketika cinta hanya perihal tentang memiliki/mendominasi pasangan, maka ia akan berubah menjadi tirani emosional. Tetapi, ketika cinta memungkinkan kedua pihak untuk saling mendukung dalam mengejar autentisitas, ia menjadi ruang untuk kebebasan.

Baca juga:

Jika kita telisik lebih jauh, dalam konteks budaya Prancis, cinta sering kali dianggap sebagai art de vivre — sebuah seni untuk hidup yang menekankan keindahan, kebebasan, dan penghargaan terhadap momen. Ini memberikan pemahaman baru bagi kita bahwa cinta adalah sebuah dialog antara individualitas dan kolektivitas. Bahwa cinta seharusnya memungkinkan kedua pihak untuk tetap menjadi individu yang bebas, dan keberadaan orang lain tidak menghilangkan kebebasan itu melainkan memperkaya ruang kehidupan masing-masing.

Namun, ini bukanlah suatu hal yang lumrah terutama di negara kita. Cinta, dalam masyarakat kita, sering kali dicampur adukan oleh tuntutan sosial dan ekspektasi kultural. Kita terperangkap dalam narasi bahwa cinta harus berujung pada komitmen jangka panjang atau pernikahan. Relasi yang seharusnya didasari kebebasan seringkali dibebani oleh tuntutan untuk “memenuhi standar.”

Cinta tidak lagi menjadi ruang untuk eksplorasi diri dan kebebasan. Cinta menjadi medan kompetisi, baik secara internal maupun eksternal: siapa yang lebih memberikan, siapa yang lebih setia, siapa yang lebih patuh pada ekspektasi bersama. Dalam suasana seperti ini, barangkali cinta sudah kehilangan spontanitasnya, menjadi sesuatu yang diperjuangkan dengan cara yang tidak lagi merayakan kebebasan individu. Saya melihat ini sebagai suatu ironi, harus saya garis bawahi bahwa saya tidak menentang atas komitmen namun saya menentang pemikiran yang membelenggu.

Namun, cinta tidak pernah sederhana. Bahkan dalam kerangka yang mendukung kebebasan, cinta tetap menghadapi risiko: kecemburuan, ambivalensi, dan kekecewaan. Seperti yang tersirat pada lirik La Javanaise, cinta adalah pengalaman penuh yang tidak memerlukan keabadian untuk menjadi bermakna. Melalui lagu ini kita bisa melihat bahwa keindahan cinta tidak terletak pada durasinya melainkan pada keberanian untuk mencintai meski tahu momen itu akan berlalu.

Barangkali, cinta memang adalah seni menerima paradoks. Ia adalah tarian di antara kebebasan dan penyerahan diri, antara being dan losing. Cukup sejenak, cukup sepenuh hati. (*)

Editor: Kukuh Basuki

Maysha Yusuf Fadillah
Maysha Yusuf Fadillah Mahasiswa Sastra Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email