Mengurai Lingkaran Setan Parkir Liar

Arshinta Rochmatul Laili

3 min read

Parkir liar merupakan masalah yang sangat sulit untuk di tertibkan. Pemerintah telah melakukan berbagai cara untuk memberantas tukang parkir liar,  mulai dari pembuatan peraturan di setiap daerah, razia hingga sosialisasi kepada masyarakat. Namun, sayang berbagai upaya yang dilakukan pemerintah tampaknya tidak berjalan mulus dan sia-sia. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam menertibkan parkir liar ini tampaknya hanya berjalan satu minggu atau jika beruntung cuma sampai satu bulan. Setelah itu, para juru parkir liar ini kembali bermunculan di area publik, seperti di sekitar alun-alun kota, pusat perbelanjaan, minimarket dan bahkan sepanjang jalan kota.

Tukang parkir liar seolah-olah sudah kebal dan terbiasa dengan peraturan yang berlaku. Mungkin ada yang berpendapat uang dua ribu rupiah untuk parkir bukanlah jumlah besar dan pengeluaran sekecil itu tidak akan membuatmu jatuh miskin. Namun, ada sisi lain bagi tukang parkir liar yang sehari-harinya mengumpulkan pundi-pundi pendapatan dari parkir liarnya. Mereka mengumpulkan uang tanpa izin resmi dan tanpa ada kontribusi balik kepada masyarakat atau pemerintah. Padahal jika dihitung pendapatan mereka bisa jauh lebih besar dari pada yang kita bayangkan. Dengan jumlah kendaraan yang parkir di tempat-tempat umum setiap harinya, para juru parkir liar ini berpotensi mengumpulkan uang dengan jumlah signifikan setiap harinya. Buktinya ada juru parkir liar yang bisa berangkat haji sampai empat kali dari hasil markir liarnya. Dari situ kita bisa melihatkan seberapa banyak penghasilan yang mereka dapat dari lahan parkir liar.

Kita pasti pernah mengalami saat datang dan memarkir kendaraan di depan minimarket atau toko yang sebenarnya tidak mengenakan biaya parkir. Awalnya tidak ada penjaga parkir. Tapi ketika hendak keluar, seorang tukang parkir liar tiba-tiba muncul dan meminta uang parkir. Mereka datang tanpa memberikan keamanan atau jaminan apapun, hanya bermodal “tangan menadah,” berharap pengendara mau memberikan uang tanpa banyak tanya. Ironisnya, ketika kita tanyakan apakah mereka bertanggung jawab jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada kendaraan kita, sebagian besar tukang parkir liar akan menjawab dengan jujur bahwa kehilangan bukan tanggung jawab kami. Mereka tidak bisa menjamin keamanan kendaraan kita. Jadi, dua ribu rupiah yang kita keluarkan sebenarnya tidak sebanding dengan apa yang kita dapatkan.

Jika dikalikan, uang dua ribu rupiah akan menjadi banyak. Tapi ini bukan permasalahan tentang seberapa besar nilai dua ribu itu, tapi ini tentang tindakan pungli yang semakin marak dan menjadi hal wajar di Indonesia. Jika kita menolak tidak memberikan uang parkir, pasti akan terjadi adu mulut atau bahkan sampai terjadi baku hantam. Hal inilah yang membuat banyak orang terkadang malas mendatangi tempat yang sudah jelas tertera bahwa parkir gratis tapi masih ada juru parkirnya.

Fenomena parkir liar ini menimbulkan kerugian yang tidak kecil bagi masyarakat maupun pemerintah. Bagi Masyarakat terutama pengguna jalan, sering kali trotoar yang seharusnya diperuntukan bagi pejalan kaki malah dijadikan lahan parkir motor. Situasi ini membuat pejalan kaki harus ‘mengalah’ turun dari trotoar dan berjalan di pinggir jalan. Hal itu menyebabkan meningkatnya resiko kecelakaan dan mengganggu kelancaran lalu lintas. Niat hati ingin mengurai polusi dan kemacetan malah harus berhadapan dengan maut karena jalan yang seharusnya diperuntukan untuk pejalan kaki diambil alih oleh juru parkir liar.

Selain itu, kehadiran tukang parkir liar di tempat yang seharusnya bebas parkir, seperti minimarket atau toko-toko kecil UMKM, secara tidak langsung membebani konsumen. Konsumen yang seharusnya tidak perlu membayar parkir menjadi terpaksa mengeluarkan uang. Padahal, minimarket seperti Alfamart atau Indomaret sering kali sudah memasang banner besar bertuliskan “Bebas Parkir” beserta kutipan peraturan daerah. Namun, banner tersebut seakan menjadi hiasan semata. Saya sendiri pernah mengalaminya dan ini bukan hanya terjadi sekali dua kali saja. Saat saya selesai berbelanja dan hendak keluar, tukang parkir liar tiba-tiba muncul meminta uang parkir. Awalnya saya merasa biasa saja, tapi ketika saya berpindah ke toko lain yang juga membebaskan biaya parkir namun masih ada saja juru parkir liar itu. Hal itu membuat saya kesal karena seolah-olah aturan bebas parkir yang dipasang sebesar harapan orang tua itu tak ada gunanya.

Dari sisi pemerintah, keberadaan parkir liar ini mengganggu upaya penataan kota yang tertib. Pemerintah kota mungkin sudah mengatur zona parkir resmi dan berusaha mengoptimalkan pendapatan dari retribusi parkir, tetapi tukang parkir liar justru mengurangi potensi penerimaan tersebut. Parkir liar juga tidak memberikan kontribusi apa pun terhadap kas daerah, yang pada akhirnya menghambat upaya pemerintah untuk membangun fasilitas publik yang lebih baik dan teratur.

Salah satu alasan mengapa tukang parkir liar tetap bertahan adalah lemahnya penegakan hukum. Razia dan penertiban memang dilakukan, tetapi biasanya bersifat sementara dan tidak menyelasaikan sampai ke akar masalah. Selain itu, jumlah petugas yang bertugas untuk mengawasi seluruh area kota juga sangat terbatas, sehingga sulit bagi mereka untuk mengontrol secara menyeluruh.

Selain faktor pengawasan, ada pula alasan ekonomi yang membuat masalah parkir liar ini sulit dihilangkan. Bagi sebagian orang, profesi tukang parkir liar dianggap sebagai pekerjaan yang cukup menguntungkan, terutama karena tidak memerlukan keterampilan atau modal yang besar. Pendapatan yang dihasilkan juga sering kali jauh lebih tinggi dibandingkan pekerjaan informal lainnya. Kondisi ekonomi yang sulit dan kurangnya lapangan kerja membuat sebagian orang tetap bertahan dengan pekerjaan ini, meskipun mereka tahu bahwa itu tidak resmi.

Permasalahan parkir liar ini bukan sekadar soal aturan yang dilanggar, tetapi juga mencerminkan masalah sosial dan ekonomi yang rumit. Karena itu, penyelesaiannya pun memerlukan pendekatan yang menyeluruh dan melibatkan banyak pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta.

Pemerintah perlu meningkatkan pengawasan dan penindakan di area rawan parkir liar. Dengan penindakan yang tegas dan konsisten akan memberikan efek jera bagi para pelanggar. Sanksi yang diterapkan juga harus lebih jelas dan memberi dampak, agar tukang parkir liar merasa enggan untuk kembali ke tempat yang sama.

Kota-kota besar perlu menambah lahan parkir yang memadai di lokasi-lokasi strategis. Dengan adanya lahan parkir yang terorganisir, masyarakat akan merasa lebih nyaman untuk memilih tempat parkir resmi yang lebih aman.

Untuk toko-toko dan minimarket mungkin bisa mencontoh tindakan salah satu Alfamidi Bendul Meresi, Surabaya yang memberi himbauan melalui pengeras suara untuk tidak memberikan uang ke juru parkir liar, melakukan kerja sama dengan aparat dan komunitas setempat untuk menindak parkir liar. Langkah ini menjadi salah satu contoh bagaimana toko atau bisnis lokal dapat mengambil peran aktif dalam menjaga kenyamanan konsumen. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Arshinta Rochmatul Laili

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email