Public Policy atau Polusi Publik: Menakar Kebijakan Publik yang Ugal-Ugalan

Zidan Al Fadlu

4 min read

Indonesia sedang mengejar mimpi besar: menjadi negara maju pada tahun 2045, tepat saat merayakan 100 tahun kemerdekaan. Cita-cita ini dibalut dengan nama “Indonesia Emas 2045” – terdengar gagah dan bersemangat, bukan? Tapi, realita yang kita hadapi sekarang membuat banyak orang bertanya-tanya: dengan kebijakan yang ada saat ini, bisakah kita benar-benar mencapai mimpi tersebut? Sering kali, kita malah terlihat seperti berjalan di tempat, bahkan mundur beberapa langkah. Alih-alih bergerak maju, kita sibuk berputar-putar tanpa arah yang jelas.

Kisah Pasir dan Ekspor yang Membingungkan

Pada tahun 2003, Indonesia memutuskan untuk melarang ekspor pasir sedimen. Alasannya? Tentu saja untuk melindungi lingkungan dan mencegah kerusakan ekosistem laut. Keputusan ini dipandang sebagai langkah maju, tanda bahwa pemerintah benar-benar peduli terhadap kelestarian alam. Banyak yang mendukung kebijakan tersebut dengan penuh harapan.

Namun, dua dekade kemudian, pemerintah tiba-tiba membuka kembali ekspor pasir sedimen. Masyarakat pun bingung: kenapa kebijakan yang seharusnya melindungi lingkungan malah diubah? Bukankah ini seperti melupakan janji sendiri?

Salah satu dampak langsung dari aktivitas ekspor pasir adalah berkurangnya area pesisir yang berfungsi sebagai benteng alam terhadap bencana seperti tsunami dan abrasi. Pengambilan pasir secara besar-besaran juga menghancurkan habitat laut yang menjadi rumah bagi berbagai spesies ikan dan organisme lainnya. Akibatnya, ekosistem laut yang kaya dan beragam di Indonesia menghadapi ancaman serius. Dampak jangka panjangnya bisa menghancurkan mata pencaharian nelayan dan merusak keberlanjutan sumber daya laut kita.

Di sisi lain, keuntungan ekonomi yang diperoleh dari ekspor pasir ini hanyalah bersifat sementara dan tidak sebanding dengan kerugian jangka panjang yang ditimbulkan pada lingkungan. Kita seperti mengejar keuntungan instan tanpa memikirkan dampak lingkungan yang tak terelakkan. Sungguh ironis, ketika dunia semakin sadar akan pentingnya pelestarian lingkungan, Indonesia justru membuka kembali ekspor yang jelas-jelas merusak alam.

Kisah Palsu Transisi Energi

Tidak hanya masalah pasir, kebijakan energi kita juga menjadi bahan perdebatan. Pemerintah sering menyatakan bahwa Indonesia sedang bergerak menuju penggunaan energi terbarukan, energi hijau, untuk menghadapi tantangan perubahan iklim. Negara ini bahkan berkomitmen pada berbagai perjanjian internasional, seperti Paris Agreement. Sebuah langkah yang tampak mulia, dan tentu saja, kita semua ingin percaya bahwa Indonesia serius dalam mengurangi emisi karbon.

Namun, pada saat yang sama, pemerintah juga masih memberikan subsidi besar-besaran untuk industri batu bara. Batu bara, yang dikenal sebagai salah satu sumber energi paling kotor, masih menjadi tulang punggung ekonomi energi kita. Ini seperti orang yang berjanji menjadi vegan, tetapi di malam hari masih makan steak dan bakso. Sungguh kontras antara apa yang dikatakan dan apa yang sebenarnya dilakukan.

Masyarakat pun semakin bingung: apakah pemerintah benar-benar ingin beralih ke energi hijau, atau sekadar berpura-pura? Di satu sisi, ada narasi tentang transisi energi yang ramah lingkungan, tapi di sisi lain, kebijakan yang dipraktikkan masih bertumpu pada industri batu bara. Jika kita serius ingin beralih ke energi bersih, maka subsidi batu bara seharusnya dikurangi secara bertahap, bukan justru dipelihara.

Berat di Rakyat, Ringan di Konglomerat

Selain itu, kita juga bisa melihat kebijakan pajak yang tidak adil. Pemerintah sering mengeluarkan kebijakan pajak dengan dalih untuk meningkatkan pendapatan negara, yang memang sangat dibutuhkan. Namun, ironisnya, kebijakan ini sering kali lebih memberatkan rakyat kecil daripada perusahaan besar. Kita sering mendengar tentang “tax holiday” atau libur pajak yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan besar, sementara rakyat biasa tetap harus membayar pajak mereka dengan patuh.

Ini menimbulkan pertanyaan: kebijakan ini sebenarnya untuk siapa? Mengapa perusahaan besar yang seharusnya memiliki kemampuan untuk membayar pajak justru mendapatkan keringanan, sementara rakyat kecil yang sedang berjuang memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak mendapatkan perlakuan yang sama? Ini adalah contoh kebijakan yang paradoksal dan anomali, yang tidak sejalan dengan semangat keadilan.

Otak-atik Undang-Undang: Kilat untuk yang Berkuasa, Lama untuk Rakyat

Lebih dari itu, kita juga melihat fenomena otak-atik undang-undang yang sering kali tidak masuk akal dan penuh dengan kepentingan. Contoh paling jelas baru-baru ini adalah undang-undang yang meloloskan anak Presiden untuk maju dalam pilkada. Peraturan yang dulunya ketat, tiba-tiba dilonggarkan hanya demi memberikan jalan bagi segelintir pihak yang dekat dengan kekuasaan. Perubahan undang-undang ini dilakukan dengan kecepatan kilat, tanpa banyak perdebatan.

Di sisi lain, undang-undang yang benar-benar berdampak pada kesejahteraan rakyat, seperti Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PRT) dan RUU Perampasan Aset, tak kunjung disahkan. RUU PRT sudah dibahas bertahun-tahun tanpa kejelasan kapan akan disetujui. Padahal, ini adalah regulasi yang sangat dibutuhkan untuk melindungi para pekerja yang kerap terpinggirkan dan dieksploitasi. Ironisnya, undang-undang yang seharusnya menjadi prioritas malah terabaikan, sementara aturan yang menguntungkan kelompok tertentu diproses dengan cepat.

Ini menjadi bukti nyata bahwa proses pembuatan kebijakan sering kali lebih condong pada kepentingan elite politik daripada kepentingan rakyat banyak. Kebijakan publik seharusnya menjadi instrumen untuk mencapai keadilan sosial dan melindungi yang lemah, namun kenyataannya, proses legislasi yang kita lihat hari ini lebih sering digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan.

Inkonsistensi Kebijakan

Kebijakan-kebijakan publik yang saling bertentangan ini membuat kita bertanya-tanya: sebenarnya, apa visi pemerintah untuk masa depan Indonesia? Kita ingin Indonesia maju, tapi kebijakan yang diterapkan justru membuat kita seperti naik sepeda dengan roda yang berbeda ukuran. Kita memang bergerak, tetapi dengan cara yang oleng dan tidak stabil.

Konsistensi adalah kunci dalam kebijakan publik. Tanpa arah yang jelas dan konsisten, kita hanya akan bergerak dalam lingkaran yang sama, tanpa benar-benar maju. Pemerintah harus tegas dalam membuat kebijakan yang benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat dan lingkungan, bukan sekadar mengejar keuntungan jangka pendek.

Menuju Indonesia 2045: Cemas atau Emas?

Kalau kita ingin benar-benar serius mencapai Indonesia Emas 2045, kebijakan publik harus dirombak dan diletakkan pada jalur yang benar. Kita butuh kebijakan yang tidak hanya indah di atas kertas, tetapi juga logis, adil, dan konsisten dalam penerapannya. Semua pihak harus diajak berpikir lebih jernih dan rasional dalam menghadapi tantangan ke depan.

Seperti yang dikatakan oleh Gita Wirjawan, “Metabolisme harus direkalibrasi jika kita mau jadi bangsa yang keren.” Dengan kata lain, jika kita ingin benar-benar berubah dan maju, semua aspek kebijakan, ekonomi, dan sosial kita harus disesuaikan. Kita tidak bisa terus-terusan mengandalkan cara lama, yang pada kenyataannya, sudah tidak relevan dengan kondisi global saat ini. Revolusi dalam cara berpikir dan bertindak sangatlah diperlukan.

Berkaca pada wacana ekspor pasir sedimen, kebijakan energi yang plin-plan, serta ketidakadilan dalam kebijakan pajak, dan otak-atik undang-undang yang hanya menguntungkan elite, pemerintah perlu segera melakukan introspeksi. Visi besar menjadi negara maju pada 2045 tidak akan tercapai jika kebijakan publik yang diambil justru bertentangan dengan prinsip keberlanjutan dan kesejahteraan rakyat.

Dalam banyak hal, kebijakan yang baik bukanlah kebijakan yang menguntungkan segelintir orang dalam jangka pendek, tetapi kebijakan yang melindungi kepentingan nasional dalam jangka panjang. Jika kita terus bergerak dengan kebijakan-kebijakan yang saling bertentangan dan tidak konsisten, impian menjadi negara maju di tahun 2045 hanya akan menjadi mimpi kosong. Alih-alih menjadi Indonesia Emas, kita malah akan menjadi negara dengan koleksi kebijakan plin-plan terbanyak di dunia.

Kebijakan publik harus menjadi panduan yang jelas dan konsisten untuk menuju masa depan yang lebih baik. Bukan hanya demi mencapai Indonesia Emas 2045, tetapi demi memastikan bahwa setiap warga negara, terutama generasi mendatang, mendapatkan lingkungan yang sehat, sistem yang demokratis, dan kehidupan yang adil. Kita tidak bisa lagi terus menerus bergerak tanpa arah yang jelas dan berpihak pada kepentingan jangka pendek.

Saatnya kebijakan publik merefleksikan kepentingan bersama, melindungi lingkungan, dan membuka ruang demokrasi yang lebih luas. Inilah kunci untuk mewujudkan Indonesia yang benar-benar keren—tidak hanya di atas kertas, tetapi dalam kenyataan. (*)

Zidan Al Fadlu

One Reply to “Public Policy atau Polusi Publik: Menakar Kebijakan Publik yang…”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email