Beginilah kita dilahirkan untuk bersaing dengan waktu. Di pintu masuk, sebelum menempelkan sidik jari, suara sekejap itu kadang nyaring kadang berdenging.
May masih mematung dan enggan mendorong maju salah satu kakinya. Pintu kaca yang tembus dan menghalangi udara itu selalu membuatnya sesak. Pantulan tubuhnya di kaca kerap membuatnya bertanya-tanya, bagaimana bisa ia sudah sebesar itu. Tubuhnya terlalu besar untuk tak dihiraukan. Orang-orang sebetulnya tak peduli, tapi May merasa ia tak bisa melakukan hal-hal di luar wajar. Semua orang sensitif dengan ketidakteraturan. Apabila tiba-tiba ia meloncat masuk atau melangkahi dua keramik sekaligus, pastilah ia dikira sinting. Padahal dulu, saat kanak-kanak, tak ada yang protes. Ia bebas melakukan hal-hal spontan. Tidak ada yang akan mengatainya barangkali terlalu stres.
Jam dua siang nanti, lehernya akan mengencang. Punggung pegal. Kulit kering karena AC. Mata berair.
Membuat ruang kerja tertutup adalah kemajuan zaman paling tak masuk akal. Orang-orang pura-pura nyaman dan merasa berada di tempat yang tepat. Tapi saat pergi ke rooftop, mereka buru-buru mengambil napas dalam-dalam seperti baru saja dikeluarkan dari freezer.
Semua orang mengerjakan pekerjaan yang tak akan pernah selesai. Satu pekerjaan diganti pekerjaan baru. Satu bulan diganti bulan berikutnya. May pernah bilang pada Nuk, suaminya, bahwa ia tidak akan lagi berusaha. Ia hanya akan mengerjakan terjemahan sekadarnya. Nuk tahu, May tidak sungguh-sungguh. Saat ada naskah masuk, May akan menyerahkan seluruh hidupnya. Ia lalu akan bilang bahwa itu yang terakhir. Ia harus menyelesaikannya dengan sempurna.
Setelah itu, mau apa?
Biasanya May selalu menghindar ketika Nuk bertanya soal rencana hidupnya ke depan. Tapi sore nanti, ia mau menjawab pertanyaan itu. Terjemahan Jazz and Gun at Montreux setebal enam ratus halaman telah membuatnya kehilangan seratus tujuh puluh tiga tidur yang berkualitas.
Aku mau tidur. Aku mau menghabiskan sisa hidupku dengan tidur. Aku mau mencari Laluba. May hanya menatap mata Nuk. Meyakinkannya bahwa ia punya rencana hebat.
Aku suka rasa capek. Aku tidak perlu susah payah tidur. Aku akan langsung tidur seperti orang mati. Aku tidak akan tiba-tiba bangun tengah malam dan memikirkan apa yang terjadi siang tadi. Tapi kalau terlalu capek, aku sering melewatkan mimpi. Aku tidak bisa bermimpi. Aku butuh bermimpi. Aku butuh waktu tidur yang lama. Aku butuh tubuh yang capek dan mengantuk. Aku bekerja hanya supaya mendapatkan rasa capek itu. Jadi aku tidak akan mati-matian menyelesaikan terjemahan ini. Aku akan berhenti ketika sudah cukup capek. Kata May ketika Na meminta hasil terjemahannya.
Na hanya menggaruk sela-sela rambutnya sendiri. Ia merasa ada yang salah dengan May. Akhir-akhir ini May seperti CPU rusak yang bekerja terlalu berat dan mulai memanas.
Na memencet tombol enter di keyboard. Naskah itu terkirim. Na merasa perlu menyiapkan pengajuan cuti untuk May. May harus bertahan hidup. Semua orang di ruangan itu sedang bertahan hidup. Bahagia atau tidak itu urusan lain. Sebagai editor senior, Na perlu tahu siapa saja yang sedang berada di batas itu. Kejenuhan yang membuat sesak. Keletihan yang menggigit tulang belakang. Semua orang yang memutuskan menyerahkan sepertiga hidupnya di KRL dan kantor akan menemui dua hal itu. Cepat atau lambat. Kuat-tidak kuat.
Hanya tidur. Tidur yang tak diganggu oleh ingin kencing atau suara tetangga tolol. Hanya dalam tidur pendek itu aku bisa berhenti berpikir dan mendengar. Hanya dalam tidur sendiri itu aku libur menjadi manusia. Suara May bergetar. Ia terlalu gembira saat menyodorkan surat izin cuti itu ke Nuk. Ia berharap Nuk tak mengganggunya dengan urusan rumah. May ingin tidur. Ingin hibernasi dan tak mau peduli dengan kerak panci bekas nasi goreng atau sela-sela lantai kamar mandi yang sering ditumbuhi rumput liar. Ia amat tak ingin peduli dengan suaminya, apakah akan pulang atau tidak. Ia tak peduli jika suaminya tidur dengan perempuan lain lagi di Hotel Katrina. Ia hanya ingin tidur. Ia ingin mencari Laluba.
Kita selalu buru-buru dan kehilangan kata-kata yang kita bikin bersama, yang seharusnya dapat menyelamatkan kita dari perjalanan pendek ini. Memang begini. Akan selalu begini. Kita mempertahankan hidup dengan cara melewatkan hidup. Kata Nuk sambil melipat surat cuti itu.
Nuk tahu, May menikahinya bukan supaya bisa tidur dan bermimpi panjang bersamanya. May hanya ingin dibiarkan sendiri. Di rumah yang baru jadi itu, May-lah yang menguasai. Rumah adalah dunia ideal yang dibangun semua orang. Di luar pintu, di jalan menuju kota, di Manggarai, adalah dunia yang akan terus menyuruh May menjadi manusia. Manusia biasa yang letih.
Tapi bagi Nuk, May-lah dunia ideal yang ingin ia bangun. Bukan mimpi dalam tidur. Mimpi Nuk selalu menyiksa. Nuk selalu terjun ke dalam mimpi buruk: kebejatan dunia dan betapa kotornya tangan manusia. Meski ia bertahan dari menulis semua mimpi itu, Nuk berusaha mencari cara untuk berhenti. Salah satunya dengan mempersunting May. May sering mimpi indah. Nuk ingin menulis mimpi May saja. Selain itu, ia ingin bicara panjang dengan May selepas bangun tidur. Berbagi mimpi. Memberi saran satu sama lain seperti apa yang harus dilakukan ketika Nuk mendapati seekor burung gereja bicara dengannya, atau ketika May diramal oleh tukang penujum di pasar malam. Tapi sudah enam bulan May melewatkan pagi. Ia terlalu sibuk mengejar kereta. Nuk terlalu sibuk menulis.
Ada kapal sirkus!
Seorang anak kecil naik sepeda roda satu tiba-tiba melintas di depan May. Ia ingat betul wajah anak kecil itu. Anak kecil yang waktu itu menyuruhnya ke tempat orang menangis. Mungkin pekerjaan anak kecil itu memang menyebarkan berita dan mengarahkan pengunjung yang baru datang.
Di bawah pohon tak bernama, May masih sibuk melihat sekitar. Ia belum memutuskan akan mulai dari mana. Tiba-tiba saja ia sudah memakai kostum badut. Rambutnya menggumpal besar dan berwarna merah menyala mirip gulali. Gaunnya dilapisi serbuk warna-warni. Semacam serbuk sayap kupu-kupu. Saat berjalan, serbuk itu berjatuhan dan membuat rumput berwarna. Seperti spora. Wajah May dicat putih seperti Geisha Jepang. Cahaya kuning di alun-alun yang memancar membuat gaun May multi-warna. Redup-terang. Sendu-senang. Gaunnya tampak murung tapi spektrum warnanya tegas. Mirip lukisan. Warnanya saling berbenturan.
May hanyalah badut gadis kecil. Gadis kecil yang barangkali terpisah dengan rombongan sirkus. May selalu ingin menjadi anak kecil. Terus-terusan menjadi anak kecil. Mungkin ia perlu belajar naik sepeda roda satu dan ikut bekerja menyebarkan berita ke penjuru Bourdou. Selamanya. Ia ingin selamanya di kota itu. Rencananya akan terwujud apabila ia bisa menemukan Laluba.
Laluba adalah lumba-lumba. Artinya May tak akan pernah menemukan Laluba di alun-alun kota atau di dalam sirkus. Ia mesti ke laut.
fffluiittttt…
Suara peluit kapal mengisi alun-alun. Tiba-tiba diikuti suara ombak berdebur. May tak pernah tahu Bourdou punya laut. Kata anak kecil tadi, sebuah kapal sirkus baru saja datang.
Di dermaga, sebuah kapal berbendera aneka warna sudah bersandar. Kapal sirkus besar. Kaptennya berseragam ketat tapi memakai rambut badut, bukan topi pelaut. Tali-tali kapal menjulur ke sana ke mari. Ada orang yang berjalan di atas tali sambil jugling bola sebelum kemudian terjun ke layar kapal.
Selamat datang di kapal Mourneque. Kapal sirkus terbesar di dunia. Seorang kapten meloncat ke atas dek, memberi sambutan. Kapal ini membawa rombongan sirkus melintasi samudera. Dari satu kota sirkus ke kota sirkus lainnya. Kami mencintai ombak sebagaimana roda-roda karavan mencintai batu licinnya. Kapal ini adalah kuda sekaligus karavan kami. Kalian bisa mendengar detak jantung kapal ini. Dengarlah. Dengarlah dengan saksama. Lebih kencang dari kuda! Ha!
Tiba-tiba angin membuat layar kapal itu mengembung dan ombak menubruk dinding dermaga sehingga beberapa orang basah. Tapi May nekat mendekati lambung kapal itu. Ia merangkak di atas tali sebesar pipa yang diikatkan ke dermaga. Ia tiba-tiba ingin mendengarkan detak jantung itu. May ingin bertanya pada kapal itu, pernahkah ia melihat Laluba saat menuju pelabuhan Bourdou.
Tidak ada yang akan memperhatikan anak kecil. Anak kecil bukan perkara besar di dunia orang dewasa. May merasa bisa melakukan apa saja di Bourdou karena saat ini ia adalah badut gadis kecil di kota sirkus.
Kapal sirkus itu memiliki geladak seluas lapangan. Beberapa awak mulai melapisi lantai dengan serbuk kayu sehingga mirip permukaan padang pasir yang empuk. Di kota mana pun lapangan sirkus mesti berlantai serbuk kayu.
Pemain akrobat berbeda kostum mulai keluar dari dek. Mereka berbaris diiringi akordeon, biola, dan trompet. Suasana makin ramai. Anak-anak berkumpul di dermaga. Anak-anak datang tak ada habis-habisnya seperti baru saja dilahirkan oleh pepohonan di bukit lalu lari turun ke pasar malam. Mereka amat tak peduli dengan hari kemarin atau esok. Mereka tak tahu apa-apa mengenai hari yang tidak sedang dijalani. Mengamati cara badut yang pura-pura hendak jatuh dari tali lebih menggairahkan. Anak-anak tak pernah khawatir. Anak-anak mudah lupa dan tak peduli. Bagi anak-anak, hidup begitu saja ada. Dunia menggelar pasar malam untuk mereka. Mereka akan mati saat sudah tua, seperti yang lainnya. Hidup adalah pasar malam. Orang-orang mesti merayakan. Tak perlu memikirkan nomor-nomor tenda supaya esok mudah dilepas. Pemain trapeze tak akan menjadi pemain akrobat andal jika selalu tidur dalam ketakutan pada hari esok.
Seorang peniti tambang adalah ahli keseimbangan. Mereka berjalan di tali yang direntangkan setinggi belasan meter. Peniti tambang hanya perlu hidup pada saat ini. Dalam kehati-hatian langkah itu, ia selalu dihadapkan dengan satu langkah mundur atau satu langkah maju. Jarak yang sudah dilaluinya di belakang bisa membuatnya jatuh. Jarak yang akan dilaluinya di depan juga bisa membuatnya jatuh. Tak ada yang lebih baik. Ia hanya perlu berdiri di atas kaki. Menyeimbangkan antara kanan dan kiri, bukan depan dan belakang. Bukan yang lalu dan yang belum dilewati. Seorang peniti tambang hanya melawan keseimbangannya sendiri.
Tiba-tiba seorang Ringmaster melompat dari ruang juru kemudi. Sebuah kejutan. Wajahnya mirip Sang Kapten. Bisa jadi mereka kembar. Ringmaster itu memakai setelah barnum. Tuxedo merah lengan panjang dan berekor. Bahu berumbai. Garis-garis dada dari tali-tali emas dikepang. Kerah tegak. Topi hitam besar. Kaus tangan putih. Dan sebuah tongkat berwarna gelap.
Empat ekor kuda sembrani berwarna putih berhias bendera merah, pelana kuning merah, dan mahkota bulu merah keluar beriringan. Di atasnya berdiri tiga laki-laki dan 3 perempuan membentuk piramida. Kuda-kudu itu membawa mereka berjalan mengelilingi geladak. Derap sepatu kuda mengisi kapal. Anak-anak yang duduk di tepi pelabuhan menahan napas. Pemain akrobat berusaha mempertahankan keseimbangan.
Dermaga bertembok rendah yang memanjang dan menjorok ke laut itu bisa dilihat dari atas tepi pelabuhan. Mirip tempat duduk melingkar berbentuk oval di sekeliling ring utama sirkus.
Karena kapal itu mengambang di atas laut, kuda-kuda mereka beberapa kali goyah saat kapal mengikuti lekuk gelombang. Beberapa anak mencengkeram erat kaki kawan di sampingnya.
Tiba-tiba atraksi disambung dengan seorang balerina bertubuh kecil memakai pakaian berwarna merah muda tanpa lengan. Ia melompat-lompat dan bermain jugling bola di atas kuda berwarna coklat. Di ujung geladak, sebuah cincin besar dibakar lalu diarahkan ke tengah. Balerina itu melompat masuk dan penonton di kejauhan berteriak takjub.
Kapal sirkus punya banyak koleksi hewan yang disimpan di kandang dalam lambung kapal. Kuda-kuda aneka warna datang silih berganti. Pertunjukan kuda diakhiri dengan orang Kosak melakukan akrobatik di atas kuda hitam yang berpacu. Ia mengambil sapu tangan di lantai dengan kepala di bawah perut kuda.
Terlalu banyak yang berdetak. Jantung kuda-kuda itu berdetak. Lantai kapal berdetak. May mesti mencari di mana jantung kapal itu. Ia perlu bertanya pada kapal sirkus itu atau jika akan tampak bodoh, ia perlu menemui Sang Kapten.
May adalah badut gadis kecil. Ia boleh bertanya apa saja, karena pekerjaan badut memang untuk melucu. Ia mesti bisa menggelitik ketakutan orang-orang. Seorang badut saat melakukan akrobat mesti menyentuh garis paling berbahaya dan menertawakannya. Ia mesti bisa pura-pura akan jatuh saat berjalan di atas tali dan dengan keajaiban konyolnya ia selamat. Ia lalu akan menertawainya seperti menertawai kematian.
Tidak akan terdengar apa-apa jika sebuah kuping ditempelkan ke papan kayu. Sang Kapten mengawasi May dari pintu ruang kemudi.
May sempat terkejut. Ia harusnya langsung masuk ke ruang kemudi itu dan bertanya pada Sang Kapten. Bukan mengendap-endap seperti pencuri.
Dengarlah baik-baik. Suara angin yang lintas di lehermu. Suara ombak yang membentur dinding dermaga itu. Dengarlah baik-baik. Itulah detak jantung kapal ini. Detak jantung pelabuhan ini. Detak jantung Bourdou. Detak jantung planet ini. Sang Kapten meraih tangan May lalu mengajaknya naik ke ruang kemudi.
May bisa mendengarnya. Dentum berirama itu. Ombak yang silih berganti memecah. Saling memecah. Saling menjemput. Saling menggantikan irama. Tapi, May ada urusan lain.
Tuan. Kau pernah lihat lumba-lumba? Dengan wajah konyolnya, pertanyaan itu keluar juga dari mulut May.
Tentu. Tentu anak muda. Aku sudah berlayar sebelum pelabuhan ini dibangun. Aku sudah mengarungi lima samudra dan delapan penjuru mata angin. Tentu ada ratusan lumba-lumba yang pernah kulihat. Kadang mereka melompat mengiringi kapalku.
May penasaran. Ia ikut mendekati jendela bundar di samping kemudi. Mungkin dari sanalah Sang Kapten sering melihat lumba-lumba melompat di garis permukaan laut. Di sebelah jendela ada lukisan pasar malam dan bianglala besar. May yakin pernah melihat bianglala itu.
Tapi di mana?
Penyangga bianglala dalam lukisan itu berbentuk segitiga memanjang ke atas. Poros lingkaran raksasanya berada tepat di ujung segitiga penyangga. Lingkarannya berjari-jari besi seperti roda sepeda berwarna merah cerah. Sangkar-sangkarnya berpintu pengait. Di dalamnya ada beberapa penumpang. Di bawah, banyak tenda-tenda yang dibelah jalan setapak. Ada tenda penjual katul jagung dan harum manis. Ada mobil boks bergambar es krim. Ada pedagang gulali. Di ujung pasar ada lampu sorot yang terangnya lurus memanjang ke langit. Lampu besar itu dapat mengabarkan keberadaan pasar malam sampai ke ujung kota.
Itu mirip pasar malam yang pernah May lihat bersama ibunya 25 tahun lalu. Pasar malam pertama dan terakhir yang pernah May datangi.
Kau suka? tanya Sang Kapten. Keponakanku yang menggambar.
May menyentuh permukaan lukisan itu. Kertas dan catnya kasar. Dulu ibuku bilang, jika pergi ke pasar malam, aku bisa berjumpa dengan ayahku. Dalam keramaian itu, barangkali ayahku sedang jualan gulali atau bekerja di instalasi bianglala. Padahal saat itu, aku bahkan tidak tahu wajahnya seperti apa. May bergumam.
Ayahmu bekerja di pasar malam. Kata ibunya saat May masih kecil. Dua bulan sekali ayahmu berpindah kota. Barangkali kita tidak sengaja bertemu dengannya di pasar malam ini. Saat itu, ibunya menarik lengan May dan masuk ke salah satu sangkar bianglala itu. Dari atas semua orang akan terlihat.
Aku benci bianglala. Kata May tiba-tiba. Aku masih ingat. Bianglala yang sangkarnya berdecit itu tiba-tiba berhenti di putaran kedua. Waktu itu aku dan ibuku terjebak di atas. Aku menangis. Orang-orang di bawah berteriak tak jelas. Itu adalah mimpi buruk. Saat berusaha turun melewati ruji-ruji besi bianglala itu, ibuku jatuh dan kakinya patah. Bianglala di seluruh dunia ini mesti bertanggung jawab.
Bianglala adalah perlambang. Lingkar rantai hidup. Kata Sang Kapten. Siapapun yang berada di atas, akan turun ke bawah. Dengan cara apa pun. Ada yang mesti turun karena ada yang perlu naik.
Pernahkah Tuan berlayar ke Halmahera? Barangkali Tuan melihat lumba-lumba berwarna kelabu melompat-lompat di permukaan gelombang. Aku sedang mencarinya. May memandang lautan di luar jendela.
May berharap Sang Kapten tak bertanya lebih lanjut soal ibunya. Tubuh kanan ibunya sudah tiga belas bulan lumpuh. Mungkin ini yang terburuk dan akan menuju akhir. Sejak kakinya patah, ibunya tidak pernah betul-betul sehat. May bisa membunuh ibunya hanya dengan menyampaikan berita bahwa ia pernah mendapati Nuk tidur dengan perempuan lain. Tapi ia bukan pembunuh. Ia tak ingin mengejutkan ibunya dan melimpahkan semua kesalahan padanya. Ibunyalah yang meyakinkan May untuk menikah. Padahal May tahu, ia dan ibunya sama-sama tak akan pernah mempercayai seorang laki-laki.
Tapi, tetap menikahlah. Aku tidak tahu alasannya. Hanya saja semua orang melakukannya. Kau tidak perlu melihatku. Bisik ibunya saat May memutuskan pergi ke ibu kota.
Lumba-lumba kelabu? Sang Kapten mengelus janggutnya sambil menerawang ke luar jendela. Seperti berusaha mengingat sesuatu.
Saat itu akhir musim kemarau. Angin berembus ke timur. Aku harus mencarikan cengkih untuk menghangatkan perut kadet-kadetku. Kami berlayar ke sebuah pulau bernama Run. Satu-satunya pulau di dunia yang tak memiliki pasar malam dan sirkus. Di sana hanya ada kebun pala dan gunung mati. Orang-orangnya berkebun dan berdagang. Saat kami sampai, mereka meminta kami menampilkan sirkus selama tujuh hari tujuh malam. Kami dibayar sepuluh kuintal cengkih kering, lima belas kuintal fuli pala, dan lantai dek kami dipenuhi dengan biji pala baru petik. Mereka amat suka pertunjukan kami. Dan lumba-lumba berwarna kelabu. Suatu sore sebelum bertolak dari Run, kami melihat sekumpulan lumba-lumba menabrak lambung kapal kami. Mereka seperti menyuruh kami mengikuti. Karena saudaraku, Ringmaster, ingin menangkap salah satu anak lumba-lumba itu untuk pertunjukan, kami akhirnya mengekor di belakang. Dan sampailah kami di pulau gunung api. Dua tahun kami mengenalkan sirkus pada penduduk. Tapi para tuan sirkus berebut lapangan dan mencelakai pemain akrobat lain. Mereka membuka hutan dan mengusik kampung di sekitar untuk memperluas pasar. Penduduk asli melawan. Tuan-tuan sirkus memperkerjakan sebagian penduduk asli supaya membela mereka. Konflik saudara pecah. Banyak penduduk asli yang terbunuh dan lainnya memilih pergi. Pulau gunung api itu amat berdarah ketika kami terakhir datang. Kami menyelamatkan seorang ibu dan janin di dalam perutnya. Bahunya tertusuk anak panah. Gambar bianglala di depanmu itu digambar oleh anak itu.
Di mana mereka sekarang, Tuan?
Dulu Ringmaster memberinya rumah di pinggir Bourdou. Setiap musim semi, ia rutin datang ke pelabuhan ini. Menghibur orang Bourdou. Nanti malam. Pasti ia masuk ke kota dan mengunjungi anak itu. Kau bisa mengikutinya jika urusanmu betul-betul penting. Sebagai imbalannya, maukah kau bekerja di kapal ini? Kami tak punya badut gadis kecil.
May belum memutuskan apakah ia akan tinggal selamanya di Bourdou dan menjadi badut sungguhan. Ia sendiri juga tak tahu kenapa, sejak ibunya jatuh dari bianglala, ia selalu bermimpi berada di pasar malam.
Aku tidak pernah bermimpi hal lain. Selalu pasar malam dan sekumpulan tenda-tenda sirkus. Kau mungkin akan bosan. Kata May saat Nuk menjelaskan bahwa ia suka menulis dunia mimpi seseorang.
Semembosankan apa pun mimpi, tak lebih membosankan dari dunia asli. Kata Nuk.
Entah kenapa, May tak bisa menyanggah. Ia sendiri merasa lebih bosan pada pekerjaannya di kantor ketimbang menggelandang di jalanan pasar malam. Ia sudah dua puluh lima tahun mimpi berada di pasar malam. Padahal di dunia asli, ia amat membencinya.
Mimpi memperpanjang tidur dan hidup. Mimpi memberi alternatif. Mimpi memberi keseimbangan. Mimpi hanya berasal dari dua perasaan: ketakutan dan keinginan. Mimpi buruk memberi kita keberanian dan memberi kita kesempatan untuk melawan ketakutan itu lagi. Meski di dunia asli, kita sudah menjauhinya. Nuk membacakan prolog yang selalu ia tulis di novelnya itu pada May. Tentu May sudah hafal betul paragraf konyol itu.
May sudah terlanjur terbiasa dengan pasar malam. Tidurnya selalu berisi rasa benci sampai-sampai ia tak peduli lagi. Kini bahkan, ia amat ingin tinggal di pasar malam dan menjadi pekerja sirkus.
Jika dipikir-pikir. Akulah yang membangun Bourdou. Semua orang mengenalku. Aku selalu datang seperti penduduk asli. Bourdou selalu bertambah ramai dan makin besar sebesar rasa benciku pada tempat itu. Tapi tetap saja, akulah yang membangun Bourdou. Semua wajah orang di Bourdou pernah kulihat di dunia asli. Sang Kapten tadi mirip dengan wajah ayahku. Dulu, sebelum berangkat ke kota, ibuku menyelipkan foto ayahku di tas. Siapa tahu aku bertemu dengannya di kota. Aku sudah lama merobeknya. Tapi wajah itu tiba-tiba muncul sebagai kapten kapal sirkus.
Kenapa lumba-lumba? Apa pentingnya?
Bukannya kau suka jika mimpiku punya jalan cerita?
Nuk seharusnya tak protes. Cukup mendengarkan May yang baru bangun. Setelah satu jam, ingatan mimpi akan mulai samar. Nuk mesti segera mencatatnya. Tapi May kelelahan. Ia tak pernah bangun tidur dengan bugar. Ia seperti baru saja melakukan perjalanan panjang. May menatap mata Nuk. Apakah ia peduli padanya. Pada rambutnya yang berantakan. Pada bibirnya yang kering. Pada bau mulutnya yang busuk. Pada kerongkongannya yang butuh air. Pada May seutuhnya. Apakah Nuk peduli.
May terlanjur membenci Nuk. Ia pernah mencintainya. May bisa saja meninggalkan Nuk, tapi ia belum memutuskan.
Rasa benci, kupikir sama saja dengan rasa cinta. Atau rasa lainnya. Lama-lama kita akan terbiasa. Setelah terbiasa, kita akan biasa saja. Ruang-ruang menjadi kosong. Semua menjadi membosankan. Bahkan rasa benci, bisa menjadi rasa yang kosong. Kata May pada Na, sebelum pamit cuti.
Na tahu situasi May saat ini. Tapi ia tak bisa memberi banyak saran. Pernikahannya sendiri gagal. Ia bukan orang yang bisa memberi May pilihan.
Tapi, kau perlu bahagia. Kata Na.
Aku tidak menuntut Nuk sama sekali. Aku tidak meminta dibahagiakan.
Tapi paling tidak, kau bisa pulang dengan tersenyum. Bukan rasa benci, rasa kosong, atau apalah itu.
Na. Menurutmu nurani ada berapa?
Na hanya memandangi kedua kantung mata May. Ia tak peduli dengan pertanyaan itu. Ia tak pernah memikirkannya.
Tampaknya buruk bagiku jika tetap bersama Nuk. Tapi jika ibuku kuberitahu, ia akan jatuh sakit dan mati.
Tapi kau perlu menceritakan semuanya. Toh, bukan kau yang salah. Kau berhak menyelamatkan diri.
Nurani tidak pernah tunggal, Na. Semua sama-sama benar.
Selalu ada dilema yang telah dirancang dengan epik sehingga membuat seseorang ingin membenturkan kepalanya ke bidang datar. Bagi editor seperti Na, penulis novel yang dapat merancang dilema semacam itu adalah penulis yang andal.
May hanya menatap kosong kertas cutinya. Ia sebetulnya tak perlu bercerita. Ia hanya ingin pulang dan tidur seharian.
Ketenangan ibumu itu hanya …
Palsu. Apa buruknya kepalsuan selama bisa menjaga hidup ibuku.
Na menelan lagi kata-katanya. Ia harusnya tetap diam dan membiarkan semuanya terjadi dengan sendirinya. May bukan orang yang dapat berubah dalam semalam. May pasti sudah memutuskannya jauh-jauh hari.
Waktu itu ibuku jatuh dan kakinya patah lagi. Ia terkejut dan hampir mati karena menonton berita pagi. Perusahaan asuransi tengik itu pailit. Sejak saat itu ibuku tak pernah mau berdiri. Aku sudah membujuknya untuk fisioterapi, tapi ia memilih menghabiskan sisa hidupnya di atas kursi roda. Ia terlalu terkejut. Pasalnya, Tante In yang menjual asuransi itu padanya. Aku tahu tingkat keterkejutan ibuku dan kapan itu bisa membunuhnya. May mengedarkan pandangannya ke barisan meja sekitar. Tiba-tiba ia merasa barangkali teman-temannya yang lain juga sedang berada di situasi menyesakkan. Entah apa.
Na, apa kita betul-betul punya pilihan?
May ingin sekali meninggalkan kantor kedap udara dan kedap suara itu. Sesegera mungkin. Tapi, ia ingat. Betapa menjengkelkannya pura-pura peduli pada perusahaan dan pura-pura pintar saat wawancara. Betapa merepotkannya melewati proses penguasaan situasi kantor baru. Lagi pula, ia hanya akan mendapati ruang kedap udara dan kedap suara lain lagi. May juga masih harus membayar semua kebutuhan rumah. Nuk bukan penulis besar. Bukunya tak laku. Ringkasnya, May kini mesti menanggung pernikahan itu.
Kita selalu punya pilihan, meski hanya satu. Kata Na. Tapi raut wajah Na tampak ragu dengan ucapannya sendiri.
Hanya di Bourdou May punya sejuta pilihan. Ia bisa memilih menjadi pemain trapeze, badut, akrobat di atas kuda, pesulap, penjual gulali atau penunggu loket. Ia bisa memilih untuk tidak menikah dan membenci.
Di Bourdou, tidak ada kebencian. Semua gembira. Kompetisinya adalah siapa yang paling gembira.
Aku suka Bourdou. Aku selalu kembali setiap musim semi. Kau punya sejuta pilihan di sini, tapi kau hanya punya satu pilihan pasti. Yaitu bergembira. Kata Sang Kapten dengan wajah paling berseri yang pernah May lihat. Sangat mustahil menjadi wajah manusia.
May memilih untuk mengikuti Ringmaster. Ia ingin bertemu anak itu. Anak dari pulau gunung api. Tapi sebelumnya, ia mesti meminta izin kepada Sang Kapten untuk meninggalkan kapal dan meminta waktu untuk menimbang apakah ia mau menjadi badut sirkus di kapal itu atau tidak. May punya pilihan. May punya sejuta pilihan. Saking gembiranya, ia ingin melompat. Ia ingin menjadi lumba-lumba. Ia ingin terjun ke lautan lepas itu.
Jika dilahirkan kembali, aku ingin jadi anak lumba-lumba. Katanya pada Sang Kapten sebelum melompat keluar pintu.
May melompat-lompat. Melewati dua-tiga lantai papan kayu. Ia bebas melakukan itu dan tak akan ada yang mempermasalahkan. May adalah badut anak-anak. Apa yang dilakukannya amatlah wajar. Ia boleh melompat, menari, jika perlu terbang. Dan semua tetaplah wajar. Semua wajar di Bourdou.
Sudah dua jam Ringmaster menunggu di kursi depan sebuah rumah. Rumah beratap trapesium besar. Gentingnya rapi. Serambinya luas sampai ke belakang. Lantainya terakota. Dindingnya dipenuhi tanaman rambat. Di fasade depan tiangnya berkolom-kolom Dorik. Jalan masuk dari depan ditata batu-batu tumpul yang memanjang. Dua pohon cukup besar membuat jalan masuk melorong. Cabang-cabangnya mirip akar tunggang yang memayung. Rumah itu punya tiga dominasi warna: putih marmer, cokelat kayu, dan hijau rumput. Perpaduan langgam indies dan bohemian. Mirip rumah neneknya May yang sudah dibangun ulang jadi rumah beratap datar. Rumah yang sekarang ditempati ibunya.
May masih perlu menunggu di balik semak-semak. Dari rumah itu, seseorang pasti akan keluar dan menemui Ringmaster yang sedang duduk di kursi panjang dekat pohon. Pohon itu tak asing tapi May tak bisa menyebut namanya. Daun-daunnya mirip hujan yang hendak jatuh.
Karena disengat penasaran, May memutuskan untuk memutari rumah itu. Ia mengendap-endap mencari pintu belakang. Dengan gaun balon badutnya ia berharap tak terlalu mencolok. May amat warna-warni dan terlalu kontras. Tapi, ia sudah cukup lama menunggu. Sebentar lagi, kandung kemihnya akan penuh dan ia mesti bangun lalu lari ke kamar mandi. Ia bisa kehilangan Ringmaster. Jika ia kembali, bisa jadi kapal sirkus itu sudah pergi. Dan ia mesti mencari dari awal.
May merasa perlu masuk ke rumah itu sendiri. Ringmaster tampaknya tidak akan beranjak selama tak ada yang keluar.
Rumah itu punya banyak pintu. Terlalu banyak pintu. Semua jendela terbuka. Seperti tidak ada yang ingin disembunyikan. Artinya, siapa saja yang berada di rumah itu mestinya bisa langsung melihat bahwa Ringmaster sudah menunggu di luar.
May mendorong pintu belakang. Ia pernah melihat pintu itu. Ia amat mengenalnya. Warnanya putih. Catnya mengelupas. Lisnya bersusun-susun. Ketika didorong, akan berbunyi engsel berderik. Di ruang dalam, lantainya papan kayu yang akan berbunyi kayu berdecit jika diinjak. Rumah itu bau udara bebas dan kayu tua.
Tidak ada siapa-siapa. Rumahnya kosong. Tapi terawat dan amat bersih. Di dinding, banyak lukisan benda-benda. Di meja, berserak kertas-kertas yang seperti baru saja ditulis. Rumah itu masih ditinggali. Ruangannya masih hangat manusia. Mirip selimut tebal. Mirip dekapan dan beraroma ibu.
Karena terlalu banyak ruangan dan pintu, May tak sengaja membuka pintu depan.
Ringmaster menoleh dari luar. Mata mereka bertemu.
Laluba?
May yakin Ringmaster itu memanggil dirinya. Tapi ia lebih terkejut ketika melihat seorang perempuan tergeletak bersimbah darah di salah satu pintu kamar.
***
Cerpen ini merupakan lanjutan dari cerpen berjudul Batu (10 Juli 2022) dan Mencari Laluba (27 Agustus 2022).
Editor: Ghufroni An’ars